Selasa, 15 Desember 2015

NAP 1325, What Does It Mean for Patani Women?

8.30 pagi. Suasana lengang. Belum nampak tanda-tanda akan ada keramaian. Padahal di undangan forum publik speeaking akan dibuka oleh Direktur Center for Conflict Studies and Cultural Diversities (CSCD), Dr. Srisompob, diharapkan tepat waktu. Tampak seorang laki-laki paruh baya berseragam polisi lengkap sedang duduk berbincang dengan anak muda di ruang tamu. “Mungkin mereka sedang membahas kondisi di Patani,” batinku. Sejenak kulemparkan senyum sopanku ke bapak tersebut. Kamipun menyeruak masuk ke dalam kantor sederhana tersebut. Siapa sangka bapak polisi ini adalah salah satu peserta yang taat dalam mengikuti acara dialog mulai pagi sampai sore di kantor Deep South Watch. 

Hampir semua orang Patani tahu keberadaan Deep South Watch, sebagai suara alternatif dari perspektif insider yang digagas oleh jurnalis senior Bang Ayub. Tahun 2006, rombongan peserta peace studies AMAN, termasuk aku di dalamnya berdialog dengan Bang Ayub tentang dampak dari media alternatif ini. Dan sampai sekarang masih eksis. Sebagai tuan rumah, Deep South Watch, berkolaborasi dengan Center of Conflict Studies and Cultural Diversities mengundangku untuk berbagi pengalamanku sebagai aktifis perempuan yang memperjuangkan the voiceless. Tuan rumah dan beberapa aktifis perempuan juga sepakat untuk membuat workshop terbatas untuk membahas tentang perkembangan women, peace and security (WPS) di Thailand. Ini juga ada hubungannya dengan inisiatif nasional dimana pemerintah Thailand mulai melakukan konsultasi publik untuk mengumpulkan gagasan-gagasan konstruktif terkait dengan NAP 1325.
Presetasiku mencakup 6 hal penting yaitu; a) konteks Indonesia pada saat Orde Baru dan pasca reformasi, serta konstruksi gendernya, b) kontestasi genders dan gerakan perempuan, c) keberhasilan dan kegagalan gerakan perempuan, d) Strategi keberhasilan gerakan perempuan, e) tantangan dan keterlibatan AMAN Indonesia. 

Tidak kusangka, bahwa materi forum begitu menggerakan adrenalin para peserta seminar pagi itu. Terutama pada bagian transformasi Indonesia dari dictatorship menjadi demokratif. Ini dianggap begitu mirip dengan kondisi yang ada di Thailand, khususnya di Patani. Hal lain yang juga cukup serius terbahas di dalam forum tersebut adalah tentang keterlibatan tokoh agama dalam mendorong pencapaian kesetaraan gender.Berbeda dengan Indonesia yang memiliki vicil socities yang kuat dimana organisasi masa berbasis agama tumbuh subur dan mereka bergerak secara terbuka dalam ranah sosial, politik dan agama. Misalnya saja Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah adalah dua organisasi muslim terbesar yang cukup maju dalam merespon persoalan sosial, lingkungan, budaya termasuk politik. Karena para pendirinya adalah kyai yang memiliki basis pesantren, maka secara tidak langsung organisasi ini tokoh-tokoh agama untuk merespon isu kekinian. Dengan basis kondisi mereka, tidak terlalu sulit diarahkan dalam merespon isu-isu perempuan. Bahkan isu perempuan dianggap sebagai “lokus” perang argumentasi para tokoh agama dalam melihat peran perempuan di domestik dan publik. 

Patani tidak memiliki organisasi masa berbasis agama yang kuat. Mereka memiliki model kepemimpinan tokoh agama yang mirip dengan Arab Saudi yaitu ada seorang Syeh yang dianggap mumpuni dipilih oleh para ulama yang tergabung dalam Mejlis Agama atau orang lokal menyebutkan Majelis lain dan disetujui oleh raja. Mereka tidak memiliki basis pesantren. Karakteristiknya konservatif dan tertutup pada perubahan. Ini karena tidak adanya persinggungan dengan politik. Sementara respon terhadap sosial juga dangkal dan tidak relevan karena terlalu tektual dan terkesan tidak dekat dengan masyarakat. Misalnya saja pengaduan kasus kekerasan dalam rumah tangga direspon oleh imam dengan nasehat bersabar dan mengalah. Padahal mereka sangat bisa melakukan peran sebagai advisor yang bijak. 

Meskipun tidak banyak diceritakan tentang peran tokoh agama perempuan dalam forum. Untuk mengawali sebuah perubahan, menarik untuk mulai mendekati mereka dengan memperkuat kapasitas tafsir ajaran Islam dan mensensitifkan rasa empati mereka terhadap kondisi perempuan disekitarnya. Meski demikian, intervensi langsung pada tokoh agama tetap harus dilakukan. Seperti yang saya bagikan dalam tips mendekati tokoh agama, maka beberapa hal penting dibawah ini perlu diperhatikan yaitu: 
  1. Menemukan kapasitas di internal tokoh agama dan organisasi-organisasi affiliasi atau pesantren-pesantren dengan tokoh agama; ini penting karena biasanya kalau meminjam strategi atau pendekatan dari luar akan ada penolakan. 
  2. Mendekati tokoh agama atau ulama yang memiliki cara berpikir terbuka, meskipun dalam hal isu perempuan masih belum. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk memperkenalkan isuisu seperti HAM, HAP, HAN dan lingkungan dll. 
  3. Memulai dengan isu yang tidak menimbulkan resistensi Pick up Less resistance issues to begin (corruption, democracy, education for women, reproductive health, etc)
  4. Membanugn kerjasama dengan pondok atau pesantren agar ruang perjumpaan semakin banyak
  5. Menciptakan ruang-ruang debate di dalam pesantren, sekolah atau universitas baik dikalangan tokoh agama maupun akademisi atau para gernerasi muda, sehingga tradisi membaca tumbuh dan semakin banyak referensi yang bisa dipakai. 
  6. Melakukan training penguatan skill metodologi membaca teks agama di kalangan guru-guru dan tokoh agama kemudian dilanjutkan dengan advokasi
Thailand NAP 1325, Apa Maknanya Bagi Perempuan Patani?
Sesi dua dari forum publik di kantor Deep South Watch-PSU adalah diskusi tentang women, peace and security. Amporn Saadah, dosen dan aktifis dari Walailak University memberikan overview tentang apa itu resolusi 1325 dari perspektif sejarah dan kekinian. Dalam prolog presentasinya Saadah memberikan penekanan pada pentingnya resolusi 1325 sebagai dasar bagi negara untuk memberikan porsi yang besar untuk memperhatikan kondisi perempuan di wilayah konflik dalam perspektif keamanan. Ini artinya persoalan perempuan di wilayah konflik tidak bisa didekati dengan perspektif pemberdayaan perempuan saja. Dampak dari implementasi konsep keamanan yang militeristik dan macho menempatkan perempuan dalam kondisi rentan menjadi target langsung maupun target antara. 

Di Patani, keberadaan pasukan keamanan tidak sepenuhnya membawa keamanan. Pendekatan yang kadang tidak sensitif budaya lokal menimbulkan perlawanan balik dari orang lokal. Tokoh agama dengan exposure yang tidak luas berusaha untuk membangun benteng genuinitas budaya dan agama di Patani dengan memperketat tafsir agama untuk membedakan “kita” dan “mereka”. Berbagai model intervensi dari Bangkok bisa disalahmaksudkan jika tidak hati-hati. Ini karena trust building pemerintah dan masyarakat Patani kurang kuat. 

Meskipun tidak menerapkan desentralisasi, tetapi perubahan intervensi pemerintah pusat ke Patani sudah banyak berubah. Indikatornya simpel saja sekolah-sekolah begitu terlihat sibuk dan murid-murid juga mondar-madir di jalanan. Kampus juga difasilitasi untuk membuat forum-forum dialog untuk membuka komunikasi dengan dunia internasional. Tetapi juga kehidupan masyarakat belum menunjukkan perbaikan secara ekonomi. ”Dulu banyak sekali orang beli kwecap (mie ayam), tapi sekarang agak sepi. Bahkan banyak nelayan juga kesulitan mencari ikan sekarang. Orang sulit cari pekerjaan. Hanya pegawai negeri yang makmur”, ujar Rohanee, salah satu peneliti di PSU. 

Tampaknya tafsir agama yang konservatif yang dilanggengkan oleh pondok dan tokoh ulama menjadi halangan bagi pelaksanaan NAP 1325 di Thailand Selatan. Untuk menyiasati kondisi di Patani, maka beberapa strategi kemungkinan bisa dlaksanakan adalah;
  1. Membentuk Muslimah Committee untuk lebih mudah mendekatkan diri dengan perempuan dan bisa menangkap berbagai persoalan krusial di perempuan Patani 
  2. Membangun kerjasama dengan tokoh agama untuk mendukung kerja-kerja pemberdayaan perempuan, bukan sebaliknya membatasi 
  3. Memperbanyak ruang-ruang dialog dengan tokoh agama untuk membahas perspektif agama dalam melihat persoalan perempuan 
*** 
Kontak: dwiruby@amanindonesia.org 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar