Pagi ini, tiba-tiba terbersit sebuah nama Netaria, satu-satunya gadis yang bergabung dalam Sekolah Perempuan Perdamaian (SP) di Poso periode pertama. Dengan berharap agar nomer Neta masih berfungsi, aku langsung menelpon dia. Kudengar senandung lagu dangdut dari ujung telpon sebelum kemudian suara ceria itu menyapaku "Hai Mbak.....aku senang....", begitu dia mulai berceloteh tentang pekerjaan dia pasca lulus dari SP, sebuah media belajar yang diperkenalkan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia pada tahun 2008, yang berbeda dari wadah belajar lainnya. Neta, salah satu lulusan terbaik SP yang pernah dimiliki, diantara lulusan terbaik lainnya.
Artikel ini saya tulis langsung setelah saya mendengarkan banyak cerita kemajuan Neta dibidang pemberdayaan, yang saat ini tentu saja saya banyak belajar dari dia. Saat diterima di program Rural Empowerment Agriculture Development (READ) sebuah program pemberdayaan masyarakat petani yang digawangi oleh Equator dengan kerjasama dengan pemerintah lokal. Dengan berbekal pengetahuan dan skill dari SP terkait dengan hak-hak perempuan, hak-hak perdata, Perdamaian, Resolusi Konflik, dan Analisis GEnder, Neta dan Rin memberanikan diri untuk melamar sebuah posisi sebagai fasilitator lapangan. Keduanya diterima dan melakukan pendampingan dan pengorganisasian petani di wilayah yang berbeda. Rin, berhasil menyelesaikan pekerjaannya dan tidak memperpanjang kontrak dengan READ setelah sebuah tawaran menjadi Pegawai Negeri di kelurahan diterimanya.
Neta memilih jalan berbeda. Setelah mendampingi 200 petani di desa Kancu Kecamatan Pamona Tenggara, kini dia dipindahkan ke desa yang lebih terpencil di desa Kayura untuk memperkuat kelompok tani. Bergelut setiap hari dengan persoalan yang dihadapi oleh petani, mengasah kapasitas Neta untuk memberikan asistensi yang mendalam pada masyarakat dan membantu penyelesaian persoalan pertanian dengan menghubungkan dengan Dinas Pertanian terdekat. Neta juga melakukan pendampingan khusus untuk perempuan petani agar hak-hak mereka diakui dan ditempatkan pada tempat yang layak. Meskipun tidak mengcopy 100% model SP yang dikembangkan AMAN Indonesia, Neta berhasil membumikan nilai perdamaian dalam bentuk konkrit pembangunan yaitu menjawab persoalan petani di wilayah yang pernah merasakan konflik sosial. Bukan hanya itu cerita dia sebagai pendamping lapangan sudah pula didengungkan di forum Internasional di Itali, dimana program ini bersumber. World Bank memilihnya dari 30 cerita pendamping lapangan yang sengaja dikumpulkan dalam rangka melihat bagaimana proses pendampingan program berjalan.
Setelah mendengar cerita Neta, saya semakin yakin bahwa upaya pendidikan intensif pada perempuan dengan pembekalan nilai-nilai perdamaian dan skill pengorganisasian dapat membuat program lebih berkelanjutan. Perubahan tidak bisa dilakukan dengan sekali training. Perubahan bisa didapatkan ketika nilai-nilai perdamaian itu menjadi ruh dari kehidupan seseorang dan skill mobilisasi dan pengorganisasian dilakukan. Saya masih inget sekali ketika training CO oleh WArdah Hafids untuk para ibu-ibu yang terseleksi, diantaranya adalah Neta, memberikan bekal yang luar biasa buat dia untuk melakukan pengorganisasian. Neta begitu cepat menyerap apa yang ditularkan oleh mbak WArdah, dan menggunakan peluang itu untuk memperbaiki kehidupannya.
Neta bukan sendiri, Shinta, Rin, Harmin, Ciptaning, Rohima, Uni Dewi, Fitri dan sederet perempuan-perempuan pemimpin baru bertumbuh di Jakarta, Bogor dan Poso. Mereka adalah hasil konkrit kerja-kerja pemberdayaan AMAN Indonesia dalam konteks perdamaian. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar