Bangkok, 1 November 2025
Kemarin, saya berbagi analisis tentang bagaimana wajah “securitization and militerism” di Indonesia dari kaca mata Women, Peace and Security. Mungkin ini pertama kali saya presentasi dengan menggabungkan framework Security Playbook dan Women, Peace and Security, untuk menganalisis pola negara melakukan securitization dan militerism di berbagai aspek. Secara sederhana securitization itu dipahami sebagai tindakan menjadikan suatu hal dianggap sebagai ancaman keamanan. Misalnya warga protes pembangunan waduk dianggap mengancam negara, sehingga kemudian polisi dan TNI diturunkan. Atau sekelompok perempuan adat menyuarakan bahwa tanah-tanah adat merekat diambil oknum negara, dicap subversib dan melawan negara, sehingga mereka ditangkap. Yang paling terlihat adalah Proyek Strategis Nasional foodestate sangat jelas persoalan membangun ekosistem agriculture dan penguatan petani, tetapi negara menframe foodestate sebagai projek keamanan, sehingga personel keamanan yang turun menjalankan projek, bukan petani-petani kita.
Sementara militerisme bisa dimaknai sebagai cara berpikir dan sistem yang menempatkan kekuatan militer, kekerasan, dan ketaatan hierarkis sebagai solusi utama untuk menyelesaikan masalah. Kalau kita masih ingat protes tentang revisi UU TNI beberapa waktu lalu, itu bagian dari tindakan sistemik yang memberikan ruang besar TNI ke dalam berbagai program sipil. Termasuk peningkatan anggaran keamanan yang tinggi, juga bagian cara berpikir negara yang masih menggunakan pendekatan keamanan tradisional. Aspek penting lain dari securitization and militerism itu adalah narasi negara. Beberapa kali presiden menyampaikan kepublik bahwa protes Agustus 2025 sebagai bagian dari makar dan terrorisme masyarakat. Dampaknya ada penangkapan sejumlah banyak orang, termasuk tiga perempuan berinisial F, L dan G, yang mereka menyuarakan kegelisahan mereka di media sosial karena krisis politik dan ekonomi yang berdampak pada kesulitan di masyarakat. Sebelumnya, presiden juga mengeluarkan narasi bahwa LSM didanai oleh asing, dan berpotensi memecah belah bangsa. Narasi-narasi yang sengaja dikeluarkan oleh negara ini merupakan bentuk pendekatan klasik securitization dan militerism di kontek praktik politik, dengan tujuan meframing isu sosial dan politik menjadi ancaman eksistensial kepada negara, untuk mendapatkan jastifikasi berbagai aksi seperti pemantauan, penangkapan, atau menurunkan pasukan untuk menjaga stabilitas negara.
Hadirnya Resolusi 1325 untuk melawan cara pandang dan praktik keamanan dan perdamaian yang dinilai “securitized dan maskulin”. WPS menantang institusi multilateral seperti PBB untuk mengkoreksi pendekatan peacekeeping agar lebih humanis dengan mendekatkan diri pada aktor-aktor non tradisional keamanan seperti organisasi perempuan, karena mreka selalu menjadi first responder di komunitas. Mereka dekat dengan korban kekerasan berbasis gender. WPS juga menyuarakan denormalisasi kekerasan berbasis gender dan seksual di wilayah konflik, dan menuntut penyelesaian kasus ini dan memberikan pemulihan jangka panjang dan komprehensif pada korban. WPS percaya bahwa partisipasi perempuan akan membuat proses dan hasil perjanjian damai berbeda. Kehadiran perempuan akan mendekatkan rumusan-rumusan solusi dengan kebutuhan di lapangan. Bukan hanya perempuan, tapi juga kelompok rentan lainnya. Ini yang saya sebut de-tokenism , dimana perempuan tidak hanya dihadirkan, tetapi didengarkan aspirasinya dan dijalankan. WPS juga mendorongkan dukungan kuat pada lembaga-lembaga perempuan di akar rumput, karena mereka yang cepat melakukan respon ketika masyarakat mengalami krisis.
Meskipun situasi demokrasi sedang tidak baik-baik saja di tingkat nasional. Tetapi di tingkat lokal,masih ada celah dimana idealisme membangun kekuatan masyarakat, mendapatkan tempat. Saya ingin mengajak kita semua optimis bahwa rakyat punya ruang luas untuk perubahan. Saya memaparkan bagaimana intervensi AMAN Indonesia dan Libu Perempuan merespon kejadian terorisme di Lembatongoa, Sigi pada tahun 2020. Ditengah negara melancarkan aksi keamanan, dimana penduduk lokal dilarang bekerja di kebun, karena dianggap tidak aman. Lalu sejumlah keluarga dipindahkan ke dusun lain, dengan alasan keamanan. Tetapi kenyataannya mereka lebih sulit mendapatkan sumber kehidupan mereka. Mereka harus berjalan berkilo-kilo untuk mendapatkan uang 50.000 rupiah untuk makan. Sementara di kehidupan mereka sebelumnya mereka bisa mendaptkan makanan di kebun. Satuan keamanan juga menyediakan rumah baru untuk para korban, tetapi tidak dilengkapi sanitasi dan sumber air masih harus diambil sangat jauh. Menimbulkan beban baru. Berbasis pada hasil pantauan yang kami tuliskan dibuku “Ekstremisme, Daur Kekerasan, dan Komplesitas Penangannya”, AMAN melakukan sejumlah intervensi untuk memastikan korban mendapatkan dukungan negara dan masyarakat menjadi bagian dari pemulihan jangka panjang. Karena pendekatan yang tersentral pada korban, dan tidak melihat bahwa kemiskinan di masyarakat juga mendapatkan perhatian, secara perlahan, memunculkan kecemburuan sosial. Inilah yang menjadi mengapa korban dan keluarga kemudian dikucilkan dan tidak mendapatkan dukungan.
Bagaimana membuka ruang demokrasi di lokal? Kami menggunakan pendekatan pendekatan Reflective Structured Dialogue, sebuah tool peacebuilding yang membantu semua orang yang berbeda bersuara dalam setting aman. RSD memiliki teknik “think, write, and speak” yang membuat setiap orang nyaman bicara. Mereka adalah korban, keluarga, masyarakat, tokoh-tokoh agama dan adat, pemuda, perempuan dilibatkan dalam serial dialog yang untuk menyampaikan perasaan dan pengalaman mereka, dan difasilitasi oleh fasilitator. Dalam serial diskusi dengan pihak-pihak inilah, kami menemukan akar masalah dari prilaku “cuek” dan tidak peduli warga. Hasil dialog dibicarakan dengan otoritas desa, kecamatan, dan kabupaten. Bersama dengan korban, sejumlah pertemuan dilakukan di berbagai level, untuk memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan, dan warga juga mendapatkan hak atas pembangunan dan perdamaian. Meskipun belum terpenuhi semua, tetapi pembangunan jalan, listrik masuk desa, sudah terlihat dilakukan oleh pemerintah lokal. Masyarakat mulai terbuka dan bersama-sama mendampingi pemulangan korban dan keluarganya di rumah asalnya, dan bersama membersihkan rumah-rumah yang pernah ditinggalkan atas nama keamanan.
Dari konteks Indonesia ini, Tuan dari GCAP mengajak peserta untuk memahami Security Playbook, sebuah protokol negara dalam melakukan respon terhadap kondisi yang dianggap mengancam keamanan. Di sejumlah sharing yang terjadi, pola-pola securitisasi yang dilakukan negara hampir mirip yaitu: 1) mengubah UU atau aturan yang ada di sebuah negara, agar membuka peran-peran keamanan di ranah eksekutif, yudikatif, dan parlemen. Kalau di Indonesia itu ada Revisi UU TNI. Di Filipina misalnya Darurat militer diterapkan di Marawi ketika ada penetrasi kelompok teroris dan membangun aliansi dengan jaringan “pemberontak” di lokal. Ada juga aturan melawan komunisme yang kemudian dipakai politisi untuk memberikan stigma pada sejumlah aktivis, sehingga melegitimasi penangkapan. 2) Negara mengalokasikan budget yang tinggi untuk kepentingan security. Di Pakistan, tentu security playbook mengadopsi dalam bentuk penuh, dimana negara sendiri mendeklarasikan sebagai “security state”, yang bisa dilihat dari tingginya budget militer. Ternyata di Swedia juga sama. Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand juga memiliki alokasi budget yang tinggi. 3) Narasi sebagai framing pada securitization dan militerism. Di Indonesia narasi makar, terorisme, anti negara, antek asing, sering muncul dalam pidato presiden. Di Pakistan, negara menggunakan dua narasi yaitu anti agama atau anti negara, kepada aktivis yang fokal. 4) kriminalisasi pada aktivis. Di Malaysia banyak aktivis dan para jurnalis ditangkap karena dianggap melawan negara. Demonstrasi mendukung kemerdekaan Palestina dan keadilan iklim sering direspon sangat represif oleh negara, dan sejumlah aktivis juga ditangkap. 5) negara melakukan sensor media dan media sosial. Aturan diperketat dan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan sejumlah pihak. YLBHI melaporkan bahwa ada 3000 orang ditangkap paska demo besar Agustus 2025 di 20 kota. Sebagian melalui unggahan di sosial media. ***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar