Rabu, 30 September 2015

CEDAW GR 30, A Way to Make NAP 1325 Legally Binding


Mengapa GR 30?

1 November 2013, Komite CEDAW mengeluarkan rekomendasi umum No. 30 mengenai perempuan di situasi konflik yang selanjutnya dalam tulisan ini selanjutnya disebut GR 30. Tujuan utama diterbitkannya GR 30 adalah memberikan panduan yang otoritatif pada negara terkait dengan kebijakan, aturan-aturan dan alat ukur untuk memastikan pemenuhan kewajiban negara dibawah konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau biasa disebut CEDAW. 
Workshop penulisan guidelines untuk laporan GR 30 diselenggarakan oleh IWRAW pada 20-23 September 2015 di Hotel Seri Pasifik, Kuala Lumpur, Malaysia. Peserta workshop sebagian besar perempuan bekerja di wilayah konflik di Thailand, Kamboja, Indonesia, Timor Leste, Myanmar, Pakistan, Nepal, dan Srilangka. Tujuan workshop ini adalah untuk menyusun guidelines laporan bayangan CEDAW khususnya pada GR 30. Laporan bayangan adalah laporan banyangan NGO tentang situasi HAM perempuan dan anak perempuan. Laporan ini bersifat memberikan data dan analisis dari perspektif NGO.

Isu perempuan di wilayah konflik telah menjadi pembicaraan dunia sejak lama dan telah memaksa PBB mengeluarkan beberapa dokumen penting terkait dengan upaya merespon situasi perempuan di wilayah konflik. Diantara dokumen tersebut adalah Beijing Platform for Action (BPFA) pada isu kritis ke 5 tentang perempuan dan konflik bersenjata, Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325 tentang perempuan, perdamaian dan keamanan, GR 30 CEDAW tentang Perempuan dan konflik dan Gol 16 pada dokumen Sustainable Development Goals (SDGs).

Mengapa GR 30 CEDAW? Pertama, dokumen GR 30 CEDAW secara hukum mengikat karena bagian tak terpisahkan dari CEDAW. Karena sifatnya mengikat maka negara anggota PBB yang telah ratifikasi CEDAW, termasuk Indonesia terikat untuk pelaksanaan GR 30 di tingakt nasional. Di sebagian negara telah membuat rencana aksi nasional (RAN) 1325 dan masih banyak penolakan karena dianggap tidak relevan dengan kondisi nasional. Maka diterbitkannya GR 30 CEDAW memberikan penguatan secara legal RAN 1325. 

Kedua, secara subtansi GR 30 CEDAW memiliki keunikan dibandingkan dengan dokumen-dokumen yang lainnya, diantaranya adalah; a) definisi konflik yang luas mencakup konflik bersenjata, komunal dan etnik konflik, ganggunan internal, negara dalam darurat, ketegangan karena aksi masa, perang melawan terorisme dan kejahatan terorganisir, perselisihan politik dan sebagainya; b) membahas tentang pengungsi baik di dalam negeri maupun dari luar negeri; c) perempuan bukan kelompok homogen sehingga diversitas dalam kelompok perempuan seperti perempuan minoritas, disabilitas, LBT, kombatan, pembela HAM Perempuan, korban kekerasan seksual dan sebagainya; d)  interseksi bentuk diskriminasi, dimana pada GR 28 juga telah menegaskan bahwa segala bentuk dampak pada anak perempuan di wilayah konflik berasal pada Gender Based Violence.

Menyelami Isi GR 30

Dokumen GR 30 CEDAW terdiri dari beberapa bagian diantaranya adalah (1) latas belakang (2) skup dari rekomendasi umum (3)aplikasi konvensi pada pencegahan konflik, konflik dan pasca konflik, yang mencakup ; a) aplikasi konvensi pada teritori dan extra terotori, b) aplikasi konvensi pada aktor negara dan non negara, c) tambahan untuk pekerja kemanusiaan, refugree dan hukum kriminal, d) konvensi dan agenda dewan keamanan tentang perempuan, perdamaian dan keamanan; 4) konvensi dan pencegahan konflik, konflik dan pasca konflik, merupakan uraian luas tentang isu-isu krusial di dalam GR 30; 5) kesimpulan yang membahas tentang monitoring dan reporting dan treaty lain yang berhubungan untuk segera diratifikasi atau dipenuhi. 

Untuk pembahasan selanjutnya, saya hanya memfokuskan pada bagian ke 4 tentang isu-isu penting dalam perempuan pada pencegahan konflik dan perempuan dalam konflik dan pasca konflik. 

Perempuan dan Pencegahan konflik 
Bagian ini menonjolkan tentang pentingnya sistem peringatan dini yang bisa dibangun dari berbagai macam model yang saat ini ada, atau memperthitungkan faktor-faktor lain yang bisa mendukung ke arah perdamaian diantaranya adalah pertama, pemahaman masyarakat terhadap akar dari konflik. Yang dimaksudkan disini adalah pengetahuan dasar pada masyarakat tentang faktor-faktor disekitar mereka yang dapat memicu konflik.

Kedua, adanya kebijakan dan regulasi yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Misalnya tingginya budget militer dibandingkan dengan budget pemberdayaan perempuan. Tidak terkontrolnya peredaran senjata, kejahatan terorganisir, yang berdampak pada perempuan baik langsung maupunt idak langsung. 

Keempat, leadership perempuan perlu dipastikan ada. Perempuan memiliki pengalaman dan pengetahuan bagaimana mencegah konflik terjadi. Kehadiran mereka dalam rencana membuat pecegahan konflik akan memberikan alternatif tentang cara-cara yang nir kekerasan. Ini juga bisa antisipasi segala upaya-upaya yang diharapkan mencegah konflik tetapi bisa mencederai perempuan. 

Komite CEDAW merekomendasikan agar negara bisa melakukan hal-hal sebagai berikut: 
  1. Menegaskan dan mendukung upaya-upaya informal dan formal perempuan dalam pencegahan konflik 
  2. Memastikan partisipasi setara perempuan di organisasi nasional, regional, dan internasional, termasuk proses informal, lokal dan berbasis komunitas yang berhubungan dengan diplomasi untuk pencegahan 
  3. Membangun sistem peringatan dini dan adopsi alat keamanan yang peka gender yang mencegah eskalasi kekerasan terhadap perempuan berbasis gender dan segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM Perempuan 
  4. Memasukkan indikator gender dan tolak ukur dalam kerangka managemen dalam sistem deteksi dini
Perempuan pada Konteks Konflik dan Pasca Konflik 
Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM. Konflik menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan baik dilakukan oleh negara maupun non negara. Kekerasan pada saat konflik dan pasca konflik bisa terjadi pada perempuan dimanapun, baik pada saat penyerangan, saat di area pengungsian, saat mengambil air, pergi keluar rumah, bahkan disergap di dalam rumah, perempuan sangat rentan dijadikan target kekerasan seperti pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, pemotongan anggota tubuh, kekerasan seksual, pernikahan paksa, prostitusi paksa, penghamilan paksa sampai pengguguran paksa. 

Konflik atau perang juga berdampak pada perempuan dalam bentuk yang berbeda-beda, yaitu: 

a) Kekerasan berbasis gender; konflik memperburuk ketimpangan gender dan menempatkan perempuan pada risiko tinggi berbagai bentuk kekerasan berbasis gender yang bisa dilakukan oleh aktor pemerintah dan aktor non pemerintah. CEDAW merekomendasikan untuk; 1) melarang segala bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk melalui regulasi, kebijakan dan protokol, 2) mencegah, menginvestigasi dan menghukum pelaku segala bentuk kekerasan berbasis gender oleh aktor pemerintah dan non pemerintah, mengimplementasikan kebijakan zero tolerance terhadap kekerasan, 3) memastikan akses keadilan bagi perempuan dan anak perempuan diantaranya adopsi prosedur investigasi berperspektif gender, melaksanakan training sensitivitas gender, mengadopsi code of conducts dan protokoler kepolisian dan militer termasuk pasukan perdamaian, peningkatan kapasitas para hakim, termsuk mekanisme  keadilan transisi, untuk memastikan independensi, ketidakberpihakan (impartiality), dan keterpaduan (integrity), 4) Berinvestasi pada keahlian dan alokasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan perempuan korban kekerasan seksual, termasuk dampaknya pada kesehatan reproduksi, 5) Memastikan alat ukur pencegahan dan respon cepat di tingkat nasional memasukkan intevensi khusus pada kekerasan berbasis gender dan HIV 

b) Perdagangan; konflik dan perang bisa menciptakan kebutuhan terstruktur ekploitasi seksual, ekonomi dan militer terhadap perempuan. Ini semakin parah jika kemudian konflik atau perang mendorong migrasi,maka perempuan dan anak perempuan rawan untuk diperdagangkan. Komite CEDAW merekomendasikan; 1) Mencegah, mengadili dan menghukum pelanggaran HAM perempuan  baik dilakukan oleh pemegang otoritas publik maupun swasta, serta mengadopsi alat perlindungan perempuan khusus termasuk pengungsi, 2) Mengadopsi kebijakan zero-tolerance dengan menggunakan standard HAM internasional untuk mengukur perdagangan, eksploitasi seksual dan penyiksaan, terutama ditujukan bagi pasukan keamanan, polisi perbatasan, pekerja imigrasi, pekerja kemanusiaan, dan termasuk peningkatan kapasitas sensitivitas gender, 3) Mengadopsi kebijakan komprehensif tentang migrasi berperspektif gender dan berbasis hak yang memastikan perempuan dan anak perempuan dari daerah konflik tidak ditargetkan dalam perdaganan, 5) Mengadopsi perjanjian bilateral dan regional dan berbagai model kerjasama untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan yang diperdagangkan, serta memfasilitasi pengadilan pelaku perdagangan manusia

c) Tingkat partisipasi perempuan; Pada saat konflik dan perang berlangsung, perempuan banyak mengambil peran-peran penting seperti kepala rumah tangga, juru damai, pemimpin politik, kombatan, tetapi pasca konflik peran mereka dihilangkan. Komite CEDAW merekomendasikan untuk; 1) Memastikan inklusivitas perempuan dalam legislatif, eksekutif, administrasi dan berbagai instrumen kebijakan terkait dengan pencegahan, penanganan dan resolusi konflik, 2) memastikan keterwakilan perempuan dalam pengambila keputusan di semua level, termasuk di sektor keamanan 3) memastikan perempuan dan gerakan perempuan, dan perwakilan CSO, dilibatkan dalam negosiasi perdamaian dan proses membangun kembali pasca konflik, 4) Menyediakan latihan kepemimpinan pada perempuan utnuk memastikan partisipasi efektif di proses politik pasca konflik. Komite CEDAW juga mendorong pada pihak ketiga untuk; 1) melibatkan perempuan dalam negosiasi dan mediasi sebagai delegasi termasuk tingkat senior, 2) menyediakan dukungan teknis proses resolusi konlik untk mempeormosikan keterlibatan perempuan.

d) Akses pada pendidikan-pekerjaan-kesehatan- dan perempuan desa; konsekuensi konflik dan perang adalah rusaknya infrastruktur layanan publik, ini sangat berdampak serius bagi perempuan. Komite CEDAW merekomendasi untuk; 1) Membuat program reintegrasi bagi anak perempuan yang drop out dari sekolah karena efek konflik, dan memastikan pencegahan berbagai kemungkinan kekerasan terhadap anak perempuan dan respon cepat investigasi jika terjadi kasus, 2) Memastikan alat proteksi perempuan tidak punya kewarganegaraan, 3) Menggaransi perempuan dan anak perempuan hak yang sama untuk mendapatkan dokumen kewarganegaraan mereka
Relasi pernikahan dan keluarga;  Konflik dan perang juga berdampak pada hubungan keluarga dan pernikahan. Banyak anak gadis dipaksa menikah dengan militer untuk mendapatkan rasa aman dan dukungan keuangan karena orang tua sangat miskin. Aborsi, sterilisasi di situasi konflik juga perlu dipastikan asessibilitasnya. Komite CEDAW menegaskan kembali GR 21 dan 29 untuk; 1) Mencegah, menginvestigasi dan menghukum kekerasan berbasis gender termasuk pemaksaan pernikahan, pernikahan anak, kehamilan, aborsi, sterilisasi pada perempuan, 2) Adopsi peraturan dan kebijkana sensitif gender yang mengenali kasus klaim harta waris dan tanah pasca konflik yang meminggirkan perempuan.

e) Reformasi sektor keamanan, Pelucutan senjata dan reintegrasi;  Ini adalah proses awal reformasi sektor keamana dilakukan, namun sayangnya banyak perempuan eks- kombatan tidak terlibat, dan tidak ada respon dari para kombatan yang melakukan kekerasan berbasis gender, selain juga tidak ada kordinasi dengan sektor keamanan. 
Perempuan eks kombatan banyak menghadapi masalah, mereka juga korban kekerasan berbasis gender. Proses reintegrasi bukan hal mudah karena stigmatisasi, isolasi, dan ketidakberdayaan secara ekonomi pada perempuan eks-kombatan tidak menjadi kepedulian serius. Komite CEDAW merekomendasi untuk; 1) Membangun program pelucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrsi dalam satu kordinasi dengan kerangka kerja Reformasi Sektor Keamanan, 2) Melakukan reformsi sektor keamanan yang berperspektif gender dimana keterwakilan perempuan dan masalah krusial perempuan dalam sektor keamanan didorongkan, 3) Memastikan reformasi sektor keamanan dilakukan dengan mekanisme inklusif dan akuntable dengan pemberlakuan sanksi, termasuk membentuk unit khusus investigasi kekerasan berbasis gender, 4) Memastikan partisipasi perempuan setara di semua tahapan pelucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi, dari negosiasi perdamaian, membangun institusi nasional duntuk mendesain program-program implementasi, 5) Memastikan program khusus yang mentargetkan perempuan eks-kombatan, termasuk memastikan psikososial dan dukungan lainnya, 6) Memastikan proses pelucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi mengangkat kekhususan kebutuhan perempuan untuk memberikan dukungan pada ibu-ibu muda dan anak-anaknya 

f) Reformasi konstitusi dan sistem pemilihan dan akses pada keadilan; Reformasi sistem pemilihan umum pasca konflik dan perumusan konstitusi adalah fase krusial. Memastikan partisipasi perempuan dalam proses-proses penting perumusan kebijakan baru akan melahirkan sistem baru yang lebih peka terhadap perempuan. Komite CEDAW merekomendasikan untuk; 1) Memastikan partisipasi perempuan yang setara dalam drafting konstitusi dan mengadopsi mekanisme sensitif gender dalam partisipasi publik memberikan input pada draft konstitusi, 2) Memastikan reformasi konstitusi dan perundangan yang lain termasuk HAM perempuan dibawah, 3) Memastikan konstitusi baru mengandung tindakan khusus sementara yang bisa dipakai untuk warga negara maupun bukan, dan memastikan HAM perempuan bukan subyek dari kemunduran kondisi emergensi, 4) Memastikan registrasi dan pemilih perempuan misalnya membolehkan pemungutan suara lewat post, dan menghapuskan semua halangan, termasuk kepastian akses pada semua tempat pemungutan suara, 5) Mengadopsi kebijakan zero tolerance terhaadp semua bentuk kekerasan terhadap perempuan yang mengurangi tingkat partisipasi perempuan, termasuk mentargetkkan kekrasan oleh negara dan non negara 

g) Akses pada Keadilan; Setelah konflik berakhir, masyarakat dihadapkan pada persoalan kompleks tentang masa lalu, yang memastikan pertanggungjawaban pelanggar HAM, dan mengakhiri impunity, perbaikan rule of law, menyampaikan semua kebutuhan penyintas termasuk pendampingan. Komite CEDAW merekomendasikan untuk; 1) Memastikan pendekatan komprehensif terhadap mekanisme keadilan transisi yang melibatkan mekanisme judisial dan non judisial, termasuk komisi kebenaran dan reparasi yang harus gender sensitive, 2) Memastikan substansi dari mekanisme keadilan transisi menggaransi akses keadilan bagi perempuan, dengan memberikan mandat pada kekerasan berbasis gender, dan menolah amnesti bagi pelaku kekerasan berbasis gender, dan memastikan pemenuhan rekomendasi yang dihasilkan oleh mekanisme keadilan transisi, 3) Memastikan dukungan rses rekonsialiasi yang tidak menghasilkan selimit amnesti untuk pelanggaran HAM, 4) memastikan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan dilarang dan diterbitkan kembali reformasi hukum, 5)Memastikan perempuan terlibat dalam desain, pelaksanaan dan monitoring melibatkan pengalaman konflik. 6)Adopsi mekanisme yang sesuai untuk memfasiltiasi dan mendorong kolaborasi perempuan dalam meknisme keadilan transisi termasuk memastikan proteksi indentitas, 7) Menyediakan penyembuhan yang efektif dan tepat waktu untuk merespon segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, memastikan reparasi komprehensif, 7) adopsi prosedur sensitif gender, untuk menghindari viktimiisasi dan sitgmatisasi, 8) Melawan impunity untuk pelanggaran HAM Perempuan dan memastikan semua pelanggaran HAM perempuan diinvestiigasi, diadili dan dihukum pelakunya, 9) Meningkatkan akuntabilitas kriminal, termasuk mengusulkan dibentuknya pengadilan tersebdiri terkait dengan kekerasan terhadap perempuan, menyediakan pengadilan keliling di camp pengungsi dan hunian baru, termasuk perlindungan saksi, 10) Terlibat langsung dalam mekanisme peradilan informasl dan mendorong reformasi, dan memastikan standard HAM dan kesetaraan gender, dan memastikan perempuan tidak didisrkiminasi. 

GR 30 Melegalkan NAP 1325

Status legally binding dari GR 30 CEDAW ini membawa konsekuensi pada negara yang ratifikasi CEDAW untuk memonitor dan melaporkan segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan di wilayah konflik.  Olehkarenanya mendorong negara dalam untuk implementasi GR 30 di tingkat nasional, paralel dengan memberikan legitimasi yang kuat tentang perlunya negara melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB 1325 di tingkat nasional. Mengapa demikian? 

Pertama, bahwa negara diwajibkan untuk membuat laporan monitoring terhadap pelaksanaan GR 30, dengan melakukan reformasi pada data base, kebijakan, dan program pencegahan konflik. Negara juga diwajibkan untuk melaporkan semua kegiatan yang dijalankan oleh organisasi dan koalisi terkait dengan perempuan, pencegahan konflik dan situasi pasca konflik. 

Kedua, negara juga diharapkan memberikan informasi terkait dengan implementasi resolusi dewan keamanan PBB tentang perempuan, perdamaian dan keamanan, khususnya resolusi 1325 (2000), 1820 (2008), 1888 (2009), 1889 (2009), 1960 (2010), 2106 (2013) dan 2122 (2013), termasuk laporan pelaksanaan resolusi. Artinya negara harus membuat kerangka nasional implementasi dari resolusi DK tersebut.

Ketiga, Komite CEDAW akan mengundang agensi khusus untuk menyampaikan laporan tentang pelaksanaan konvensi terkait pencegahan konflik, kondisi pada saat konflik dan pasca konflik, seperti yang dituliskan pada pasal 22. 

Keberadaan GR 30 tentu sangat penting dalam hal menjadikan semua intervensi terkait dengan perempuan, perdamaian dan keamanan mendapatkan payung hukum yang tegas. Dan tentu saja ini tidak overlapping dengan keberadaan RAN Perlindungan dan pemberdayaan Perempuan dan Anak di wilayah konflik (RAN P3AKS), dimana meskipun secara acuan hukum tidak langsung mengarah pada Resolusi 1325, melainkan UU Penganganan Konflik Sosial No. 7 tahun 2012. Kontekstualisasi resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB dalam bentuk RAN P3AKS di Indonesia, sudah seharusnya mendapatkan dukungan yang luas, termasuk tentu kementerian luar negeri yang masih menyisakan kepercayaan bahwa indonesia bukan negara konflik. Dengan GR 30, tampaknya persepsi dan cara pandang tentang konflik dan perempuan sendiri segera harus direformasi, dengan menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif karena karakter konflik di dunia tidak single. 

Tentu saja tantangan yang dihadapi kedepan adalah akankah pemerintah Indonesia melakukan revisi terhadap keberadaan RAN P3AKS setelah GR 30 CEDAW ditetapkan oleh Komite CEDAW yang keberadaanya tidak bisa dipisahkan dari Resolusi PBB terkait dengan perempuan, perdamaian dan keamanan. Mungkin nanti RAN P3AKS akan berubah menjadi RAN 1325 Plus karena ada elemen hukum internasional lainnya yang dijadikan landasan hukum yang bisa memotret perempuan, perdamaian dan keamanan lebih komprehensif. Semoga. *** 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar