Jumat, 10 Juli 2015

RAN P3AKS: Otentik V.S Kontektual

Tulisan ini bertujuan untuk menanggapi tulisan berjudul “Negaraku, Benar atau Salah?” yang ditulis oleh Valentina Sagala pada sinarharapan.co yang diterbitkan pada tanggal 6 Juni 2015. Sebagai anggota tim kordinasi nasional yang juga salah satu drafter RAN Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada Konflik Sosial (P3AKS), penting bagi saya untuk memberikan opini berbeda tentang kehadiran RAN P3AKS ini. Saya telah terlibat secara langsung yang mengikuti proses pembuatan RAN ini selama beberapa tahun, ingin memberikan perspektif yang berbeda pada keberadaan RAN P3AKS yang merupakan produk kontektualisasi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan. 

Kata “kontekstualisasi” sengaja saya pakai untuk menunjukkan pada khalayak publik bahwa turunan Resolusi 1325 dalam bentuk kebijakan nasional bisa berupa stand-alone NAP 1325 atau Integrasi substansi dari resolusi 1325 ke dalam Rencana Pembangunan. Saat ini ada 51 negara yang telah memiliki RAN 1325 didunia. Secara lengkap bisa dilihat di link berikut http://actionplans.inclusivesecurity.org/countries/indonesia/ . Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara kedua setelah Pilipina yang memiliki RAN 1325. Dengan menggunakan nama PerPres No. 18 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial.

Saat ini RAN P3AKS telah mendapatkan dukungan dari 24 Kementerian Lembaga dan telah diintegrasikan ke dalam rencana aksi nasional. Artinya secara political will, pemerintah Indonesia telah pula mengalokasikan budget RPJMN untuk mendukung implementasi RAN P3AKS. Saat ini, RAN dalam proses penurunannya pada Rencana Aksi Daerah (RAD), dimana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah melakukan konsolidasi di daerah seperti Bengkulu, Aceh, Gorontalo, Maluku Utara. Implementasi ini dikuatkan dengan Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri No. 460/5131/PUM tentang Percepatan Pelaksanaan P3AKS di daerah-daerah. Namun sayangnya, meskipun RAN P3AKS telah di-launching oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu Linda Gumelar dan Menteri Kesejahteraan Rakyat (sekarang Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan)  pada tanggal 6 Oktober 2014 di Hotel Pullman Jakarta. Keberadaan RAN ini memang tidak hingar bingar di media. Saya sendiri melihat pola kerja membumikan RAN ke daerah sangat intensif dilakukan oleh KPPPA dengan melakukan road show ke daerah-daerah. Ini jauh lebih penting ketimbang hanya menjadi media darling tetapi minim kerja. Untuk memperkuat dukungan pada pelaksanaan RAN ini, KPPPA direkomendasikan untuk membuat sebuah media senter sederhana sebagai rujukan publik untuk melihat perkembangan pelaksanaan RAN di daerah. 

Sebagai bagian dari tim yang menghasilkan RAN P3AKS, tentu penting buat kami untuk menjelaskan kepada publik tentang proses dan substansi RAN P3AKS yang mengalami dinamika begitu tinggi karena perbedaan memandang urgensi dari RAN itu sendiri dan rujukan sumber hukum yang dianggap tepat. Beberapa dinamika yang terjadi bisa ditangkap dalam ulasan dibawah ini. 

Dinamika Politik dalam RAN P3AKS

Sejak diinisiasi pada tahun 2007, RAN 1325 memang mengalami sebuah transformasi yang luar biasa. Beberapa dinamika yang saya tangkap adalah sebagai berikut: 

Pertama, value yang melandasi munculnya RAN. Sejak awal RAN ini memang digagas karena adanya adanya Resolusi  Dewan Keamanan PBB 1325 yang disyahkan pada tahun 2000. Ini adalah resolusi pertama yang merespon masalah perempuan, perdamaian dan keamanan. Mandat utama dari resolusi 1325 pada keterlibatan perempuan dalam resolusi konflik dan peacebuilding. Mengapa? Korban perang yang terbanyak pada abad 20 adalah masyarakat sipil dimana perempuan dan anak menjadi sangat rentan, terutama dalam konflik bersenjata. Mereka menjadi target para kombatan maupun elemen bersenjata. Apakah resolusi hanya untuk merespon konflik bersenjata? Tentu saja tidak sekaku itu. 

Konflik bersenjata memang sangat dominan pada awal abad ke 20, dimana kedua pihak yang berkonflik sama-sama menggunakan kekuatan bersenjata. Makanya dokumen Beijing Platform for Action yang dirumuskan tahun 1995 di Beijing juga menjadikan persoalan perempuan dan konflik bersenjata sebagai salah satu isu krusial perempuan di dunia. Bahkan dokumen ini menjadi landasan pentingnya dikeluarkan Resolusi 1325. Berikut cuplikannya.

Recalling also the commitments of the Beijing Declaration and Platform for Action (A/52/231) as well as those contained in the outcome document of the twenty-third Special Session of the United Nations General Assembly entitled “Women 2000: Gender Equality, Development and Peace for the Twenty-First Century” (A/S-23/10/Rev.1), in particular those concerning women and armed conflict,

Dalam konteks Indonesia, apakah tidak ada konflik bersenjata? Pengalaman Aceh, Poso, Maluku dan Papua cukup dijadikan bukti dari konflik bersenjata. Tetapi tentu bukan satu-satunya karena konflik sosial juga banyak terjadi di sub nasional. Kebencian pada “yang berbeda” baik berbasis pada perbedaan agama, orientasi seksual atau minoritas lainnya, terekspresikan dalam bentuk kekerasan, yang juga sulit dicarikan jalan keluarnya karena elemen agama dipolitisasi. Dalam kontek konflik apapun, kondisi keamanan perempuan dan anak tidak jauh berbeda. Mereka adalah kelompok paling rentan. Jika demikian tentu keamanan perempuan dan anak dalam situasi konflik yang menjadi isu utama. Bukan jenis konfliknya. 

Kedua, landasan hukum dalam RAN P3AKS. Resolusi 1325 bukan instrumen hukum. Dia adalah sebuah tawaran penyelesaian dalam konteks khusus untuk mendorong implementasi hukum internasional CEDAW dan dokumen Beijing Platform for Action mendapatkan dukungan yang lebih besar karena situasi keamanan perempuan di wilayah konflik yang rentan dapat menghambat pencapaian gender equality. Sementara pada tahun 2012, pemerinta Indonesia menetapkan UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, yang kemudian dijadikan rujukan hukumnya. Untuk memperkuat rujukan hukumnya maka pasal 4 UUD 1945, UU No. 7 tahun 1984 tentang CEDAW (seharusnya General Recomendation No. 30 tentang perempuan dan konflik dicantumkan secara eksplisit), UU No. 39 tahun 1999 tentag HAM, dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga dicantumkan. Mereka semua adalah instrumen HAM yang relevan untuk mendukung RAN P3AKS. 

Jadi, UU No. 7 tahun 2012 bukanlah satu-satunya produk hukum landasan RAN P3AKS ini. Sehingga statemen Saudara Valentina Sagala dibawah ini,

RAN tersebut lahir sebagai turunan dari UU No 17/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang jelas-jelas membatasi konflik sebatas “sosial” sebagai “perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional”? Dengan definisi tersebut, jelas UU ini beserta peraturan turunannya sama sekali tidak mengakui konflik yang melibatkan negara termasuk dengan militer. Mari cermati berbagai konflik yang terjadi di negeri kita.
Lebih dalam lagi, UU ini bukanlah peraturan terkait dengan penghentian genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (yang jelas-jelas menjadi roh penting dalam UNSCR 1325). (Cuplikan tulisan Valentina Sagala di sinarharapan.co)


kurang tepat. Karena titik tekan mengapa perlunya RAN P3AKS ini justru didorong oleh banyaknya korban kekerasan berbasis gender semasa konflik bersenjata di Aceh, Poso, Maluku dan Papua yang tidak mendapatkan hak-hak mereka. Namun, dalam konteks kekinian, kondisi perempuan Indonesia yang menjadi korban konflik sosial juga perlu direspon. Jika memang UU No. 7 tahun 2012 dianggap tidak cukup untuk mengangkat RAN Perempuan, Perdamaian dan Keamanan seperti yang dituduhkan oleh Valentina Sagala, saya berbeda pandangan. Bagi saya, UU No. 7 tahun 2012 menjadi relevan krena ada mandat pemerintah untuk menurunkan bentuk teknis merespon perempuan dan konflik sosial. Dan ini sangat relevan dengan konteks keindonesiaan kita. Tetapi ini bukan satu-satunya produk hukum yang jadi landasan dari RAN P3AKS. Ketiga landasan hukum lainnya masih sangat relevan untuk men-justifikasi bahwa RAN P3AKS memang bagian dari upaya menurunkan Resolusi PBB 1325.

Konteks politik Indonesia pada kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) juga harus dilihat secara cermat. Pendekatan Politik luar negeri “Zero Enemy, Million Friends’ menghalangi Indonesia secara tegas untuk merespon komitmen global. Ini sangat terlihat pada cara Kementrian Luar negeri merespon proses pembuatan RAN P3AKS. Kementrian Luar Negeri berpandangan bahwa Indonesia tidak relevan mengikuti resolusi 1325 karena dianggap bukan negara konflik. Ini dikarenakan konflik yang terjadi di Indonesia bukan bersekala nasional. Konflik dan kekerasan di indonesia terjadi di sub nasional. Dengan demikian Kemlu berpendapat UU PKS jauh lebih relevan dijadikan landasan hukum. Sementara Kementerian PMK dan KPPPA memandang bahwa Resolusi 1325 tidak hanya ditujukan untuk merespon konflik nasional. Tetapi juga dianggap sangat relevan untuk merespon cara  bangsa Indonesia merespon konflik, dimana perempuan tidak dilibatkan cukup serius dalam pembicaraan perdamaian. Jika perdebatan ini dilanjutkan. Kita tidak akan pernah memiliki RAN P3AKS, karena persetujuan dari Kemlu sangat menentukan dalam pembuatan RAN ini. Meskipun mereka bukanlah leading sector dalam implementasinya. Urgensi Indonesia memiliki RAN P3AKS didorong oleh banyaknya korban kekerasan berbasis gender yang tidak mendapatkan keadilan. Sementara kita juga melihat transformasi konflik Indonesai dari Bersenjata ke sosial juga memiliki kecenderungan meningkat. Urgensi inilah yang kemudian menjadi pertimbangan bahwa RAN P3AKS harus ada. Bahwa akan ada revisi di kemudian hari tentu terbuka lebar, tetapi tidak pada tahap awal. Implementasi di lapangan perlu dilakukan untuk melihat kelemahan dan kekuatan RAN ini. 

Ketiga, substansi RAN P3AKS. Untuk mendapatkan subtansi perempuan, perdamaian dan keamanan maka indikator dalam Resolusi 1325 dimasukkan ke dalam matrix program RAN P3AKS. Elemen penting itu tentu harus memiliki relevansi dengan konteks Indonesia. Sehingga tidak semua apa yang direkomendasikan dalam Resolusi 1325 relevan untuk Indonesia. Sehingga penting buat kita melihat Ada 4 elemen penting yaitu Perlindungan, Pencegahan, revocery dan Mainstreaming Gender, yang di dalam RAN P3AKS diklaster hanya menjadi dua yaitu Perlindungan dan Pemberdayaan.  Perlindungan meliputi penyediaan data base, peningkatan kesadaran masyarakat, peningkatan peran media massa dalam diseminasi dan informasi, peningkatan layanan dan perbaikan fasilitas, pelatihan dan pencegahan kekerasan, dan perbanyak ruang publik Pemberdayaan meliputi peningkatan ketahanan hidup, usaha ekonomi dan partisipasi perempuan dalam resolusi konflik dan peacebuilding 

Saya sendiri telah melakukan pengecekan mendetil bahwa program-program yang telah diambil dalam RAN P3AKS mengacu pada resolusi 1325. Bahkan ada perkembangan yang luar biasa pada Kementerian Pertahanan dimana, program Security Sector Reform (SSR) sudah mulai terlihat dengan Political will baru Kementerian Pertahanan untuk melakukan maintreaming gender serius dalam institusi mereka. Termasuk melatih para militer dengan perspektif gender. Bukankah ini sesuatu yang menggembirakan? Dari 17 Kementerian Lembaga yang berkomitmen pada awal pembentukan RAN, saat ini menurut KPPPA telah ada 24 Kementerian Lembaga yang komitmen dalam menjalankan RAN P3AKS ini. 

Hasil Review Inclusive Security pada Pertemuan tim drafter 10 negara yang memiliki RAN 1325, dimana saya hadir bersama 2 delegasi lainnya (Irine Gayatri dari LIPI dan Riskiyono dari KPPPA) menjelaskan bahwa RAN Indonesia memiliki kekuatan pada political will. Negara-negara seperti Firlandia, Belanda, Swedia, Canada, Norwegia, Ghana, Afghanistan, Jepang (integrasi ke Rencana Pembagunan), Bosnia-Herzegofina, yang hadir dalam acara  NAP ACADEMY 2014,  hanya mendapatkan dukungan hanya beberapa kementerian saja. Itupun juga tidak termasuk komitmen pada budget. Acara yang diselenggarakan di Gerogetown University pada tanggal 3-5 Desember 2014 di Washington DC, memberikan pengakuan tegas bahwa komitmen budget  merupakan ukuran tinggi-rendahnya political will untuk RAN 1325. 

RAN 1325; Otentik atau kontektual? 

Global Review resolusi 1325 yang dilakukan di tingkat Asia Pacific pada tanggal 11-12 Februari 2015 di Nepal, Mavic Cabrera Balleza dari Global Network on Women Peacebuilders (GNWP) memberikan penekanan bahwa Resolusi 1325 tidak mewajibkan negara-negara anggota PBB membuat RAN 1325, tetapi mendorong agar pemerintah nasional menerjemahkan Resolusi 1325 pada konteks nasional yang menekankan pentingnya pelibatan perempuan dalam penyelaian konflik dan gender mainstreming dalam sektor keamanan. Sehingga bentuk formulasi nasional resolusi 1325 bisa berbeda-beda. Bahwa kemudian mengarah pada bentuk RAN atau National Action Plan (NAP) ini karena para aktifis perempuan perdamaian ingin menjadikan resolusi 1325 sebagai bahasa pemersatu untuk advokasi global. Dengan memiliki bahasa satu, maka konsolidasi untuk memainstreamkan women, peace and security menjadi lebih mudah.

Dengan demikian perdebatan otentik atau tidak menjadi tidak relevan. Karena spirit dari resolusi 1325 adalah bukan pada bentuk, tetapi pada substansi. Karena konteks nasional sangat menentukan bagaimana upaya merespon women, peace and security menjadi lebih masif, maka tentu mekanisme apapun yang dirasa ramah dan relevan di konteks lokal, seharusnya didukung penuh. Karena dukungan untuk pelaksanaan RAN P3AKS akan berdampak pada pemenuhan Hak-hak korban kekerasan berbasis gender dan mencegah sedini mungkin konflik kekerasan terjadi karena dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan,maka wajah pembangunan kita akan jauh lebih sensitif pada menjaga perdamaian. Bukankah ini seharusnya jadi prioritas kita semua?

Dengan demikian ungkapan saudari Valentina Sagala dibawah ini,

Dalam perenungan saya, mencintai negara saya bukanlah berarti harus berbohong. Saya akan katakan salah jika salah dan benar jika benar. Saya katakan salah agar kesalahan bisa diakui dan dibenahi untuk menjadi baik. Saya katakan benar agar bisa belajar dari yang lain dan mengembangkan diri agar lebih baik lagi. Rasanya, cinta ya seperti itu!


dalam benak saya terasa tidak dalam satu nafas mendukung mensukseskan implementasi RAN P3AKS yang sangat mendorong bagaimana upaya keterlibatan perempuan dalam penyelesaian konflik dilakukan. Lebih jauh statemen diatas dapat ditafsirkan bahwa kelompok kerja yang memformulasikan RAN dan semua pihak yang mendukungnya dianggap "berbohong". Ini bisa merugikan karena semangat RAN P3AKS diharapkan bisa mendorong model respon konflik berperspektif gender dan kerja-kerja transformasi konflik dengan dukungan usaha ekonomi dan dukungan hukum pada korban, justru membutuhkan satu langkah bersama perempuan perdamaian untuk mengawal agar RAN ini benar-benar bisa dijadikan mekanisme tambahan yang bisa menjawab unfinished bussiness dalam upaya negara merespon konflik.

NAP Academy: Dimana RAN Indonesia?

Pada tanggal 3-5 Desember 2014, Inclusive Security, Ceiling Innitiative dan Georgetown University menyelenggarakan NAP Academy, sebuah gathering para drafter RAN 1325 di seluruh dunia. Pada tahun 2014, hanya 10 negara yang diambil sebagai contoh yaitu negara yang telah menerapkan RAN 1325 dan negara yang sedang dalam proses penyempurnaan. Indonesia termasuk dalam katergori negara dalam proses penyempurnaan. 

Para delegasi terdiri dari perwakilan pemerintah dan CSO yang terlibat dalam penyusunan RAN 1325. Dari Indonesia sendiri diwakili oleh Irine Gayatri dari LIPI, RIskiyono dari KPPPA dan Ruby Khalifah dari AMAN Indonesia. Sesi penting dalam NAP Academy ini adalah melihat sejauh mana kualitas  RAN di masing-masing negara. Berikut hasil penilaian forum terhadap RAN P3AKS Indonesia.

Pertama, terkait dengan political will, Indonesia memiliki dukungan kuat secara politis yang diimplementasikan melalui Kementerian/Lembaga yang dikoordinasikan secara langsung oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pada proses pembentukan RAN P3A-KS. Namun,implementasi komitmen tersebut sampai pada tingkat integrasi program RAN dan alokasi budget pendukungnya masih belum begitu jelas. Saat ini barulah Kemenko PMK dan KPP-PA yang telah memiliki komitmen dan kesiapan untuk mengawal implementasi RAN P3A-KS 

Kedua, dalam hal Inclusion atau keterbukaan, baik menyangkut keterlibatan masyarakat sipil dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi, maupun pola koordinasi dengan stakeholders yang ada di dalam tim pelaksana. Sejauh ini, masyarakat sipil telah terlibat aktif dengan kesadaran tentang pentingnya menjadi satu tim kecil yang secara intensif bertemu dan berdialog bersama dalam mengkaji dan mengevaluasi setiap capaian kerja pemerintah. Dalam rangka itu, perlu secara jelas dirumuskan peran yang spesifik dari masyarakat sipil baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Kejelasan peran unsur kementerian/lembaga juga sangat penting agar terkordinasi dengan baik dan kelihatan setiap capaian per semester. 

Ketiga, Monitoring dan Evaluasi, dalam sistem birokrasi ini selalu menjadi bagian program yang harus ada. Tetapi tentu penting sejak awal menentukan tool monitoring dan evaluasi, termasuk institusi mana yang akan melakukan monev. Review pelaksanaan RAN perlu dilakukan secara berkala agar dengan menggunakan metodologi yang tepat dan relevan,agar terlihat  dapat lebih jauh impact dari pelaksanaan RAN di tingkat nasional dan daerah.

Keempat, Pembiayaan pelaksanaan RAN yang paling utama harus bersumber pada Negara, tetapi tentu tidak menutup kemungkinan bahwa aliran dana bisa diperoleh dari sumber-sumber lain yang tentu harus dipertanggungjawabkan transparan dan terukur. Terkait dengan komitmen politik yang sudah ada pada proses perencanaan, tentu penting buat KPPPA, mendapatkan kepastian komitmen budget.

Respon positif juga ditunjukkan oleh komunitas internasional, misalnya delegasi Kamboja yang hadir di workshop di Bresbane, dimana saudari Valentina baru-baru ini juga terinspirasi oleh keberhasilan Philipina dan Indonesia yang sudah leading duluan. Myanmar juga mengekspresikan ketertarikan yang sama dalam program South South Triangular Cooperation antara Indonesia-Myanmar, yang digelar workshop pertamanya pada 25-26 Mei 2015. Bahkan dalam program ini perwakilan CSO yang hadir mengkhususkan permintaan kepada Indonesia untuk mendampingi pembuatan RAN 1325 untuk Myanmar.

RAN P3AKS juga tidak mungkin merespon semua hal yang terjadi di Indonesia. Kita punya RAN HAM, RAN Anti Trafficking, RAN Perubahan Iklim, RAN Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, RAN disabilitas yang sedang digagas oleh Kemensos dan sebagainya. Meski demikian, RAN P3AKS bisa berubah, isinya bisa diperluas disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tetapi tentu kita harus ingat bahwa mandat Resolusi 1325 juga terbatas. Kita masih memiliki GR 30 dari CEDAW yang sebenarnya bisa dipakai untuk merespon isu hukum diskriminatif, pelanggaran HAM berat pada perempuan dan anak perempuan, masalah korban 65 yang perempuan dan sebagainya. Nah, dimana ini harus dicantolkan? semestinya pada RAN Hak Asasi Manusia yang baru saja disahkan oleh Presiden Jokowi, yang perlu kita pastikan sensitifitasnya pada kesetaraan gender. Baca Prepres tentang RAN HAM juga.

Sebagai penutup, saya berharap khalayak publik bisa mendukung pelaksanaan RAN P3AKS ini dengan tulus. Sebagai bagian dari masyarakt sipil Indonesia, upaya bertahun-tahun yang digagas oleh CSO dan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan model partnership yang setara melalui joint decision making, begitu terlihat dalam proses pembuatan RAN sampai pada implementasi ini, seharunsya bisa jadi contoh bagi pola partnership CSO dan pemerintah lainnya. Hanya dengan dukungan kita semua, upaya kita menghadirkan negara pada kehidupan korban kekerasan berbasis gender tercipta, jika ada dukungan penuh kita semua. ***

Tentang RAN P3AKS bisa dilihat di link berikut 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar