Bangkok, 2 November 2025
Demokrasi memang sedang lesuh. Tetapi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Gen Z muncul di mana-mana. Mereka marah. Masa depan mereka dikaburkan dengan praktik politik oligarki yang membawa korupsi di berbagai lapisan. Gaya hidup para pejabat yang berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat akar rumput. Di sejumlah negara, semua struktur demokrasi dijalankan dengan sangat baik, dimana pemilu digelar secara rutin, rakyat memilih, dan institusi demokrasi bekerja seperti biasa. Tapi mengapa korupsi terus berjalan. Kekerasan berbasis gender dan seksual terjadi di berbagai aspek. Konflik terus bermunculan karena ruang aspirasi rakyat disekuritisasi dan dianggap ancaman. Mengapa seolah prosedur demokrasi dijalankan, tetapi ketimpangan dan ketidakadilan masih berlaku.
Demokrasi Kita Ada Dimana?
Sekretaris Jenderal ADN, Ichal Supriyadi, membuka pertemuan dengan peluncuran Democracy Outlook Report 2025yang memotret kondisi demokrasi di Asia. Ia menyoroti penyusutan ruang sipil di hampir seluruh kawasan, di mana banyak pemerintah justru menggunakan hukum untuk melindungi kepentingan elite. Tantangan transnasional seperti ekspansi pengaruh otoritarian, kendali atas platform digital, dan lemahnya literasi politik menjadi ancaman serius bagi masyarakat sipil. Ichal menegaskan pentingnya memperkuat media, pendidikan publik, serta kepercayaan antarwarga dan sekutu. “Generasi Z bukan sekadar penerus, mereka adalah inovator yang menjaga agar gerakan ini tetap hidup,” ujarnya.
Seiring dengan Pidato Ichal, Gina Romero, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi, menegaskan bahwa tahun 2025 menjadi salah satu periode paling berat bagi pejuang hak asasi manusia. Namun, ia juga melihat kekuatan luar biasa masyarakat sipil yang tidak mundur di tengah krisis. “Ketika sektor-sektor sipil diserang, mereka tidak bersembunyi — mereka justru bersatu dan terus bekerja,” katanya. Gina menekankan pentingnya jejaring solidaritas global, dari akar rumput hingga lembaga internasional, untuk melawan arus securitization, krisis ekonomi, dan narasi kebencian yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Ia menutup dengan seruan moral: kebebasan berekspresi, beragama, dan berserikat adalah hak dasar manusia yang tidak boleh dicabut.
Sementara itu, Parit Wacharaindhu, anggota Parlemen Thailand, memberikan refleksi tajam tentang demokrasi di negaranya yang telah mengalami 13 kudeta militer dalam sembilan tahun. Ia menyebut tiga medan utama perjuangan demokrasi: di institusi politik, di ruang informasi, dan di ranah ide. Parit menyoroti tantangan disinformasi yang didukung oleh militer dan penggunaan teknologi untuk menyerang aktivis. “Pertarungan kita adalah memenangkan hati dan pikiran publik,” ujarnya. Meski banyak kemunduran, ia menegaskan, “Jawabannya selalu demokrasi.” Seruan ini menutup sesi pembukaan ADN 2025 dengan semangat yang menggugah: untuk tetap percaya bahwa daya tahan masyarakat sipil, lintas generasi dan lintas negara, adalah benteng terakhir demokrasi di Asia.
Demokrasi Asia di Persimpangan: Antara Performa dan Perlawanan
Sesi Pleno pertama Asia Democracy Assembly 2025 dibuka oleh Beena, yang menegaskan bahwa demokrasi sering kali disempitkan hanya pada proses pemilu. Dalam konteks negara besar seperti India, katanya, sulit memastikan setiap warga benar-benar memilih pemimpin yang mewakili aspirasi mereka. Namun, di tengah krisis kejahatan dan korupsi politik, generasi muda—khususnya Generasi Z—tampil sebagai kekuatan baru yang tak sekadar “mengucap salam,” tapi berani menumbangkan pemerintahan yang gagal mendengar rakyatnya.
Dr. Maiko Ichiai kemudian memaparkan tiga perubahan besar yang saling memperkuat kemunduran demokrasi di Asia: pergeseran kekuatan global antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memicu militerisasi dan politik keamanan (securitization); perubahan norma politik yang memperkuat konservatisme dan identitas tradisional; serta kemajuan teknologi yang menggerus kepercayaan sosial dan memperlemah hak asasi manusia. Ia menyoroti bahwa banyak pemerintah kini menggunakan hukum untuk melayani kepentingan elite dan menjustifikasi represi, sementara perusahaan besar di bidang teknologi berperan dalam mengendalikan data dan opini publik. Maiko menyerukan pentingnya memperkuat media independen, pendidikan publik, serta kepercayaan sosial sebagai modal utama mempertahankan demokrasi di kawasan.
Sementara itu, Karel Jiasa Antonio dari ADN menggambarkan era saat ini sebagai masa “demokrasi performatif”—demokrasi yang secara formal tetap berjalan, tetapi sesungguhnya hanya menampilkan ilusi partisipasi. Ia menyinggung elit capture, oligarki, dan co-optation dalam tubuh organisasi masyarakat sipil sendiri, yang tanpa sadar memperkuat status quo. William Gois, Regional Coordinator, Migrant Forum in Asia, menambahkan refleksi kritis: ruang sipil terus menyempit, sementara masyarakat sipil sering terjebak dalam rutinitas birokratis tanpa keberanian moral untuk berpihak pada kelompok tertindas, termasuk migran, perempuan, dan pekerja informal. “Pertanyaan sesungguhnya,” ujarnya, “adalah apakah kita masih berdiri di sisi yang tertindas?” Di tengah pesimisme ini, para pembicara sepakat bahwa energi dan inovasi Generasi Z, ditopang oleh solidaritas lintas sektor dan lintas negara, adalah kunci untuk mengembalikan makna sejati demokrasi di Asia.
Perlawanan Tanpa Batas: Suara dari Pengasingan
Sesi Pleno kedua Asia Democracy Assembly 2025 menghadirkan kisah-kisah menegangkan dari para pembela demokrasi dan hak asasi manusia yang hidup dalam pengasingan. Noor Azizah, Co-Executive Director Rohingya Maìyafuìnor Collaborative Network, membuka dengan kesaksian tentang genosida Rohingya yang berlangsung sejak 1942. Ia menggambarkan bagaimana ujaran kebencian digunakan sebagai taktik militer untuk menghapus identitas sebuah bangsa. “Kami disebut bukan bagian dari Myanmar, gelap seperti binatang, tak pantas hidup di tanah kami sendiri,” ujarnya. Kini, dari lebih tiga juta warga Rohingya, hanya satu persen yang hidup dengan identitas utuh, sementara sisanya terjebak di kamp pengungsian atau penjara terbuka. Noor menegaskan bahwa pengakuan genosida saja tidak cukup tanpa solidaritas nyata: “Dunia telah mengakui, tetapi tubuh kami tetap hidup di bawah tenda tanpa atap.”
Dari India, Atifa Amiry, pendiri The Amiri Foundation, berbicara melalui video. Baginya, perlawanan bagi perempuan Afghanistan bukan pilihan, melainkan syarat untuk bertahan hidup. “Mereka bisa mengusir tubuh kami dari tanah air, tetapi tidak bisa mengusir ketahanan kami,” katanya lantang. Dari komunitas Tibet, Phurbu Dolma menuturkan kisah generasi yang terus melarikan diri dari pendudukan Tiongkok dan membangun pemerintahan dalam pengasingan. Sementara Dr. Amani Odeh dari Palestina menggambarkan reruntuhan rumahnya dan suara anak perempuannya yang terperangkap di bawah tembok yang runtuh. “Pendudukan bisa menguasai tanah kami, tapi tidak bisa menjajah ingatan kami,” ucapnya lirih. Bagi mereka, perlawanan bukan hanya tentang kemerdekaan, tapi tentang menjaga martabat manusia.
Sesi ini ditutup dengan kesaksian Tashken Davlet, aktivis hak asasi Uyghur, dan Alric Lee, Direktur Lady Liberty Hong Kong. Keduanya menggambarkan represi yang melintasi batas negara: kamp konsentrasi di Xinjiang, penahanan sewenang-wenang terhadap keluarga aktivis, dan pengasingan yang memisahkan generasi. “Ketakutan adalah senjata paling efektif untuk membungkam yang tertindas,” kata Tashken. Sementara Alric menambahkan dengan nada tenang, “Kami mungkin kehilangan kota kami, tapi tidak kesadaran kami.” Dari Rohingya hingga Hong Kong, dari Kabul hingga Ramallah, satu pesan menggema di ruangan itu: perlawanan sejati tidak memiliki batas negara — karena ia lahir dari cinta pada kemanusiaan.
Digital Resistance: Reclaiming Narratives and Power in the Online Age
Pleno terakhir Asia Democracy Assembly 2025, yang dimoderatori oleh Muda Tariq dari Forum Asia, membahas bagaimana aktivisme digital dan perlawanan kreatif sedang membentuk ulang wajah demokrasi di Asia. Para pembicara berbagi strategi beragam untuk melawan represi, disinformasi, dan pengawasan di dunia digital yang semakin dikendalikan atas nama keamanan.
Chia-Shou Tang, Manajer Riset dari Open Culture Foundation, menjelaskan meningkatnya serangan siber yang disponsori negara—mulai dari email phishing, peretasan malware, hingga peniruan organisasi masyarakat sipil yang menargetkan aktivis, akademisi, dan legislator. Sebagai bentuk perlawanan, ia menekankan pentingnya membangun literasi keamanan digital di tingkat akar rumput melalui Security Makeover Program (SMP) yang melatih aktivis, memetakan risiko, dan menyusun kebijakan keamanan bersama. “Langkah pertama dalam keamanan,” katanya, “adalah mengenali mata rantai terlemah kita—dan memperbaikinya bersama.”
Dari Indonesia, Razi Thalib, pendiri Weapons of Mass Discussion, merefleksikan bagaimana represi justru bisa berbalik arah. Ia menegaskan bahwa ukuran keberhasilan kampanye digital bukan pada jumlah likes atau followers, tetapi pada seberapa besar risiko yang berani dihadapi. “Kamu tahu perubahan sedang terjadi,” ujarnya, “ketika kamu mulai diserang.” Dari Nepal, Bridhika Senchury, salah satu pendiri Dalit Lives Matter Global Alliance, berbagi tentang diskriminasi kasta yang beririsan dengan keadilan iklim dan aktivisme digital. Saat media sosial diblokir, para aktivis menciptakan jaringan perlawanan tanpa pemimpin—gerakan yang lentur dan serentak, sulit dikendalikan oleh struktur kekuasaan negara.
Akhirnya, Leni Velasco, Sekretaris Jenderal DAKILA Artist-Activist Collective (Filipina), berbicara tentang merebut kembali narasi melalui seni. “Rezim otoriter menang dengan menguasai cerita,” katanya. “Kita melawan dengan memanusiakan kembali cerita itu.” DAKILA menggunakan film, museum digital, dan festival hak asasi manusia untuk membuat kebebasan terasa pribadi dan nyata, mengubah ketakutan menjadi kekuatan kreatif. Seperti yang ia simpulkan, “Mereka yang tak berdaya masih memiliki senjata paling kuat—cerita. Karena saat kita membangun para pencerita, kita sedang membangun demokrasi.”
Penutupan
“Saya tidak setuju dengan Willian yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mendengarkan masyarakat sipil? Begitu Debby Stothad, Esecutive Director, ALTSENA-Burma, memulai pidato refleksinya. Ini karena keterlibatna Debby di sejumlah pertemuan closed door dengan sejumlah pemerintah di ASEAN, juga sejumlah pelaku ekonomi di global, yang mereka gerah dengan gerakan masyarakat sipil yang terus mengumandangkan pentingnya prinsip HAM dijalankan. Meskipun sebagian melakukan playing victim, tetapi suara-suara protes masyarakat diakui membuat pemerintah harus memutar otak agar mereka ada di posisi tengah antara kepentingan rakyat dengan kepentingan korporate.
Sebelumnya, Dr. Chelsea Chia-chen Chou, Director for International Cooperation, Taiwan Foundation for Democracy, juga memberikan penekanan pentingnya menemani kehadiran Gen Z, sebagai generasi baru dalam gerakan. Mereka membutuhkan pengetahuan dan kebijaksanaan dari para pendahulu, untuk membuat gerakan-gerakan mereka lebih memiliki kepekaan pada HAM, dan memiliki skill membaca intervensi pihak-pihak lain yang berpotensi menyulut kekerasan pada aksi organik rakyat.
Membungkus hari kedua, Chair Women ADN, Ruby Kholifah, merefleksikan Asia Democracy Assembly 2025 sebagai bukti bahwa demokrasi bukan janji yang selesai, melainkan perjuangan yang terus hidup—rapuh, tetapi selalu dibangun kembali melalui keberanian, kreativitas, dan kepedulian. Ia menyinggung perjalanan empat pleno yang membuka wajah demokrasi Asia hari ini: penyempitan ruang sipil dan praktik securitization terhadap kritik, suara-suara pengasingan yang menolak dilupakan, hubungan kuasa antara bisnis, politik, dan disinformasi, hingga seni dan inovasi digital yang menjadi senjata harapan. Ruby menegaskan bahwa demokrasi tidak dijaga oleh institusi besar, tetapi oleh manusia biasa—perempuan, guru, anak muda—yang merawat kebenaran dan solidaritas. Ia menutup dengan optimisme, dimana perubahan itu nyata. Ia mencontohkan kisahnya sendiri tentang Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), di mana perempuan merebut hak menafsirkan agama dan menjadikan pengalaman hidup sebagai dasar tafsir kemanusiaan. Pesan akhirnya sederhana namun kuat: membela demokrasi dimulai dari keberanian untuk peduli, terhubung, dan bertindak bersama.
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar