HAM City of Wonosobo, sudah lama menjadi buah bibir di kalangan pemerhati kota maupun aktifis HAM, sebagai terobosan membumikan nilai-nilai HAM dalam kerangka kerja pembangunan. Visi baru Wonosobo inilah yang membawa AMAN Indonesia untuk memulai program penguatan kepemimpinan perempuan dalam perdamaian di Desa Gemblengan, Kecamatan Garung. Dengan enabling environment yang sudah ada, sangat mungkin laju program pemberdayaan perempuan untuk perdamaian akan sedikit menemui rintangan. Asumsi ini tentu tidak semua benar. Berdasarkan pengalaman para ibu yang tergabung dalam Sekolah Perempuan Gemblengan, Kec. Garung, tampaknya konsep HAM City masih menggantung di Kabupaten. Komitmen politik Bupati Wonosobo, Kholiq Arif perlu dibumikan sampai tingkat desa, sehingga warna kehidupan HAM City akan juga terasa sampai ke desa.
Berbekal pada komitmen politik tingkat kabupaten inilah, Sekolah Perempuan (SP) Gemblengan dirintis di sebuah desa penghasil sayur yang subur di dataran tinggi. Meskipun baru, SP Gemblengan begitu menjanjikan, disamping karena komitmen tinggi dari Kepala Desa, kaum perempuan di desa ini juga memiliki antusiasme untuk mengikuti proses belajar. Meskipun bisa saja ada motif lain dibalik sikap antusiasme warga perempuan yang menyatakan dirinya bersedia bergabung dalam SP. Asumsi ini saya dapatkan dari membaca hasil analisis pada saat training perdamaian tentang situasi perempuan di Desa Gemblengan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi. Statemen seorang ibu yang ingin SP memberikan pelatihan keterampilan menjahit, tetapi tidak tahu untuk apa skill itu. Dan tentu saja dari cerita Ibu Erna tentang padatnya jadual kegiatan sosial yang semuanya membutuhkan supply Jajanan Tradisional tetapi tidak bisa dipenuhi karena kesibukan jadual berkebun para ibu. Dua hal yang kontradiktif inilah yang membuat saya pribadi yakin bahwa pendekatan penguatan skill leadership dan organisasi perempuan yang kuat akan menemukan solusi tentang masalah ekonomi perempuan.
Training perdamaian yang diselenggarakan pada 19-20 November 2015 lalu ditujukan untuk memberikan pondasi konsep dan nilai tentang perdamaian, perempuan dan HAM. Training ini menjadi spesial dengan hadirnya rombongan anggota Sekolah Perempuan Pengkok, Gunung Kidul, sejumlah 9 orang. Meski banyak peserta yang salah paham terhadap kedatangan AMAN Indonesia ke desa mereka, training seperti ini diharapkan bisa memverifikasi asumsi salah tentang pemberdayaan perempuan yang satu model yaitu training menjahit atau memasak, diberikan modal dan mesin jahit/ alat-alat memasak, lalu selesai.
Kami harus membangun kesepahaman tentang pentingnya berpikir kritis dan skill kepemimpinan perempuan yang handal diantara perempuan-perempuan desa agar mereka bisa mengawal pelaksanaan UU Desa No. 7 tahun 2014. Mandiri secara finansial adalah salah satu pilar penting dalam transformasi konflik, tetapi jauh sebelum itu masyarakat harus memiliki cara berpikir kritis agar bisa menganalisa relasi kuasa yang menimbulkan ketimpangan gender dan kesempatan bagi perempuan dan minoritas. Keyakinan AMAN Indonesia pada power of motherhood telah mendorong banyak perempuan-perempuan biasa bertranformasi menjadi pemimpin. Maka tentu saja dengan kerangka HAM City, pendekatan long-term capacity building dan pengorganisasian dapat menunjukkan pilihan lebih baik para perempuan di Wonosobo dan Gunung Kidul.
Cara pandang serupa tentang pemberdayaan perempuan juga ditemukan diantara peserta dari SP Pengkok. Bu Wiwik dalam percakapan terpisah menuturkan kepada saya bahwa sudah cukup banyak LSM hadir di Desa Pengkok dengan berbagai model program pemberdayaan ekonomi pasca Gempa. Namun tak satupun bisa berkelanjutan. Analisis Ibu Wiwik menarik bahwa pemasaran bukan masalah sebenarnya bagi industri kecil di desa karena pendamping juga mempertemukan dengan pasar, tetapi konsistensi produksi dengan standard rasa yang sama menjadi masalah. Artinya bahwa produsen baru ini memerlukan mentalitas yang konsisten untuk benar-benar terjun dalam bisnis.
Sekolah Perempuan adalah jawaban yang pas untuk menempa mentalitas perempuan-perempuan desa ini menjadi pemimpin yang tangguh dan memiliki karakter ulet, pantang menyerah, memiliki perspektif gender dan perdamain yang kuat. Untuk bisa mencetak seorang pemimpin perempuan yang tangguh, maka bukan saja intervensi eksternal yang dibutuhkan, tetapi juga komitmen diri menjadi pemimpin adalah faktor terbesar tranformasi individu.
Ada modifikasi pada training peace and tolerance ini karena kebutuhan peserta dan juga singkatnya alokasi waktu training yang tidak penuh dilakukan 2 hari. Tetapi tiga hal penting yaitu pengenalan perspektif gender, toleransi dan HAM dimulai. Diharapkan kelas reguler bisa menindaklanjuti untuk pendalaman perspektif gender dalam konteks pedesaan. PRA akan sangat membantu dalam hal ini untuk mengaplikasikan analisis gender dalam teknik PRA, sekaligus memperdalam data-data tentang desa dari perspektif gender.
HAM City to HAM Village; Perspektif Perempuan
Belajar dari Wonosobo, meski belum begitu terang benderang bagaimana HAM diturunkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi Baskom (Basis Komunitas) adalah mekanisme yang saat ini ada dipakai untuk penyelesaian konflik diantara warga. Baskom mengkombinasikan antara pendekatan penegakan hukum dan kekeluargaan dalam menangani kasus-kasus yang terjadi di desa. Perkelahian antar pendukung sepak bola pernah menjadi kasus yang sukses ditangani oleh Baskom di Desa Gemblengan. Tetapi belum begitu jelas apakah Baskom pernah menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
Tentang peran Baskom ini penting buat AMAN Indonesia mengenali lebih jauh dan melihat potensi Baskom sebagai mekanisme formal penyelesaian masalah. Termasuk sejauhmana lembaga ini menerapkan prinsip-prinsip HAM, termasuk komitmen pada perlindungan HAM Perempuan dan Anak.
Senafas dengan UU Desa yang juga ingin memaintreamkan perdamaian, maka model Baskom bisa diinterfensi dengan beberapa hal:
Pertama, komposisi pengurus Baskom. Siapa terlibat apa dan bagaimana selama ini Baskom dikelolah. Ini merupakan peluang bagi emerging women leader untuk aktif terlibat dalam resolusi konflik. Bukti bahwa di desa lain, perempuan jauh lebih efektif dalam menyelesaikan konflik dengan pendekatan mediatif maka ini lebih disukai oleh warga. Dengan kekuatan “mendengar” dan “detil” perempuan, penyelesaian konflik akan lebih mengutamakan penggalian masalah dan mencari solusi yang saling memenangkan.
Kedua, melihat peran Baskom yang lebih komprehensif bukan hanya saja fokus pada menanganan konflik dan perbedaan tetapi juga memberikan keadilan pada korban, terutama perempuan, termasuk memikirkan healing dan recovery.
Ketiga, Karena meyakinkan publik pada peran perempuan membutuhkan waktu, maka untuk penguatan SP secara kelembagaan dan individu orang-orang pada pemberian layanan pada korban akan bisa membuka sinergi dengan Baskom, tetapi harus ada representasi perempuan dalam Baskom sehingga penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan dengan kordinasi dengan Baskom. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar