Minggu, 06 April 2014

Learning Youth's World: Reflection of Development in Singapore

"Kalau teman saya bisa membeli tas bermerek, saya juga bisa,". Sepenggal cuplikan obrolan saya dengan salah satu aktifis muda di Singapore, Ashley Chen, yang mendedikasikan dirinya untuk mengubah cara berpikir pemuda di Singapore. Dia sendiri bukan orang Singapore, tapi empati dengan dampak pembangunan yang hanya berorientasi pada fisik semata. Kami bertemu dua bulan lalu di Training Center AMAN di Bangkok, dimana dia adalah salah satu peserta kursus Peace Studies tahunan yang membawa anak-anak muda berlatar belakang inter faiths untuk belajar tentang perdamaian.

Tiga jam bercerita dengan Ashley ditemani dengan secangkir cappuccino sambil menikmati keramaian Jalan Orchard yang kesohor di Singapore, membuat malam saya di Singapore menjadi lebih panjang. Ketika banyak orang berharap maju seperti Singapore, gadis belia ini melihat perkembangan itu tidak sejalan dengan perkembangan peradaban manusia yang seharusnya menjadi semakin "manusiawi". Artinya tingginya teknologi yang serba memudahkan bukan malah memperkuat sisi kemanusiaan manusia tapi justru menyeret manusia pada sebuah dunia dengan komuniasi tatap muka yang sepi. Orang lebih suka melakukan komunikasi dunia maya, dibandingkan dengan komunikasi tatap muka. Di sepanjang jalan, orang sibuk chatting dengan temannya tapi tidak bertegur sapa dengan orang terdekatnya. Bukan saja itu, perkembangan pembangunan di Singapore, bukan saja menjadi magnet para turis, investor dan pekerja dalam level yang berbeda. Bertaburannya produk-produk berkelas di sepanjang jalan Orchard, mengindikasikan life style warga Singapore, atau pendatang ke Singapore. 

Ashely memberikan perspektif yang menarik tentang bagaimana kehidupan di Singapore telah membentuk mental "tidak kritis" pada generasi muda, tetapi juga mengubah orientasi hidup anak-anak muda di Singapore. Terbukti jumlah anak-anak muda yang memilih dengan sengaja hidup single semakin meningkat, meskipun Pemerintah Singapore memberikan subsidi pada setiap kelahiran anak, dengan 6000 Dollar Singapore setiap kelahiran satu anak. Sementara hidup sederhana saja untuk single di Singapore itu 1000 Dollar. Mental "market-driven" juga berkembang di kalangan anak muda dimana "Modern life style" yang berorientasi pada simbo-simbol kapitalisme. 

"Apakah kekuatan anak-anak muda di Singapore". Ashley tercenung beberapa saat untuk menjwab pertanyaan saya, karena dia sendiri tidak pernah membayangkan kekuatan apa yang harus diubah dari situasi yang hampir menyeret pada sebuah klaim kebenaran akan apa yang disebut "kebenaran akan model pembangunan". Spontan kemudian dia menjawab "sangat patuh aturan". Ha ha ha..kami berdua tertawa karena memang bukan pertanyaan yang gampang atau pertanyaan yang bodoh untuk ditanyakan. Anak muda di Singapore juga tidak banyak terekspose dengan apa yang terjadi pada komunitas miskin. Hubungan dengna orang tua juga banyak tereduksi karena kejar tayang kebutuhan hidup. Kerja, kerja, dan kerja, sangat tipically orang Singapore. Saya juga jadi heran, lantas siapa yang selalu nongkrong di kafe-kafe? mungakin turis. Orang lokal mungkin banyak menghabiskan waktu untuk belanja dan memenuhi toko yang memberikan discount terbaik, seperti yang saya perhatikan malam ini di mall sepanjang jalan saya menuju ke Lucky Plaza.  

Saya jadi ingat pada sebuah pesan yang saya terima dari kelas kursus kepemimpinan dimana saya mengikuti program Asia DEvelopment FEllow, sebuah program penempaan pemimpin muda di Asia. Saya cuplikan sebagai berikut:

"The Task of leadership is to create an alignment of strengths...making a system's weakness irrelevant". 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar