Minggu, 18 Oktober 2015

Toleransi di Aceh?


Menjelang 1 Muharram, tepatnya 13 Oktober 2015, dua gereja dibakar oleh sekelompok masa di Singkil, Aceh. Dampak dari peristiwa di Aceh Singkil tersebut, selain ada korban jiwa dan luka-luka juga mengakibatkan sekitar 4.730 orang korban mengungsi di Tapanuli (sebagian sudah dipulangkan). Mereka meninggalkan semua aktifitas hariannya, termasuk pekerjaan, harta benda mereka demi menyelamatkan diri. Anak-anak mengalami trauma mendalam dan memendam bibit kebencian terhadap kelompok muslim. Mereka akan mencatat dalam memorinya bahwa orang muslim adalah jahat. Kaum ibu dihadapkan pada dilema antara ajaran kristus cinta kasih dengan realitas bahwa ekspresi cinta kasih kelompok yang lain ternyata berbeda. 

Sebelumnya, sejumlah pimpinan agama dari Gereja Kristen Pakpak Dairi (GKPPD), salah satunya adalah pendeta Erde Berutu telah melaporkan dan meminta perlindungan kepada pemerintah Kabupaten satu hari sebelum kejadian. Namun hal ini tidak mendapatkan respon positif dari pemerintah.  Akhirnya peristiwa pembakaran gereja HKI terjadi. 

Dari sekian peristiwa kekerasan atasnama agama, termasuk yang ada di Aceh Singkil merupakan dampak dari adanya peraturan diskriminatif tentang pendirian rumah ibadah (2006) dan hak beribadah dan berkeyakinan bagi warga Negara Indonesia. Sehingga peraturan tersebut dijadikan landasan oleh kelompok tertentu untuk melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. 
Salah satu deretan daftar rumah ibadah yang mengalami persoalan dengan adanya peraturan diskriminatif adalah Gereja HKBP Setu Bekasi yang dirobohkan karena ada desakan dari sebagian warga, Gereja di Temanggung di bakar massa, Gereja di Bantul dan Sleman disatroni kelompok intoleran, Masjid Ahmadiyah diCikeusik, Tasikmalaya dll. Dan masih banyak lagi rumah ibadah yang dipersulit dalam mengurus ijin sehingga mereka tidak bisa beribadah dengan aman, nyaman tanpa ada tekanan dari siapapun. Gereja GKI Yasmin dan HKBP FIladelfia nyata-nyata sudah inkrah namun masih belum dapat digunakan untuk beribadah. Pemerintah tidak berani tegas menegakkan konstitusi dengan benar dan adil
Dampaknya warga tidak dapat beribadah dengan merdeka. Tekanan dialami setiap saat bagi umatnya, terlebihlagi tekanan psikologi khususnya perempuan dan anak-anak yang akan berdampak pada kehidupan masa depan mereka.
Untuk itu, dalam peristiwa Singkil tersebut, AMAN Indonesia menyerukan dan menyatakan;
  1. Mendorong Kementerian Sosial untuk memberikan dukungan pada kurang lebih 4730 korban pembakaran gereja yang sekarang mengungsi di Tapanuli dengan memperhatikan kebutuhan kebutuhan layak pengungsi, teruma anak dan perempuan
  2. Meminta Kapolri untuk memastikan Kapolda melakukan pengusutan kepada pelaku pembakaran gereja dan memeriksa pelaksanaan Protap penghentian kekerasan secara lebih fair 
  3. Meminta Menteri Dalam Negeri menegakkan UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan beragama, dengan cara mereview kembali UU otonomi khusus Aceh dan aturan-aturan turunanya, termasuk qanun-qanun dan memperjelas wewenang nasional dan daerah.
  4. Mendorong Kementerian Agama untuk memulihkan kembali relasi minoritas dan mayoritas dengan cara memfasilitasi dialogue antar agama.
  5.   Meminta pekerja media untuk membuat pemberitaan tentang pembakaran gereja yang lebih damai dengan cara menampilkan berita yang lebih adil
  6. Mendorong para tokoh agama untuk tidak memprovokasi dan melakukan pendekatan damai kepada umatnya agar masing-masing kelompok tidak bertikai 
  7. Mendorong kelompok masyarakat sipil untuk merespon peristiwa pembakaran gereja secara lebih komprehensif dengan cara melakukan pendekatan HAM dan pembangunan perdamaian dalam menyelesaikan masalah Singkil
 Demikian surat pernyataan kami sampaikan, berharap bisa menjadi pertimbangan banyak orang. 

Salam Hormat
Dwi Rubiyanti K
Country Representative of The Asian Muslim Action Network 
(AMAN Indonesia)
081289448741

Foto diambil dari link 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar