Sabtu, 15 November 2025

6th European Policy Dialogue Forum: Social Cohesion in Changing Climates Fostering Inclusive Paths to Equity in Europe

Geneva, 11 November 2025

Apakah kamu percaya bahwa dialog antaragama dan budaya bisa menyelesaikan polarisasi?

Perjalanan saya ke Geneva kali ini terasa istimewa. Saya menghadiri 6th European Policy Dialogue Forum, sebuah forum tahunan yang diselenggarakan oleh European Council of Religious Leaders, KAICIID, dan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC). Saya datang dengan satu rasa ingin tahu: bagaimana praktik-praktik dialog lintas agama dan budaya dilakukan di berbagai level — dan apakah ia sungguh mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat?

Konteks Eropa hari ini sedang tidak mudah. Menurut data European Union Agency for Fundamental Rights (2024), lebih dari 39% Muslim di Eropa mengalami diskriminasi; 36% komunitas Roma dan traveler melaporkan perlakuan tidak adil; sementara 80% warga Yahudimeyakini bahwa antisemitisme meningkat dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, keberhasilan partai-partai konservatif di beberapa negara Eropa menandai menguatnya politik identitas dan sempitnya ruang bagi imigran. Media sosial ikut mempercepat polarisasi — memperbanyak ruang gema (echo chambers) yang memperkuat kebencian dan ketakutan.

Ambasador Antonio de Almeida Ribeiro, Sekretaris Jenderal KAICIID, menyebut situasi ini sebagai interlocking crisis: ketimpangan, kebencian, dan polarisasi yang saling memperkuat satu sama lain.
Krisis ini tidak bisa dipecahkan dengan menutup perbatasan atau mengatur migrasi secara represif. “Migrasi itu natural,” katanya, “yang penting adalah memastikan bahwa migrasi berlangsung aman dan manusiawi.”

Forum ini mencoba menjawab tantangan tersebut dengan dialog — sebagai cara mempersempit jarak dan mencegah disintegrasi sosial.


Salah satu contoh yang menginspirasi datang dari Inggris, ketika pemimpin agama Yahudi dan Muslim melakukan dialog pasca-Brexit. Mereka sadar bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa bukan sekadar keputusan politik, tapi pergeseran identitas kolektif yang membuat rasa saling ketergantungan antarnegara melemah. “Tidak ada negara yang benar-benar mandiri,” kata Rabbi Alex Goldberg, “kita semua saling bergantung.”
Dialog antariman mereka menjadi jembatan untuk memastikan bahwa Brexit tidak berubah menjadi retak sosial di dalam negeri.

Pendekatan serupa juga diadopsi oleh IFRC, yang menggunakan dialog kemanusiaan sebagai alat membangun kepercayaan di tengah masyarakat yang rentan.
Mayor Alfonso Gómez, Walikota Geneva, bahkan menempatkan dialog sebagai bagian dari strategi kota:

“Kami memiliki 30 tujuan dan 80 langkah konkret untuk mengurangi emisi karbon,” katanya, “tapi kami tahu, respons terhadap krisis iklim tak bisa hanya teknis — ia harus juga manusiawi.”
Bagi Gómez, ancaman iklim justru bisa menjadi isu pemersatu lintas agama dan budaya. Ia menyebut tiga elemen penting dalam membangun kohesi sosial: shared principles, lasting coalitions, dan youth participation.

Namun di balik optimisme itu, forum ini juga mengingatkan betapa dialog menghadapi tantangan besar. Pertama, dialog tidak bisa dipandang sekadar politik, tapi harus menjadi praktik moral.
Setiap peserta yang hadir tidak hanya bertukar gagasan, tapi ikut bertanggung jawab menciptakan solusi. Tanpa kepercayaan, dialog hanyalah percakapan kosong. “Trust deficit,” kata perwakilan IFRC, “adalah penyakit sosial terbesar kita saat ini.”

Kedua, ruang publik yang seharusnya menjadi “interreligious agora” kini tergantikan oleh sistem teknokratis dan oligarki. Kebijakan sering kali dibuat dari meja rapat, bukan dari denyut hidup masyarakat. Akibatnya, banyak kebijakan justru memperpanjang ketidakadilan, menciptakan “perfect victims” — perempuan di bawah rezim gender apartheid di Afghanistan, pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, atau warga Gaza yang kehilangan kendali atas hidup mereka sendiri.
Pendekatan yang tidak berpihak pada pemberdayaan hanya melanggengkan ketergantungan dan membuat mereka menyandang status korban permanen.

Ketiga, dialog kini berlangsung di tengah demokrasi yang melemah. Banyak negara menghadapi penyempitan ruang sipil; agama dan tokoh agama pun berada di posisi sulit: di satu sisi dibutuhkan untuk merawat moralitas publik, di sisi lain dicurigai sebagai sumber perpecahan. Dialog antar agama atau budaya, seharusnya tidak diletakkan di ruang hampa. Sistem demokrasi yang membusuk saat ini, sangat berpotensi membuat Dialog antara agama atau budaya teknokratis dan ritual saja. 

*** 

Biaya Tersembunyi dari Ketimpangan: Catatan Reflektif 

Geneva, 12 November 2025 —
Isu ketimpangan hari ini tidak lagi berhenti pada angka statistik. Ia telah menjadi persoalan moral dan kemanusiaan yang nyata: tentang siapa yang dihargai, siapa yang dikorbankan, dan siapa yang diabaikan. Dalam sesi “Fractured Societies, Fragile Environment: The Hidden Cost of Inequality”, para pembicara membawa perspektif yang memperlihatkan bagaimana ketimpangan sosial, ekonomi, dan kultural saling terkait, menciptakan frustrasi kolektif yang mudah meledak menjadi krisis sosial maupun ekstremisme.

Mr. Kirril Buketov, ILO menyebut bahwa ketimpangan bukan sekadar soal distribusi pendapatan, tapi tentang rasa ketidakadilan. Ketika setengah populasi dunia merasa “tidak mendapat apa-apa”, sementara segelintir menikmati surplus, rasa frustrasi tumbuh menjadi ketidakpercayaan. Pendidikan pun tak lagi menjamin mobilitas sosial; pekerjaan yang layak semakin jauh dari jangkauan. Inilah hidden cost yang tidak tercatat dalam laporan ekonomi—biaya sosial yang dibayar oleh generasi muda yang kehilangan harapan.

Dari perspektif serikat buruh internasional, David Moya, dari Migration and Refuge, Spain, memunculkan istilah fenomena social dumping—di mana buruh migran bekerja dengan upah rendah demi mempertahankan hidup, sementara rantai produksi global menciptakan keuntungan bagi korporasi besar di pusat-pusat ekonomi dunia. “Mereka yang menanam cokelat, tak punya cokelat di meja makan mereka,” ungkap Kiril Buketow dengan getir. Ironinya, kemakmuran di negara maju sering berdiri di atas kemiskinan yang direproduksi di Selatan.

Sementara itu, Dr. David Moya dari Pemerintah Catalonia menunjukkan sisi lain: negara kesejahteraan (welfare state) kini tidak lagi bekerja bagi semua. Buruh migran, terutama perempuan muda, tetap berada di bawah garis kemiskinan bahkan setelah mendapatkan bantuan sosial. Redistribusi tidak berjalan adil. Sistem perlindungan sosial melemah, membuat kesenjangan makin lebar—dan kepercayaan publik makin rapuh.

Imam Yahya Pallavicini menyoroti sisi kultural dari ketimpangan ini. Di Eropa, diskriminasi berbasis agama dan ras masih tinggi. Muslim sering dianggap “warga kelas dua”, dan keberagaman agama belum sepenuhnya diakui dalam sistem kerja maupun kebijakan publik. Ia mengingatkan bahwa dialog antaragama dan antarbudaya tidak boleh berhenti di tataran simbolik, tetapi harus diterjemahkan dalam kebijakan yang menghormati martabat setiap orang—sebagai warga sekaligus sebagai manusia beriman.

Dari sisi generasi muda, Lucy Plummer (UNEP, Faith for Earth Women Council) menggambarkan wajah lain dari ketimpangan: meningkatnya krisis kesehatan mental di kalangan anak muda, terutama yang merasa tidak memiliki ruang partisipasi. Padahal, merekalah yang sedang menanggung beban ekologis dan sosial dari keputusan generasi sebelumnya. Ia mengajak untuk membangun ruang pertukaran antar generasi agar anak muda tidak sekadar menjadi penerima warisan masalah, tetapi penggerak perubahan.

Diskusi ditutup dengan refleksi yang tajam: jika sistem ekonomi global terus berjalan seperti sekarang, dengan logika akumulasi tanpa etika, maka dunia akan terus melahirkan “korban yang sempurna”—mereka yang diposisikan untuk menderita tanpa daya. Salah satu peserta mengusulkan perlunya meninjau kembali notion of fortune—menggeser paradigma dari kapitalisme eksploitatif menuju ekonomi solidaritas dan keadilan sosial. Saya masih membatin terkait dengan ketimpangan tersembunyi seperti gender inequality, yang sayangnya kurang dieksplorasi dalam diskusi. 

Mungkin saatnya, memulihkan kembali makna “kemakmuran” sebagai kebaikan bersama, bukan sekadar keuntungan individu. Sebab di tengah masyarakat yang retak dan lingkungan yang rapuh, dialog lintas iman dan lintas budaya hanya akan berarti jika berani menyentuh akar ketimpangan: sistem ekonomi, politik, dan moral yang telah kehilangan rasa keadilan.

**** 

Sesi penutup hari ini membahas tentang Building Values-Based Urban Communities. Saya menikmati sesi hari kedua yang semakin dalam membongkar ketimpangan tersembunyi dalam konteks polarisasi persoalan di Eropa. Ada sejumlah praktik baik yang dilakukan di sejumlah negara  di Eropa diantaranya adalah praktik demokrasi lokal tampaknya lebih menjanjikan dibandingkan dengan skala nasional. Sebuah lembaga bernaam European Association for Local democracy (ALDA) di Itali, berhasil membuat mekanisme lebih sehat terkait dengan pelibatan perempuan, anak muda, dan tokoh agama dalam proses demokrasi di tingkat lokal. Mereka bekerjasama dengan otoritas lokal untuk memastikan semua pemangku kepentingan bisa menjadi mitra pembangunan, termasuk perempuan. Di ruang demokrasi lokal inilah, ALDA juga lebih leluasa meningkatkan partisipasi perempuan. Mereka punya projek khusus bertajuk WE ACT untuk mendukung partisipasi perempuan di dunia politik. 

Lembaga seperti Redcross berhasil menggerakan kekuatan volunterisme di seluruh dunia. Mereka juga mencoba untuk menggabungkan narasi agama dalam bentuk kerja humanitarian. Ela dari IFRC menyebutkan ‘berbasis kebutuhan, berorientasi pada hak”. Ada tiga ciri utama dalam kerja-kerja Redcross yaitu nilai kepedulian yang tanpa melihat identitas apapun; memperkuat resiliensi di masyarkat agar menenukan kemandirian pasca bencana; dan menghindari politiking dalam pekerjaan sehingga lebih bisa menekan polarisasi. 

Ada praktik baik lain yaitu “city citizenship” yang dikembangkan oleh the Global Steering Commitee of International Coalition of Cities Agaisnt Racism (ICCAR, UNESCO). Konsep “city citizenship” yang dikembangkan oleh Global Steering Committee of the International Coalition of Cities Against Racism (ICCAR-UNESCO) menegaskan bahwa setiap penduduk kota—tanpa memandang asal, agama, gender, atau status hukum—memiliki hak yang sama untuk diakui, berpartisipasi, dan merasa memiliki terhadap kota tempat mereka tinggal. Gagasan ini menempatkan kota bukan sekadar sebagai ruang administratif, melainkan sebagai komunitas etis yang menumbuhkan inklusi, keadilan sosial, dan kohesi antarwarga. Dalam konteks meningkatnya ketimpangan, migrasi, dan krisis iklim, pendekatan city citizenship mendorong pemerintah lokal untuk mengintegrasikan prinsip anti-diskriminasi dan partisipasi warga ke dalam kebijakan publik, sehingga kota dapat menjadi ruang hidup yang inklusif dan berkeadilan bagi semua.

Praktik baik terakhir terkait dari Turki “digital maps”. IDEMA, International Development Partners dair Turkey, menjawab kebutuhan rusaknya sistem demokrasi, lemahnya kepercayaan publik pada pemerintah, dan praktik otoritarianisme saat ini, dengan memunculkan aksi solidaritas digital maps. Ini seperti baseline data, dimana mereka melayani pembuatan data based terkait dengan peta bencana, peta bisnis, peta kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat lebih cepat mengambil keputusan. Termasuk saat Turkey dilanda bencana, keluarga yang jauh dari akses humanitarian aid, bisa melihat lokasi distribusi dan kontak langsung organisasi berbasis pada maps. 

Dari berbagai inovasi yang super keren di atas, sayangnya tidak semua memikirkan bagaimana tackling gender inequality, women participation. Bahkan, diversitas di dalam agama sendiri juga bergitu jelas terelaborasi. Sampai akhir sesi, pertanyaan saya terkait dengan bagaimana memiliki perwakilan tokoh agama tidak terjawab. Tetapi sejumlah sharing dari nara sumber, saya bisa simpulkan bahwa untuk menghindari kecemburuan maka mereka memprioritaskan sejumlah hal; kedekatan tokoh dengan isu, maksudnya adalah kontribusi tokoh pada isu; kekritisan dalam isu. Tentu ini tidak menjawab, ketika semua pimpinan institusi keagamaan adalah laki-laki. Yang lain juga pengetahuan umum bahwa tidak ada wajah tunggal di setiap agama. Perbedaan madzab, denominasi dan berbagai divisi dalam agama, tentu bukan hal mudah untuk memilih mana yang layak dilibatkan. 

*** 

Ada dua sesi kreatif yang menurut saya menarik untuk dikembangkan dalam konferensi nasional yang AMAN selenggarakan, yaitu: Breakout session dan Market Ideas. Di konteks Breakout session ini, fasilitator menggunakan teknik permainan agree or disagree. Setiap membacakan statement, peserta bisa memilih pojok setuju dan tidak setuju dan kemudian bisa menjelaskan argumentasi. Baru ditutup dengan diskusi merumuskan rekomendasi. 

Market Ideas, adalah sesi peaching yang diberikan kepada sejumlah lembaga yang dirasa baru. Mereka hanya punya waktu 1-2 menit saja untukmempromosikan lembaga mereka. Mereka juga bisa melakukan calling action. Kemudian dilanjutkan dengan pendalaman dalam format networking. ***


Etika Funding untuk Masa Depan Bersama

Tidak seperti biasa, pembicaraan tentang Inter Religious Dialogue mengeksplorasi aspek ketimpangan struktural yang menyebabkan kohesi sosial retak. Selain geopolitik yang berorientasi pada perang, hari terakhir forum dialog, memberikan penekanan pada etika funding. Global Ethics Forum di Geneva, menyatakan pentingnya prinsip etika dipegang oleh para pemimpin agama, akademisi, pembuat kebijakan, masyarakat sipil, dan para donor. Menurut Dr. Dietric, tidak sedikit sebenarnya investasi terkait dengan Global Etik, untuk memastikan bahwa pembangunan dan upaya perdamaian dilakukan secara transparan, akuntable, tetapi juga memiliki etik kuat. 

Martin Palmer, sangat mempertanyakan etik pada pemimpin agama yang banyak menguasai aset agama. Di Kota Roma, ada banyak gedung-gedung memiliki nama-nama pemimpin agama. Kelompok agamawan ini justru menjadi pengelola keuangan terbesar. Mereka bekerjasama dengan lembaga keuangan seperti bank. Sebenarnya tidak kaget, karena jika dibaca dari sejarah gerejalah yang banyak memberikan aset pada bank. 

Persoalan representasi sangat penting dalam hal pendanaan. Sebuah Gerakan Women of Faith di UK, melakukan dekonstruksi pada gerakan keagamaan, di kala para perempuan tidak muncul dalam lembaga-lembaga keagamaan. Laki-laki dianggap sangat dominan menguasai semua ruang pengambilan keputusan berhubungan dengan agama. Perempuan dianggap tidak kompeten berhubungan dengan agama. Bahkan mungkin dianggap tidak menguasai. Tetapi Gerakan Women of Faith, telah berhasil membangun narasi baru dan dekonstruksi pemahaman terkait dengan aktor agama. Perempuan memiliki keyakinan yang kuat pada praktik keagamaan agar sensitif gender. DEngan inilah dekonstruksi terjadi. Kini jaringan telah mengumpulkan 500 perempuan dari berbagai lembaga, justru mendapatkan dukungan penuh dari universitas. 

Dari plenari terakhir ini, ada sejumlah hal penting yang menjadi catatan saya, terkai dengan prinsip penting memahami etika global diantaranya adalah; 

Pertama, desentralisasi, bahwa pendanaan yang mudah diakses oleh berbagai kelompok. 

Kedua, adil untuk semua. Pada prinsip ini, tentu pendanaan penting untuk memastikan prinsip inklusif bagi semua pihak, tanpa ada diskriminasi karena agama, etnik, atau ekspresi gender. 

Ketiga, penggunaan teknologi seperti AI untuk sebuah perubahan lebih baik. Kesadaran bahwa kerja-kerja AI akan menggantikan tenaga manusia, maka perlu dirumuskan sebuah regulasi agar secara etik ada penegakan, sehingga tenaga manusia dibutuhkan. Khususnya persoalan antar agama, tentu rasa dan lokalitas hanya bisa direpresentasikan secara optimal oleh manusia. *** 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar