Kamis, 09 April 2020

Mewaspadai Ancaman Teror di Tengah Pandemi

Virus Covid 19 pertama kali ditemukan di Wuhan China. Ini menimbulkan berbagai spekulan dari beragam pihak dengan berbagai teori. Ada jua teori konspirasi tentang China sedang membuat uji coba senjata biologis atau sedang ingin menjatuhkan Amerika dengan cara menggeser kekuatan dagang pada China.  Mungkinkah Pandemic Covid 19 yang menyerang Wuhan dan Global adalah bentuk serangan teror gaya baru? 

Demikian kecurigaan salah satu peserta Diskusi Daring hari ini, Kamis 9 April 2020 berjudul "Mewaspadai Ancaman Teror di Tengah Pandemi", menghadirkan tiga nara sumber keren diantaranya adalah Bridgen Polri Hamli, ME dari Badang Nasional Penanggulangan Terorisme, Dr. Zora A Sukabdi, MPsi dari Fakultas Psikologi Universtias Indonesia, dan Ridwan Habsi, MSi dari Pengamat Terorisme UI. 


Yang jelas aktifitas terorisme tidak berhenti dalam masa pandemi. Pada tanggal 25 Maret lalu, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri  menyita sejumlah bahan pembuat bom rakitan dari para terduga teroris yang ditangkap di Batang, Jawa Tengah. Mereka diduga merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Batang dan Kendal di Jawa Tengah, serta Makassar di Sulawesi Selatan. Sejumlah barang bukti berupa senjata, casing untuk membuat bom rakitan dan beberapa bahan racikan dijadikan bahwa mereka sedang merancang aktifits terorisme.  Bukankah semua orang sedang prihatin dengan merebaknya wabah covid 19? Bagaimana situasi pandemi menjadi peluang munculnya ancamaan teror? Tulisan ini merupakan hasil bacaan saya menangkap diskusi daring yang dihadiri secara online oleh sekitar 97 orang. 


Pergeseran Terorisme: motivasi, ideologi dan kapabilitas 

Diskusi selama dua jam ini, mengupas posisi kelompok ekstrimis di masa Pandemi dengan membaca kondisi sosial, psikologi, budaya dan politik. Penelitian Dr. Zora, pakar psikologi UI mengatakan bahwa ada kenaikan pergerakan di kalangan ekstrimis selama musim pandemi dilihat dari tiga dimensi. Pertama, dimensi motivasi terkait dengan isu seputar ketidakcakapan pemerintah dalam melakukan penanganan Covid 19. Beberapa isu yang dianggap bisa menaikkan motivasi kelompok ekstrimis dalam melakukan konsolidasi atau rencana penyerangan adalah adanya kebijakan social distancing yang mengarah kepada Work From Home (WFH), kemudian diikuti dengan School from Home dan Pray from Home. Khususnya dalam hal Pray From Home, upaya mendorong orang ibadah di rumah dianggap sebagai upaya penutupan tempat ibadah. Prasangka ini muncul karena anggapan tidak ada sosialisasi yang intensif dan terencana dilakukan oleh pihak pemerintah kepada masyarakat. Upaya "memaksa" orang untuk ibadah dirumah, dimaknai sebagai tindakan awal penutupan rumah ibadah dan pelarangan ibadah bagi umat muslim. Padahal anjuran untuk ibadah di rumah, bukan saja hanya untuk muslim, tetapi juga berlaku untuk agama yang lain seperti Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Ini pasalnya kegiatan berkumpul berpotensi besar untuk menularkan Covid 19. 

Dimensi motivasi yang lain yang cukup signifikan berkembang adalah motif hancurnya ekonomi dan ketidakadilan.  Keduanya saling berkaitan. Wabah Covid 19 yang melumpuhkan banyak sektor ekonomi dianggap semakin menempatkan masyarakat pada posisi yang sangat tidak adil. Kepanikan pada birokrasi dan sejumlah kebijakan yang dikeluarkan negara terkesan buru-buru dan dianggap tidak memberikan keadilan bagi orang kecil. Fokus analisis diletakkan pada kenyataan Covid 19 telah melumpuhkan aktifitas ekonomi, dimana jutaan warga Indonesia yang hidup dari transaksi harian sangat terdampak dan sebagian dari mereka telah mengalami perumahan atau ancaman PHK. Ini dianggap pemerintah tidak berbuat adil. Meskipun juga ada fakta lain bahwa sejumlah tindakan mitigasi disiapkan oleh pemerintah dengan memberikan subsidi diskon tarif listrik, bantuan langsung tunai, penundaan kredit, realokasi anggaran negara untuk penanganan covid 19 dan sebagainya. 

Kedua, pada dimensi ideologi, menganggap bahwa pandemi covid 19 adalah tanda-tanda akhir jaman bisa mendorong kelompok ini melakukan upaya jihad. Para ekstrimis juga meyakini bahwa cara pemerintah merespon situasi dianggap sebagai komunisme gaya baru. Betapa tidak, tradisi turun temurun yang dihidupi di desa-desa, tiba-tiba dihentikan oleh pemerintah hanya karena virus, yang seharusnya diperlakukan sebagai Terutama pada bagian upaya mendorong orang untuk ibadah di rumah, yang ditafsirkan sebagai sikap negatif terhadap orang muslim. 

Ketiga adalah dimensi kapabilitas. Pembatasan sosial dengan banyak kerja di rumah, memberikan kesempatan sangat baik untuk peningkatan skill informatika dan teknologi. Pengalihan kegiatan fisik ke dunia maya mendorong intensitas produksi proganda anti china semakin kuat. Bahkan interest Indonesia kerjasama dengan pihak China dalam penanganan Covid 19 juga dipandang sebagai upaya konspirasi. 

Kebaruan-Kebaruan Terorisme Di Era Pandemi 

Penutupan teritori ISIS di Syiriah  tidak otomatis menjadi kekalahan ideologi terorisme di dunia. Menurut Ridwan Habsi, pengamat terorisme UI, pengikut ISIS tidak pernah menganggap pembubaran secara teritori ISIS merupakan kekalahan mereka. Ridwan juga memprediksi mereka saat ini sedang menjalankan strategi "berbaur kembali ke masyarakat", untuk hidup menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya. Mereka saat ini bisa saja menjadi tukang ojek, penjual bakso, penjual jamu herbal, atau pekerjaan-pekerjaan yang dianggap fleksible masih dalam kontrol penuh mereka. 

Tidak heran kalau kemudian sebagian besar mereka masih menerima instruksi dari para pimpinan mereka untuk tetap bergerak. Pada prinsipnya meskipun belum menjadi gerakan yang besar, tetapi perlu diwaspadai karena bahwa isu pandemi covid 19 sangat bisa dipakai seabagai media memperkeruh situasi dan menurunkan kepercayaan dan legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. 

Ada beberapa kebaruan yang menarik untuk dicermati dalam gerakan terorisme di era pandemi, diantaranya adalah pada narasi propaganda dan senjata biologis.  

Pertama, dilihat dari narasi propaganda yang berkembang pada masa pandemi, ada pergeseran narasi yang cukup signifikan dari "menyerang pemerintah Indonesia", saat ini berubah "menyerang china". China dianggap mewakili kafir yang sengaja menyebarkan wabah corona agar umat muslim berkurang jumlahnya. China bisa saja dianggap mewakili "Barat" yang layak untuk dimusnahkan. 

Kedua, virus menjadi senjata biologis yang sangat dasyat. Jika dilihat tingkat destruktifnya maka tentu saja ide mengembangkan senjata biologis sudah menjadi wacana di dalam kelompok ini.  Meskipun pandemi covid 19 bukan bagian dari serangan teror yang direncanakan oleh para teroris. Menurut Ridwan, dalam perbincangan senyap mereka, kemungkinan menggunakan senjata biologis seperti virus di masa mendatang sangat terbuka. Bahkan sebagian dari mereka juga sudah bersedia menjadi "transmitor" dari virus, jika memang diputuskan bahwa ke depan aksi teror difokuskan pada model penyebaran virus. 

Jika muncul konvergensi baru perkawinan aksi teror baru dengan aktor politik, maka kemungkinan menghasilkan banyak kebaruan akan terjadi. Tidak mustahil kebaruan juga bisa muncul dengan mengbajak bantuan-bantuan kemanusiaan yang vital seperti Alat Pengaman Diri (APD) dimana para medis yang di garda depan menangani pasien positif covid 19 sulit mendapatkan supply APD. Jika kekuatan politik bermain dalam skenario teorrisme, maka sudah pasti, korban yang meninggal akan semakin besar karena fasilitas medis yang tidak terpenuhi. Untungnya di Indonesia tidak terjadi. 

Meskipun dalam keseharian kita bisa melihat produksi hoax semakin besar. Per tanggal 9 April, Kementerian Komunikasi dan Informasi  meliris 492 laporan hoax seputar isu corona virus. Berita hoax ini seputar pasien positif covid 19 yang lari dari RS, lokasi karantina TKI, harga BBM yang turun, poster ajakan berhenti total 3 hari, Satpol PP menyisir anak punk, dan sebagainya. Hoax yang sangat marak berpotensi mengacaukan informasi yang benar dari sumber kredibel. 

Perempuan, semakin rentankah? 
Tidak ada pembahasan khusus dalam diskusi kemarin terkait dengan kecenderungan keterlibatan perempuan yang semakin tinggi. Meksi demikian kelompok perempuan teroris tidak bisa dianggap remeh karena seperti yang kita tahu mereka sudah berhasil melakukan beberapa aksi dengan membawa anak-anak mereka. Kilas balik Bom Surabaya, Bom Sibolga, dan serangan di Makom Brimob memberikan rasa percaya diri yang kuat kepada perempuan. 

Jika ide penggunaan senjata biologis sebagai cara baru terorisme, maka sudah barang tentu perempuan akan tetap strategis memainkan peran sebagai "transmitor" karena medium penyebaran yang tidak terbatas, dan kultur komunal kita akan mempermudah penyebaran. 

Isu perempuan juga sangat strategis dimainkan. Fakta bahwa banyak perempuan di sektor informal terdampak dari kebijakan pembatasan sosial, apalagi kebijakan baru tentang pembatasan berskala besar diterapkan, sudah pasti perempuan di sektor informal akan kehilangan penghasilan mereka. Ini sangat strategis dimainkan dalam wacana ketidakadilan. Dan kita tahu semua bahwa isu ketidakadilan yang mendorong gerakan terorisme juga dimainkan oleh kelompok perempuan. 

Perempuan juga bisa sangat nekat, jika diantara perempuan radikal atau ekstrim tertular covid 19,  tidak mendapatkan akses pengobatan yang cukup, dan dorongan berjihad yang kuat, membaca kondisi saat ini sebagai kesempatan buat mereka untuk secara sukarela sengaja menularkan virus ke orang lain. Meskipun tidak ada laporan ini, tetapi kita perlu mewaspadai. 

Kalau dengan dorongan 40 tiket masuk surga, mereka bisa mengajak anak-anaknya untuk melakukan bom bunuh diri, dan melukai dan membunuh banyak orang, mengapa tidak dengan penyebaran virus yang begitu mudah, mereka tidak memikirkan ini. Semoga tidak.

Peran Masyarakat Sipil?
Bicara peran masyarakat sipil, Indonesia telah banyak memiliki model-model dimana masyarakat sipil sangat aktif berperan. Termasuk dalam Pandemi saat ini, masyarakat sipil melakukan berbagai macam terobosan untuk menolong yang papa. Mereka ada yang memfokuskan pada mobilisasi kebutuuhan sembako, kesehatan dan juga menciptakan produk yang bisa dipakai selama pandemi. Masyarakat sipil juga bekerja di ranah advokasi untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah diambil berbasis pada kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, keaktifan masyarakat sipil bisa dilihat dalam kerja-kerja kordinasi secara online dengan BNPB. Bahkan, paltform berbagi di BNPB saya rasa juga bagian dari inisia tif bersama masyarakat sipil

Dalam kerja-kerja terorisme, masyarakat sipil tidak sedikit bekerja di pencegahan, kontra radikalisme, dan juga membantu pemerintah untuk mengoptimalkan proses rehabilitasi dan reintegrasi. Lalu apa yang baru ketika gerakan terorisme menggunakan covid 19? Pak Hamli dari BNPT mendorong masyarakat sipil membantu memproduksi counter narasi yang lebih kreatif. Meskipun pemerintah khususnya BNPT sedang bekerja terkait membuat narasi-narasi baru untuk melawan arus propaganda pendukung ISIS, tetapi penting buat masyarakat sipil memahami betul narasi yang rawan ditunggangi oleh kelompok ini.

Apa yang disampaikan oleh Pak Hamli memang benar, tetapi saya rasa lebih jauh lagi, pemerintah sendiri perlu menyelesaikan pekerjaan rumahnya untuk membangun mekanisme engagement dengan CSO yang lebih strategis. Pelibatan masyarakat sipil sebagai individu ekspert dalam proses konsultasi dan diskusi terbatas sudah sangat baik. Tapi ini posisinya rentan. Maka, mekanisme task force atau kelompok kerja dimana CSO dilibatkan dalam mengawal kebijakan jauh lebih strategis dan tidak terkesan hit and run.

Sudah banyak contoh yang dilakukan. Saya mencontohkan sekretariat bersama SDGs cukup bagus meskipun banyak tantangan. Model pelibatan dalam Pokja di RAN Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, juga berjalan, meskipun butuh elemen pendukung yang membuat kerjasama pemerintah dan CSO anggota Pokja bisa efektif dan akuntable.

BNPT sedang menyiapkan draft RAN Penanggulangan ekstrimisme (RAN PE) yang saya rasa akan jadi strategi nasional terkomprehensif buat mengatur langkah bersama semua agensi yang bekerja. CSO sudah pasti harus menjadi bagian dari upaya bersama ini. Tantangan buat BNPT adalah apakah Pokja Pengawalan RAN PE akan didesain lebih progresif dan inovatif dengan model joint-decision making yang sudah dipraktekkan di tempat-tempat lain.

Kesimpulan 
Pandemi covid 19 bisa jadi katalisator bagi terorisme untuk menaikkan proganda melawan china dan menuduh pemerintah indonesia sebagai komunis gaya baru, krena bekerjasama dengan china dan isu pembatasan ibadah di rumah ibadah. 

Dilihat dari peningkatan pada motivasi, ideologi dan kapasitas kelompok teroris yang meningkat selama pandemi maka pemerintah Indonesia seharusnya bisa membaca pandemi dengan perspektif mitigasi ancaman teror. Olehkarena itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme harus menjadi bagian tim strategis yang memberikan bacaan penting terkait potensi ancaman. 

Rekomendasi

Susunan rekomendasi ini saya ambil dari diskusi daring, tetapi juga saya tambahkan dengan hasil bacaan saya sendiri tentang perkembangan isu dan dampaknya pada masyarakat tidak hanya di Indonesia.
  1. BNPT seharusnya menjadi bagian dari Satgas untuk memastikan bahwa kebijakan terkait penaganan covid 19 tidak berpotensi memicu akti terorisme
  2. Pemerintah penting menyediakan pelatihan-pelatihan vocational yang bisa dimanfaatkan oleh banyak mereka yang kehilangan pekerjaan atau para lulusan baru. 
  3. Para politisi bersikap bijak untuk tidak mempolitisasi keadaan, dimana kondisi bangsa sudah sangat sulit, maka segala pikiran tentang penggulingan presiden atau agenda politik lainnya yang berdampak pada penyengsaraan masyarakat, hendaknya dijauhkan. Sepakat dengan WHO bahwa kontituen terbesar politisi adalah masyarakat biasa dan mereka sedang dalam kondisi yang sangat prihatin, maka menyelamatkan mereka dalam kondisi saat ini adalah menyelamatkan kontituen buat Pilkada atau Pilpres di masa mendatang 
  4. Pemerintah melalui Pemerintah pemberdayaan perempuan, penting melakukan mitigasi kekerasan domestik pada permepuan maupun pada anak kerena perubahan lokus aktifitas laki-laki bergeser di dalam rumah, dan kehilangan penghasilan, memungkinkan menjadi trigger kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan dan anak sangat rentan. 

*** 
Ruby Kholifah 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar