Kamis, 17 Desember 2015

Writing Her-story; Training on Citizen Journalism for Peacebuilding


Hujan air mata saat mendengarkan presentasi tulisan para ibu tidak pernah menjadi skenario dari training menulis ini. Siapa sangka bahwa dengan menulis, justru para ibu bisa menyelami kembali masa-masa sulit dan kebangkitannya. Ya…dua hari menulis adalah pengalaman terindah.

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman yang terdokumentasikan membutuhkan usaha keras bagi perempuan karena perempuan lebih familiar dengan budaya tutur. Kekuatan tutur perempuan sudah terbukti mampu memperkuat empati kolektif diantara perempuan dan breaking the silent dimulai dari dalam diri perempuan. Tetapi menulis memberikan ruang bagi perempuan untuk merapikan pengetahuan dia untuk dibagikan kembali kepada perempuan lainnya. Pentingya sebuah tulisan mendorong AMAN Indonesia untuk memfasilitasi perempuan-perempuan akar rumput untuk memperkuat ketrampilan menulis melalui sebuah training menulis pengalaman perempuan yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober sampai 1 November 2015, kerjasama dengan UNDP.

Training ini sebenarnya sebagai kelanjutan dari program penguatan kapasitas yang dikemas dalam bentuk Sekolah Perempuan Perdamaian. Sejak tahun 2010, AMAN Indonesia bekerja di Poso untuk memperkuat kapasitas perempuan dalam upaya bina damai. Dalam lima tahun bekerja, AMAN telah menciptakan “women peace champion” dari kalangan masyarakat biasa melalui pendidikan regular Sekolah Perempuan untuk Perdamaian. Strategi bina damai AMAN melalui Sekolah Perempuan ini telah memperkuat pengetahuan dan skill perempuan yang turut berkontribusi pada upaya memperkuat budaya damai, pluralisme dan demokrasi. 

15 perempuan perwakilan dari Sekolah Perempuan Perdamaian dan LIBU Perempuan dipilih berdasarkan pada aplikasi dan essay yang dikirimkan ke panitia. Ini merupakan seleksi alamiah untuk menjaring para perempuan yang memang memiliki keseriusan dalam hal menulis. Dengan arahan fasilitator dari Aliansi Jurnalis Indonesia, Luviana, tulisan ingin diarahkan pada penggalian agensi perempuan. Tetapi juga penting memotret bagaimana agensi muncul dari diri perempuan yang mengalami pengalaman kekerasan. Dengan sentuhan jurnalisme warga, peserta mampu menuangkan secara detil fase kehidupan mereka dari korban menjadi penyintas. 

Training terdiri dari tiga sesi utama; pertama,  Menanam pondasi konsep  literasi media dan prinsip-prinsip jurnalisme warga. Sebuah tulisan hendaknya memberikan daya pikat dari awal sampai selesai, dan memberikan pengetahuan baru bagi pembacanya. Kedua, Pengenalan dasar-dasar penulisan dengan teknik 5W1H, dimana dalam menulis informasi yang dituankgan haruslah bisa menjawab what, why, who, when, where dan how. Setelah itu peserta praktek menulis dibawah arahan fasilitator. Terkahir adalah sesi presentasi tulisan dan perbaikan. Dalam sesi ini peserta diminta untuk memaparkan apa isi dari tulisan masing-masing dan kemudian diberikan feedback, kemudian revisi. Mentoring intensif kepada para peserta dilakukan untuk memastikan bagian penting dari kisah hidup mereka tidak terlewatkan. 

Isak tangis mewarnai training ini karena setiap peserta memiliki kisah pilu dan tragis sebagai korban kekerasan terhadap perempuan, yang kemudian bangkit menjadi survivor. Menulis bukan saja menjadi ruang refleksi dari penulis sendiri tetapi juga membuka ruang empati buat perempuan lainnya untuk benar-benar menyelami kehidupan temannya dan belajar bagaimana menjadi kuat dan bangkit. 

Pembelajaran penting

Transformasi konflik oleh perempuan,  dari tradisi bertutur ke menulis adalah sebuah transformasi penting dalam kehidupan perempuan. Setiap lembar tulisan peserta adalah roadmap kehidupan pribadinya dan komunitasnya. Tidak perlu sebuah kisah heroik untuk menggambarkan bagaimana kontribusi perempuan dalam upaya perdamaian. Sebaliknya, cerita yang mengalir dari keterpurukan sebagai korban yang buta akan hak-haknya kemudian masuk fase pencerahan dan resistensi pada kondisi injustice di sekelilingnya mampu menimbulkan empati yang kuat. Ini yang kami sebut (meminjam istilah Lambang Triyono ) sebagai genuinitas perempuan. Adalah cara bertutur yang apa adanya tanpa bingkai teori grand. Bukan cerita heroik tetapi cerita kehidupan yang jujur dan lugas untuk membangun kepercayaan bagi pembacanya. Membaca tulisan jujur akan menggerakkan pembaca untuk beremphati dan ini merupakan bahan dasar untuk membangun perdamaian. Jika pembaca tergerak oleh tulisan tersebut, artinya literasi media memang nyata.

Metode story telling membantu peserta merekonstruksi kembali ingatan kelam konflik sampai titik balik dimana mereka menemukan kekuatan untuk terlibat dalam usaha bina-damai. Dan yang lebih penting juga adalah melihat variasi model kepemimpinan mereka untuk bina damai (leadership to peace building).Maka, mereka menyadari bahwa proses mendokumentasikan narasi perdamaian oleh perempuan tersebut menjadi salah satu kerja untuk keberlanjutan Sekolah Perempuan untuk perdamaian. Hal yang tak kalah penting dari proses ini adalah mengubah kebiasaan oral narasi ‘hebat’ menjadi sebuah narasi tulisan yang dapat disebar-luaskan ke publik.

***


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar