Hubungan akademisi dan aktifisme tidak harmonis. Tetapi saling merindukan. Dalam rangka membangun keharmonisan inilah, kita bisa menggunakan berbagai media. Salah satunya adalah melalui pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS). Ini adalah kali pertama Pusat Study Perdamaian dan Keamanan (PSPK) terlibat dalam pembahasan RAN P3AKS, yang dilakukan di Hotel Santika Yogyakarta pada 25-26 Januari 2016.
Tujuan utama dari rountable discussion ini adalah menemukan strategi jangka panjang untuk membangun kolaborasi akademisi dan aktifisme untuk mendukung pelaksanaan RAN P3AKS sebagai produk kontekstualisasi REsolusi Dewan Keamanan 1325 di Indonesia.
Dinamika Politik dari RAN P3AKS
Ruby Khalifah dari AMAN Indonesia membuka forum dengan presentasi tentang insight dari pembentukan RAN P3AKS. Meskipun bukan presentasi yang pertama membahas tentang sejarah RAN dan perkembangannya, tetapi bersama dengan para akademisi, ini merupakan yang pertama. Ada empat hal penting yang disoroti oleh Ruby untuk memotret dinamika keberadaan RAN P3AKS yaitu landasan hukum, definisi konflik dan keamanan, political will dan peran CSO.
Terkait dengan landasan hukum. Yang tidak boleh salah adalah bahwa Resolusi 1325 bukan sebuah konvensi, sehingga statusnya bukan untuk diratifikasi, tetapi diadopsi oleh semua state member untuk diturunkan ke dalam rencana aksi nasional atau terintegrasi ke dalam kebijakan pembangunan nasional. Meski tidak legally binding seperti konvensi CEDAW, tetapi negara telah memberikan persetujuan untuk mematuhi keputusan PBB untuk memberikan fokus pada perempuan, perdamaian dan keamanan.
Penolakan Kementerian Luas Negeri pada kepemimpinan Presiden SBY mendorong tim drafter menggunakan intrumen hukum nasional yang bisa diterima oleh semua pihak asalkan substansi Resolusi 1325 tidak hilang, yaitu: 1) memberikan perlindungan pada perempuan dan anak dari kekerasan berbasis gender (GBV), (2) mempromosikan pencegahan konflik, (3) meningkatkan partisipasi perempuan dalam perjanjian damai, dan (4) memaintreamkan gender dalam bantuan kemanusiaan.
Dinamika lainnya adalah pada definisi konflik dan keamanan. Pilihan menggunakan istilah konflik sosial memang beresiko tidak mengenali keragaman konflik yang ada di tanah air. Apakah itu artinya penyelesaian selain konflik sosial tidak bisa menggunakan RAN P3AKS? Tergantung bagaimana membingkainya. Tetapi jika dilihat dari rujukan hukum yang menggunakan UU CEDAW maka tentu bisa dimungkinkan penggunaan definisi konflik pada GR 30 CEDAW. RAN Philipina juga sangat fokus pada konflik bersenjata, sehingga secara natural mengabaikan jenis konflik lainnya.
Political will dari pengambil keputusan sangat penting. Jika dilihat dengan indikator Inclusive Security, maka political will bisa dilihat dari empat hal yaitu pertama, kesungguhan pemerintah pada RAN P3AKS masih diatas kertas. Rapat Kordinasi pada 4 November 2016 yang dihadiri kementerin lembaga menunjukkan minimnya pelaksanaan RAN P3AKS di tingkat kementerian sendiri. Kedua, kordinasi dan keterbukaan. Pertemuan intensif diantara anggota Pokja sangat intensif, tetapi eksekusi program belum maksimal di semua Kementerian Lembaga. Sampai sekarang SK Pokja RAN P3AKS belum dikeluarkan. Sehingga kekuatan tim Pokja untuk melakukan monitoring di Kementerian Lembaga tidak ada. Sekretariat kerja tim Pokja juga belum disetujui, sehingga menghambat penyiapan teknis proses eksekusi program di lapangan dan juga pelaporan. Komitmen Indonesia pada pelaksaan RAN P3AKS diikuti dengan ketersediaan budget yang terintegrasikan ke dalam program kementerian. Sementara dedicated budget untuk RAN P3AKS ada di KPPPA. Dana ini juga bisa diakses oleh NGO dengan mengikuti tata administrasi yang berlaku.
Ketiga adalah monitoring dan evaluasi. Pendekatan “dari, oleh dan untuk pemerintah” masih kuat. Sistem monitoring kerja-kerja RAN P3AKS belum diciptakan. Sehingga hasil pelaksanaan RAN P3AKS selama satu tahun diukur dari laporan kementerian saja. Sementara dari sisi CSO belum ada kesepakatan apakah CSO akan menerbitkan shadow report atau independent report. Saat ini laporan pelaksanaan RAN P3AKS masyarakat sipil digabungkan dengan laporan pemerintah.
Ke-empat yaitu peran masyarakat sipil. Pada proses drafting RAN, peran CSO sangat besar dan terlibat intensif dengan penyusunan draft, tetapi pada implementasi RAN P3AKS, CSO lebih banyak memainkan peran-peran sebagai nara sumber. Peran sebagai asistensi pemerintah dalam pelaksanaan RAN P3AKS masih bersifat informal dan berbasis sukarela. SK Pokja akan bisa dipakai untuk mendevelop peran-peran ini.
Dalam hal substansi, Adriana Venny memberikan penekanan pada absennya UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di nasional memang menghambat korban kekerasan berbasis gender untuk mendapatkan keadilan. Tetapi terobosan yang dilakukan oleh Aceh dengan membuat Qanun KKR merupakan solusi alternatif. Khaerani dari Balaisyura menekankan bahwa target Qanun KKR bukan untuk menghadirkan pelaku dan meminta maaf, tetapi lebih untuk memberikan legitimasi hukum bagi korban untuk mengklaim hak-haknya. Termasuk dukungan jangka panjang. Venny juga menekannya pentingnya memperlakukan RAN sebagai living document yang bisa merespon fenomena nasional terkait dengan refugee, korban penyesatan seperti Gafatar, Syiah, Ahmadiyah dan sebagainya. Venny juga menekankan pentingnya melihat RAN dalam konteks framework yang lebih luas seperti konsep Respect to Protect dimana Indonesia pernah melakukan kekejaman masal harus dilihat menjadi bagian penting.
Dalam waktu dekat, penting pemerintah segera menerbitkan SK Pokja dan memfasilitasi sekretariat tim Pokja untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi pengetahuan terkait dengan RAN P3AKS. Kedua, sistem monitoring dan evaluasi penting segera dibentuk agar sejak awal perencanaan monitoring bisa dijalankan dengan maksimal. Ketidak-eksplisitan mencantumkan Resolusi 1325 ke dalam RAN P3AKS memang menjadi titik lemah, tetapi jika dilihat sejarah negosiasi ini merupakan cara lain mengintegrasikan resolusi 1325 ke dalam kebijakan nasional. Tentu saja, dalam mid term yang seharusnya dilakukan pada tahun 2017, maka penting untuk menegosiasikan kembali kepada pemerintah untuk mencantumkan resolusi 1325 atau GR 30 CEDAW sebagai landasan hukum yang mendukung RAN P3AKS.
Kerangka Kebijakan Publik, Dimana RAN P3AKS?
Instrumen hukum internasional seharusnya bukan rujukan utama, tetapi komplementer. Begitu Prof. Sigit, direktur PSPK. Saya mencoba memahami maksud dari kata-kata ini. Artinya bahwa jika ada instrumen hukum nasional yang bisa dijadikan rujukan sebuah RAN, maka tentu syah-syah saja. Tetapi memang, jika memungkinkan untuk diperbaiki, memperjelas referensi hukum pada RAN P3AKS menjadi penting. Tetapi bukan berarti tidak melakukan apapun. Implementasi RAN ke daerah tetap harus dilakukan.
Pada area implementasi, Prof. Sigit menekankan pentingnya memastikan peningkatan pada partisipasi perempuan, penerbitan SK untuk memperkuat legitimasi tim Pokja, membentuk forum konsultasi nasional, dukungan finansial teknis dan politis untuk memastikan semua persoalan gender dan perempuan terakomodasi dalam kebijakan. Konsistensi kebijakan nasional dan lokal. Harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan dan legislasi. Membangun mekanisme akuntabilitas yang kuat yang ditunjukkan dengan leadership yang kuat.
Prof. Muhajir Darwin menghubungkannya dengan kebijakan gender mainstreaming yang disahkan dengan instruksi Presiden No. 9 tahun 2000. Artinya bahwa komitmen negara dalam memastikan gender-responsive indicator ke dalam kebijakan, program dan penganggaran, juga berbicara tentang perempuan dan anak di wilayah konflik. Terkait dengan kebijakan baru Prepres No.18 tahun 2014 tentang RAN P3AKS bisa bernasib sama dengan kebijakan lainnya. Pelaksanaanya lebih sulit daripada menerbitkan kebijakan. Ini dianggap wajar oleh Prof. Darwin karena 99% kebijakan memang sulit dilaksanakan.
Salah satu penyebabnya karena persoalan politik bahasa. Penggunaan istilah, definisi, dan kata sering tidak memotret fenomena secara holistik. Sehingga kelompok-kelompok rentan dan marginal sering bukan penikmat sebuah kebijakan. Beberapa kata kunci dalam pembahasan perempuan,perdamaian dan keamanan sangat sarat dengan politik bahasa. Dewi Candraningrum dari Jurnal Perempuan menganalisis dari segi pendekatan budaya, dimana definisi konflik sosial secara terstruktur meminggirkan kenyataan konflik / perang dunia kedua, konflik 65, konflik 98 dimana korban-korban kekerasan seksual dan politik belum mendapatkan keadilan. Politik bahasa dipakai untuk melepaskan tanggungjawab negara terhadap korban-korban konflik. Misalnya saja yang paling mudah adalah penggunaan istilah konflik sosial dalam RAN P3AKS, secara langsung tidak mengenali korban-korban diluar definisi konflik sosial. Padahal jumlah korban banyak sekali.
Membumikan RAN P3AKS, Memperkuat Lokal
Target tahun pertama KPPPA adalah membuat 15 Rencana Aksi Daerah (RAD) di wilayah-wilayah yang memiliki kategori konflik. Padahal sebenarnya hampir semua wilayah Indonesia adalah rawan konflik. Pelaksanaan di Maluku menghadapi tantangan besar dengan perspektif lokal yang merasa tidak membutuhkan RAN P3AKS karena konflik telah usai. Ibu Ima, perwakilan dari Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak melakukan road show ke beberapa SKPD untuk mengajaknya duduk bersama untuk menurunkan kebijakan nasional Prepres No. 18 tahun 2014 dan Permenko No. 7 dan 8 tahun 2014 tentang Pokja dan Program RAN P3AKS. Pasca pelatihan advokasi dan mobilisasi pada bulan Oktober, tindak lanjut pembentukan RAD tampaknya masih mengalami kendala. Terutama pada persepsi terhadap kebijakan nasional yang dianggap tidak relevan dengan daerah dan beban karena harus mencarikan dukungan dana. Sementara realitasnya Maluku memiliki beberapa kebijakan yang mendukung pada merawat perdamaian misalnya Perda pemerintahan Negeri yang memperkuat peran adat dalam mencegah konflik kembali pecah. Pemerintahan adat diharapkan bisa mendekatkan kehadiran negara dalam bentuk ramah lokal.
Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki segudang masalah perempuan dari mulai gizi buruk, rendahnya partisipasi, tingginya angka kematian ibu (302/100.000 kelahiran), kemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan. RAN P3AKS diharapkan bisa membantu menyaringkan suara perlindungan pada korban kekerasan berbasis gender. Strategi integrasi dengan program yang sedang berjalan sangat mungkin, tetapi penting memastikan indikator perempuan, perdamaian dan keamanan ada. Kerjasama dengan kelompok NGO dilakukan untuk memperkuat analisis masalah dan penyelesaian secara taktis. Pasca training bulan September 2016 belum menunjukkan tanda-tanda konsolidasi pada subtansi RAD P3AKS, tetapi sosialisasi pada SKPD sedang dilakukan.
Ketua Badan PP Ibu Erni, harus berani memilah program-program yang secara langsung bisa dikuatkan dalam RAD P3AKS dan bersinergi dengan program pemberdayaan perempuan yang sedang dikembangkan pula di departmennya. CIS Timor yang diwakili oleh Sischa membeberkan kuatnya modalitas di akar rumput terkait dengan upaya membangun perdamaian mulai dari pendekatan serius sampai populis. Forum-forum lintas iman yang digagas oleh anak-anak muda diharapkan bisa mendukung implementasi RAN di tingkat daerah. Tantangan internal pada gerakan perempuan yang fragmented cukup tinggi. Sementara agenda Resolusi 1325 masih sedikit orang yang tahu. Fenomena pembangunan markas militer di perbatasan dan gonta ganti pasukan mengkhawatirkan karena tingkat Korban Rayuan Militer (koramil) semakin tinggi.
Aceh terlihat lebih leading dari semua propinsi. Dukungan UN Women kepada Balaisyura untuk mendrafting RAD dengan melibatkan perwakilan SKPD tampaknya seperti jalan tol. Ini karena kapasitas kawan-kawan di Balaisyura memang memadai. Khaerani mewakili jaringan Balaisyura membeberkan tentang progress RAD yang sudah pada biro hukum. SK Pokja sudah keluar dan sedang menunggu launching. Meskipun kecenderungan mental birokrasi Aceh mendikotomikan kebijakan pusat dan daerah, resistensi kuat pada isu gender, kemampuan birokrasi yang rendah, sulitnya kordinasi antara birokrasi, tetapi penting melihat peluang yang ada seperti Qanun KKR 2013, Qanun pemberdayan perempuan dan anak 2009, keberadaan perjanjian Helsinki, Piagam Hak Perempuan yang disepaati oleh multi pihak, termasuk GAM. Ketersediaan dana otonomi khusus Aceh bisa dipakai untuk implementasi RAD (7,6 trilyun 2016). Adanya Musrena (musyawarah permepuan sebelum Musrembang), forum alternatif untuk mengakomodasi aspirasi perempuan. Keberadaan Lembaga perempuan di akar rumput seperti balai inong (pondok perempuan), yaitu tempat diskusi perempuan dan jaringan JPA 231 yang ada di 23 kabupaten kota. Saat ini program-program terkait dengan Sekolah HAM perempuan dan sekolah keberagaman untuk mahasiwa mampu membantu
Kota Palu Sulteng memiliki sejumlah kebijakan yang mendukung upaya rekonsiliasi pada korban. Misalnya saja Permintaan Maaf Walikota Palu kepada korban 65 dan kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Walikota Palu no. 180/1090/HKM/2014 - tentang nama-nama korban dugaan pelanggaran HAM 65-66. Para korban diberikan bantuan bedah rumah, beasiswa, dan bantuan aktifitas ekonomi. Ada Perda no.4 2010 yang mengatur keterlibatan perempuan dalam Musrembang, pencanangan kota ramah HAM dan Anak juga merupakan inisiatif lokal yang banyak didukung. Kebijakan-kebijakan tersebut juga berorientasi pada penguatan kapasitas desa dan kelurahan untuk berperan aktif dalam pembangunan, sebagai pos-pos pengaduan. Masih banyak lagi modalitas-modalitas yang dimiliki oleh kota Palu. Progres terkait dengan pembentukan RAD masih pada tataran sosialisasi di kalangan birokrasi.
Libu Perempuan yang diwakili Dewi Rana menekankan pada pentingnya mengangkat kembali modalitas perempuan yang pernah hidup pada saat konflik Poso untuk menolong korban. “Solidaritas tentangga” berhasil membantu korban Poso mulai dari memberikan makan sampai meminjamkan lahan untuk digarap. Penggunaan instrumen hukum adat juga memungkinkan dalam perlindungan perempuan dan anak meskipun harus dipastikan benar. Jika ada hukum adat yang lebih protektif terhadap perempuan dan anak dan diintegrasikan dengan CEDAW dan Resolusi 1325. Ini salah satu cara untuk melibatkan pemangku adat untuk mendukung pelaksanaan RAN P3AKS. Ini juga bisa menciptakan ruang baru buat NGO bergerak simultan dengan pemerintah dalam membumikan RAN ke daerah.
Melihat dinamika dari isu nasional, maka penting untuk memastikan bahwa RAN P3AKS juga bisa adaptif dan responsif terhadap perkambangan situasi. Pak Nelwan Harahap dari Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan memberikan penekanan pada tingginya angka kekerasan baik itu terkait dengan kriminal, main hakim sendiri dan KDRT dengan merujuk pada hasil monitoring Sistem Nasional Pemantauan KEkerasan (SNPK). Pak Nelwan menekankan data ini bisa dikembangkan menjadi lebih luas. Terkait dengan isu adaptasi Pak nelwan juga memberikan tantangan pada forum terkait dengan pengungsi Gafatar dan mungkin isu-isu lainnya.
Menuju Kolaborasi Intergratif: Rekomendasi
Seperti yang dimandatkan oleh resolusi 1325, bahwa aktor pemerintah dan non pemerintah berkewajiban untuk membumikan 1325 dalam bentuk kebijakan nasional. Saat ini RAN P3AKS dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah hadir di tengah kita, pemerintah masih aktor dominan dalam mengimplementasikan RAN P3AKS. Kehadiran masyarakat sipil dan akademisi dalam kerangka kerja baru pelaksanaan RAN P3AKS akan menurunkan kekhawatiran bahwa pelaksanaan RAN P3AKS diberlakukan “bussiness as usual” sehingga tidak ada keistimewaan.
Beberapa rekomendasi lahir dari forum yang terkait langsung dengan pelaksanaan RAN P3AKS adalah:- Pelaksanaan Mid Term Review pada 2017 melibatkan kelompok akademisi lebih luas sehingga bisa mendapatkan cerita impact-oriented yang lebih dalam
- Penyusunan RAD P3AKS di daerah rawan konflik harus disegerakan karena berdasarkan studi SNPK daerah-daerah inilah yang terbukti mengulang konflik
- Penguatan mekanisme sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, akademisi dan CSO untuk mengefektifkan peran masing-masing
- Penguatan jaringan antar pemangku kepentingan untuk mensolidkan pelaksanaan RAN P3AKS dan sekaligus pembumian konsep-konsep
- Penggunaan strategi budaya dan linguistik untuk melakukan advokasi pada korban kekerasan berbasis gender pada konflik perang dunia II, konflik 65, konflik 98 dan berbagai konflik bersenjata dan sosial yang terjadi di sub nasional
- Penyusunan policy brief pada setiap riset yang dilakukan akademisi terkait dengan women, peace and security agar secara operasional bisa ditindaklanjuti dengan kebijakan pemerintah
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar