Minggu, 02 November 2025

Defending Democracy, Mobilizing Movements, and New Frontiers for Citizen Action


Bangkok, 2 November 2025 

Demokrasi memang sedang lesuh. Tetapi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Gen Z muncul di mana-mana. Mereka marah. Masa depan mereka dikaburkan dengan praktik politik oligarki yang membawa korupsi di berbagai lapisan. Gaya hidup para pejabat yang berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat akar rumput. Di sejumlah negara, semua struktur demokrasi dijalankan dengan sangat baik, dimana pemilu digelar secara rutin, rakyat memilih, dan institusi demokrasi bekerja seperti biasa. Tapi mengapa korupsi terus berjalan. Kekerasan berbasis gender dan seksual terjadi di berbagai aspek. Konflik terus bermunculan karena ruang aspirasi rakyat disekuritisasi dan dianggap ancaman. Mengapa seolah prosedur demokrasi dijalankan, tetapi ketimpangan dan ketidakadilan masih berlaku. 

Demokrasi Kita Ada Dimana?

Sekretaris Jenderal ADN, Ichal Supriyadi, membuka pertemuan dengan peluncuran Democracy Outlook Report 2025yang memotret kondisi demokrasi di Asia. Ia menyoroti penyusutan ruang sipil di hampir seluruh kawasan, di mana banyak pemerintah justru menggunakan hukum untuk melindungi kepentingan elite. Tantangan transnasional seperti ekspansi pengaruh otoritarian, kendali atas platform digital, dan lemahnya literasi politik menjadi ancaman serius bagi masyarakat sipil. Ichal menegaskan pentingnya memperkuat media, pendidikan publik, serta kepercayaan antarwarga dan sekutu. “Generasi Z bukan sekadar penerus, mereka adalah inovator yang menjaga agar gerakan ini tetap hidup,” ujarnya.

Seiring dengan Pidato Ichal, Gina Romero, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi, menegaskan bahwa tahun 2025 menjadi salah satu periode paling berat bagi pejuang hak asasi manusia. Namun, ia juga melihat kekuatan luar biasa masyarakat sipil yang tidak mundur di tengah krisis. “Ketika sektor-sektor sipil diserang, mereka tidak bersembunyi — mereka justru bersatu dan terus bekerja,” katanya. Gina menekankan pentingnya jejaring solidaritas global, dari akar rumput hingga lembaga internasional, untuk melawan arus securitization, krisis ekonomi, dan narasi kebencian yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Ia menutup dengan seruan moral: kebebasan berekspresi, beragama, dan berserikat adalah hak dasar manusia yang tidak boleh dicabut.

Sementara itu, Parit Wacharaindhu, anggota Parlemen Thailand, memberikan refleksi tajam tentang demokrasi di negaranya yang telah mengalami 13 kudeta militer dalam sembilan tahun. Ia menyebut tiga medan utama perjuangan demokrasi: di institusi politik, di ruang informasi, dan di ranah ide. Parit menyoroti tantangan disinformasi yang didukung oleh militer dan penggunaan teknologi untuk menyerang aktivis. “Pertarungan kita adalah memenangkan hati dan pikiran publik,” ujarnya. Meski banyak kemunduran, ia menegaskan, “Jawabannya selalu demokrasi.” Seruan ini menutup sesi pembukaan ADN 2025 dengan semangat yang menggugah: untuk tetap percaya bahwa daya tahan masyarakat sipil, lintas generasi dan lintas negara, adalah benteng terakhir demokrasi di Asia.

Demokrasi Asia di Persimpangan: Antara Performa dan Perlawanan

Sesi Pleno pertama Asia Democracy Assembly 2025 dibuka oleh Beena, yang menegaskan bahwa demokrasi sering kali disempitkan hanya pada proses pemilu. Dalam konteks negara besar seperti India, katanya, sulit memastikan setiap warga benar-benar memilih pemimpin yang mewakili aspirasi mereka. Namun, di tengah krisis kejahatan dan korupsi politik, generasi muda—khususnya Generasi Z—tampil sebagai kekuatan baru yang tak sekadar “mengucap salam,” tapi berani menumbangkan pemerintahan yang gagal mendengar rakyatnya.

Dr. Maiko Ichiai kemudian memaparkan tiga perubahan besar yang saling memperkuat kemunduran demokrasi di Asia: pergeseran kekuatan global antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memicu militerisasi dan politik keamanan (securitization); perubahan norma politik yang memperkuat konservatisme dan identitas tradisional; serta kemajuan teknologi yang menggerus kepercayaan sosial dan memperlemah hak asasi manusia. Ia menyoroti bahwa banyak pemerintah kini menggunakan hukum untuk melayani kepentingan elite dan menjustifikasi represi, sementara perusahaan besar di bidang teknologi berperan dalam mengendalikan data dan opini publik. Maiko menyerukan pentingnya memperkuat media independen, pendidikan publik, serta kepercayaan sosial sebagai modal utama mempertahankan demokrasi di kawasan.

Sementara itu, Karel Jiasa Antonio dari ADN menggambarkan era saat ini sebagai masa “demokrasi performatif”—demokrasi yang secara formal tetap berjalan, tetapi sesungguhnya hanya menampilkan ilusi partisipasi. Ia menyinggung elit capture, oligarki, dan co-optation dalam tubuh organisasi masyarakat sipil sendiri, yang tanpa sadar memperkuat status quo. William Gois, Regional Coordinator, Migrant Forum in Asia, menambahkan refleksi kritis: ruang sipil terus menyempit, sementara masyarakat sipil sering terjebak dalam rutinitas birokratis tanpa keberanian moral untuk berpihak pada kelompok tertindas, termasuk migran, perempuan, dan pekerja informal. “Pertanyaan sesungguhnya,” ujarnya, “adalah apakah kita masih berdiri di sisi yang tertindas?” Di tengah pesimisme ini, para pembicara sepakat bahwa energi dan inovasi Generasi Z, ditopang oleh solidaritas lintas sektor dan lintas negara, adalah kunci untuk mengembalikan makna sejati demokrasi di Asia.

Perlawanan Tanpa Batas: Suara dari Pengasingan

Sesi Pleno kedua Asia Democracy Assembly 2025 menghadirkan kisah-kisah menegangkan dari para pembela demokrasi dan hak asasi manusia yang hidup dalam pengasingan. Noor Azizah, Co-Executive Director Rohingya Maìyafuìnor Collaborative Network, membuka dengan kesaksian tentang genosida Rohingya yang berlangsung sejak 1942. Ia menggambarkan bagaimana ujaran kebencian digunakan sebagai taktik militer untuk menghapus identitas sebuah bangsa. “Kami disebut bukan bagian dari Myanmar, gelap seperti binatang, tak pantas hidup di tanah kami sendiri,” ujarnya. Kini, dari lebih tiga juta warga Rohingya, hanya satu persen yang hidup dengan identitas utuh, sementara sisanya terjebak di kamp pengungsian atau penjara terbuka. Noor menegaskan bahwa pengakuan genosida saja tidak cukup tanpa solidaritas nyata: “Dunia telah mengakui, tetapi tubuh kami tetap hidup di bawah tenda tanpa atap.”

Dari India, Atifa Amiry, pendiri The Amiri Foundation, berbicara melalui video. Baginya, perlawanan bagi perempuan Afghanistan bukan pilihan, melainkan syarat untuk bertahan hidup. “Mereka bisa mengusir tubuh kami dari tanah air, tetapi tidak bisa mengusir ketahanan kami,” katanya lantang. Dari komunitas Tibet, Phurbu Dolma menuturkan kisah generasi yang terus melarikan diri dari pendudukan Tiongkok dan membangun pemerintahan dalam pengasingan. Sementara Dr. Amani Odeh dari Palestina menggambarkan reruntuhan rumahnya dan suara anak perempuannya yang terperangkap di bawah tembok yang runtuh. “Pendudukan bisa menguasai tanah kami, tapi tidak bisa menjajah ingatan kami,” ucapnya lirih. Bagi mereka, perlawanan bukan hanya tentang kemerdekaan, tapi tentang menjaga martabat manusia.

Sesi ini ditutup dengan kesaksian Tashken Davlet, aktivis hak asasi Uyghur, dan Alric Lee, Direktur Lady Liberty Hong Kong. Keduanya menggambarkan represi yang melintasi batas negara: kamp konsentrasi di Xinjiang, penahanan sewenang-wenang terhadap keluarga aktivis, dan pengasingan yang memisahkan generasi. “Ketakutan adalah senjata paling efektif untuk membungkam yang tertindas,” kata Tashken. Sementara Alric menambahkan dengan nada tenang, “Kami mungkin kehilangan kota kami, tapi tidak kesadaran kami.” Dari Rohingya hingga Hong Kong, dari Kabul hingga Ramallah, satu pesan menggema di ruangan itu: perlawanan sejati tidak memiliki batas negara — karena ia lahir dari cinta pada kemanusiaan.

Digital Resistance: Reclaiming Narratives and Power in the Online Age

Pleno terakhir Asia Democracy Assembly 2025, yang dimoderatori oleh Muda Tariq dari Forum Asia, membahas bagaimana aktivisme digital dan perlawanan kreatif sedang membentuk ulang wajah demokrasi di Asia. Para pembicara berbagi strategi beragam untuk melawan represi, disinformasi, dan pengawasan di dunia digital yang semakin dikendalikan atas nama keamanan.

Chia-Shou Tang, Manajer Riset dari Open Culture Foundation, menjelaskan meningkatnya serangan siber yang disponsori negara—mulai dari email phishing, peretasan malware, hingga peniruan organisasi masyarakat sipil yang menargetkan aktivis, akademisi, dan legislator. Sebagai bentuk perlawanan, ia menekankan pentingnya membangun literasi keamanan digital di tingkat akar rumput melalui Security Makeover Program (SMP) yang melatih aktivis, memetakan risiko, dan menyusun kebijakan keamanan bersama. “Langkah pertama dalam keamanan,” katanya, “adalah mengenali mata rantai terlemah kita—dan memperbaikinya bersama.”


Dari Indonesia, Razi Thalib, pendiri Weapons of Mass Discussion, merefleksikan bagaimana represi justru bisa berbalik arah. Ia menegaskan bahwa ukuran keberhasilan kampanye digital bukan pada jumlah likes atau followers, tetapi pada seberapa besar risiko yang berani dihadapi. “Kamu tahu perubahan sedang terjadi,” ujarnya, “ketika kamu mulai diserang.” Dari Nepal, Bridhika Senchury, salah satu pendiri Dalit Lives Matter Global Alliance, berbagi tentang diskriminasi kasta yang beririsan dengan keadilan iklim dan aktivisme digital. Saat media sosial diblokir, para aktivis menciptakan jaringan perlawanan tanpa pemimpin—gerakan yang lentur dan serentak, sulit dikendalikan oleh struktur kekuasaan negara.


Akhirnya, Leni Velasco, Sekretaris Jenderal DAKILA Artist-Activist Collective (Filipina), berbicara tentang merebut kembali narasi melalui seni. “Rezim otoriter menang dengan menguasai cerita,” katanya. “Kita melawan dengan memanusiakan kembali cerita itu.” DAKILA menggunakan film, museum digital, dan festival hak asasi manusia untuk membuat kebebasan terasa pribadi dan nyata, mengubah ketakutan menjadi kekuatan kreatif. Seperti yang ia simpulkan, “Mereka yang tak berdaya masih memiliki senjata paling kuat—cerita. Karena saat kita membangun para pencerita, kita sedang membangun demokrasi.”


Penutupan 

“Saya tidak setuju dengan Willian yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mendengarkan masyarakat sipil? Begitu Debby Stothad, Esecutive Director, ALTSENA-Burma, memulai pidato refleksinya. Ini karena keterlibatna Debby di sejumlah pertemuan closed door dengan sejumlah pemerintah di ASEAN, juga sejumlah pelaku ekonomi di global, yang mereka gerah dengan gerakan masyarakat sipil yang terus mengumandangkan pentingnya prinsip HAM dijalankan. Meskipun sebagian melakukan playing victim, tetapi suara-suara protes masyarakat diakui membuat pemerintah harus memutar otak agar mereka ada di posisi tengah antara kepentingan rakyat dengan kepentingan korporate. 


Sebelumnya, Dr. Chelsea Chia-chen Chou, Director for International Cooperation, Taiwan Foundation for Democracy, juga memberikan penekanan pentingnya menemani kehadiran Gen Z, sebagai generasi baru dalam gerakan. Mereka membutuhkan pengetahuan dan kebijaksanaan dari para pendahulu, untuk membuat gerakan-gerakan mereka lebih memiliki kepekaan pada HAM, dan memiliki skill membaca intervensi pihak-pihak lain yang berpotensi menyulut kekerasan pada aksi organik rakyat.  


Membungkus hari kedua, Chair Women ADN, Ruby Kholifah, merefleksikan Asia Democracy Assembly 2025 sebagai bukti bahwa demokrasi bukan janji yang selesai, melainkan perjuangan yang terus hidup—rapuh, tetapi selalu dibangun kembali melalui keberanian, kreativitas, dan kepedulian. Ia menyinggung perjalanan empat pleno yang membuka wajah demokrasi Asia hari ini: penyempitan ruang sipil dan praktik securitization terhadap kritik, suara-suara pengasingan yang menolak dilupakan, hubungan kuasa antara bisnis, politik, dan disinformasi, hingga seni dan inovasi digital yang menjadi senjata harapan. Ruby menegaskan bahwa demokrasi tidak dijaga oleh institusi besar, tetapi oleh manusia biasa—perempuan, guru, anak muda—yang merawat kebenaran dan solidaritas. Ia menutup dengan optimisme, dimana perubahan itu nyata. Ia mencontohkan kisahnya sendiri tentang Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), di mana perempuan merebut hak menafsirkan agama dan menjadikan pengalaman hidup sebagai dasar tafsir kemanusiaan. Pesan akhirnya sederhana namun kuat: membela demokrasi dimulai dari keberanian untuk peduli, terhubung, dan bertindak bersama.


*** 


Sabtu, 01 November 2025

Security for whom? Rethinking Securitization and Militerism Thorugh the WPS Lens in Indonesia



Bangkok, 1 November 2025 

Kemarin, saya berbagi analisis tentang bagaimana wajah “securitization and militerism” di Indonesia dari kaca mata Women, Peace and Security. Mungkin ini pertama kali saya presentasi dengan menggabungkan framework Security Playbook dan Women, Peace and Security, untuk menganalisis pola negara melakukan securitization dan militerism di berbagai aspek. Secara sederhana securitization itu dipahami sebagai tindakan menjadikan suatu hal dianggap sebagai ancaman keamanan. Misalnya warga protes pembangunan waduk dianggap mengancam negara, sehingga kemudian polisi dan TNI diturunkan. Atau sekelompok perempuan adat menyuarakan bahwa tanah-tanah adat merekat diambil oknum negara, dicap subversib dan melawan negara, sehingga mereka ditangkap. Yang paling terlihat adalah Proyek Strategis Nasional foodestate sangat jelas persoalan membangun ekosistem agriculture dan penguatan petani, tetapi negara menframe foodestate sebagai projek keamanan, sehingga personel keamanan yang turun menjalankan projek, bukan petani-petani kita. 

Sementara militerisme bisa dimaknai sebagai cara berpikir dan sistem yang menempatkan kekuatan militer, kekerasan, dan ketaatan hierarkis sebagai solusi utama untuk menyelesaikan masalah. Kalau kita masih ingat protes tentang revisi UU TNI beberapa waktu lalu, itu bagian dari tindakan sistemik yang memberikan ruang besar TNI ke dalam berbagai program sipil. Termasuk peningkatan anggaran keamanan yang tinggi, juga bagian cara berpikir negara yang masih menggunakan pendekatan keamanan tradisional. Aspek penting lain dari securitization and militerism itu adalah narasi negara. Beberapa kali presiden menyampaikan kepublik bahwa protes Agustus 2025 sebagai bagian dari makar dan terrorisme masyarakat. Dampaknya ada penangkapan sejumlah banyak orang, termasuk tiga perempuan berinisial F, L dan G, yang mereka menyuarakan kegelisahan mereka di media sosial karena krisis politik dan ekonomi yang berdampak pada kesulitan di masyarakat. Sebelumnya, presiden juga mengeluarkan narasi bahwa LSM didanai oleh asing, dan berpotensi memecah belah bangsa. Narasi-narasi yang sengaja dikeluarkan oleh negara ini merupakan bentuk pendekatan klasik securitization dan militerism di kontek praktik politik, dengan tujuan meframing isu sosial dan politik menjadi ancaman eksistensial kepada negara, untuk mendapatkan jastifikasi berbagai aksi seperti pemantauan, penangkapan, atau menurunkan pasukan untuk menjaga stabilitas negara. 

Hadirnya Resolusi 1325 untuk melawan cara pandang dan praktik keamanan dan perdamaian yang dinilai “securitized dan maskulin”. WPS menantang institusi multilateral seperti PBB untuk mengkoreksi pendekatan peacekeeping agar lebih humanis dengan mendekatkan diri pada aktor-aktor non tradisional keamanan seperti organisasi perempuan, karena mreka selalu menjadi first responder di komunitas. Mereka dekat dengan korban kekerasan berbasis gender. WPS juga menyuarakan denormalisasi kekerasan berbasis gender dan seksual di wilayah konflik, dan menuntut penyelesaian kasus ini dan memberikan pemulihan jangka panjang dan komprehensif pada korban. WPS percaya bahwa partisipasi perempuan akan membuat proses dan hasil perjanjian damai berbeda. Kehadiran perempuan akan mendekatkan rumusan-rumusan solusi dengan kebutuhan di lapangan. Bukan hanya perempuan, tapi juga kelompok rentan lainnya. Ini yang saya sebut de-tokenism , dimana perempuan tidak hanya dihadirkan, tetapi didengarkan aspirasinya dan dijalankan. WPS juga mendorongkan dukungan kuat pada lembaga-lembaga perempuan di akar rumput, karena mereka yang cepat melakukan respon ketika masyarakat mengalami krisis.

Meskipun situasi demokrasi sedang tidak baik-baik saja di tingkat nasional. Tetapi di tingkat lokal,masih ada celah dimana idealisme membangun kekuatan masyarakat, mendapatkan tempat. Saya ingin mengajak kita semua optimis bahwa rakyat punya ruang luas untuk perubahan. Saya memaparkan bagaimana intervensi AMAN Indonesia dan Libu Perempuan merespon kejadian terorisme di Lembatongoa, Sigi pada tahun 2020. Ditengah negara melancarkan aksi keamanan, dimana penduduk lokal dilarang bekerja di kebun, karena dianggap tidak aman. Lalu sejumlah keluarga dipindahkan ke dusun lain, dengan alasan keamanan. Tetapi kenyataannya mereka lebih sulit mendapatkan sumber kehidupan mereka. Mereka harus berjalan berkilo-kilo untuk mendapatkan uang 50.000 rupiah untuk makan. Sementara di kehidupan mereka sebelumnya mereka bisa mendaptkan makanan di kebun. Satuan keamanan juga menyediakan rumah baru untuk para korban, tetapi tidak dilengkapi sanitasi dan sumber air masih harus diambil sangat jauh. Menimbulkan beban baru. Berbasis pada hasil pantauan yang kami tuliskan dibuku “Ekstremisme, Daur Kekerasan, dan Komplesitas Penangannya”, AMAN melakukan sejumlah intervensi untuk memastikan korban mendapatkan dukungan negara dan masyarakat menjadi bagian dari pemulihan jangka panjang. Karena pendekatan yang tersentral pada korban, dan tidak melihat bahwa kemiskinan di masyarakat juga mendapatkan perhatian, secara perlahan, memunculkan kecemburuan sosial. Inilah yang menjadi mengapa korban dan keluarga kemudian dikucilkan dan tidak mendapatkan dukungan. 

Bagaimana membuka ruang demokrasi di lokal? Kami menggunakan pendekatan pendekatan Reflective Structured Dialogue, sebuah tool peacebuilding yang membantu semua orang yang berbeda bersuara dalam setting aman. RSD memiliki teknik “think, write, and speak” yang membuat setiap orang nyaman bicara. Mereka adalah korban, keluarga, masyarakat, tokoh-tokoh agama dan adat, pemuda, perempuan dilibatkan dalam serial dialog yang untuk menyampaikan perasaan dan pengalaman mereka, dan difasilitasi oleh fasilitator. Dalam serial diskusi dengan pihak-pihak inilah, kami menemukan akar masalah dari prilaku “cuek” dan tidak peduli warga. Hasil dialog dibicarakan dengan otoritas desa, kecamatan, dan kabupaten. Bersama dengan korban, sejumlah pertemuan dilakukan di berbagai level, untuk memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan, dan warga juga mendapatkan hak atas pembangunan dan perdamaian. Meskipun belum terpenuhi semua, tetapi pembangunan jalan, listrik masuk desa, sudah terlihat dilakukan oleh pemerintah lokal. Masyarakat mulai terbuka dan bersama-sama mendampingi pemulangan korban dan keluarganya di rumah asalnya, dan bersama membersihkan rumah-rumah yang pernah ditinggalkan atas nama keamanan. 

Dari konteks Indonesia ini, Tuan dari GCAP mengajak peserta untuk memahami Security Playbook, sebuah protokol negara dalam melakukan respon terhadap kondisi yang dianggap mengancam keamanan. Di sejumlah sharing yang terjadi, pola-pola securitisasi yang dilakukan negara hampir mirip yaitu: 1) mengubah UU atau aturan yang ada di sebuah negara, agar membuka peran-peran keamanan di ranah eksekutif, yudikatif, dan parlemen.  Kalau di Indonesia itu ada Revisi UU TNI. Di Filipina misalnya Darurat militer diterapkan di Marawi ketika ada penetrasi kelompok teroris dan membangun aliansi dengan jaringan “pemberontak” di lokal. Ada juga aturan melawan komunisme yang kemudian dipakai politisi untuk memberikan stigma pada sejumlah aktivis, sehingga melegitimasi penangkapan. 2) Negara mengalokasikan budget yang tinggi untuk kepentingan security. Di Pakistan, tentu security playbook mengadopsi dalam bentuk penuh, dimana negara sendiri mendeklarasikan sebagai “security state”, yang bisa dilihat dari tingginya budget militer. Ternyata di Swedia juga sama. Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand juga memiliki alokasi budget yang tinggi. 3) Narasi sebagai framing pada securitization dan militerism.  Di Indonesia narasi makar, terorisme, anti negara, antek asing, sering muncul dalam pidato presiden. Di Pakistan, negara menggunakan dua narasi yaitu anti agama atau anti negara, kepada aktivis yang fokal. 4) kriminalisasi pada aktivis. Di Malaysia banyak aktivis dan para jurnalis ditangkap karena dianggap melawan negara. Demonstrasi mendukung kemerdekaan Palestina dan keadilan iklim sering direspon sangat represif oleh negara, dan sejumlah aktivis juga ditangkap. 5) negara melakukan sensor media dan media sosial. Aturan diperketat dan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan sejumlah pihak. YLBHI melaporkan bahwa ada 3000 orang ditangkap paska demo besar Agustus 2025 di 20 kota. Sebagian melalui unggahan di sosial media. *** 


Sabtu, 09 Desember 2023

Shift The Power


Menuju Filantropi Komunitas. Saatnya masyarakat memimpin. Begitu pesan utama dari Global Summit 2023 Shift the Power yang diselenggarakan di Bogota, Kolombia pada tanggal 5-7 Desember 2023. Tujuh ratus peserta dari 160 negara dihadirkan dalam konferensi tiga hari yang bertujuan mendekolonialisasi bantuan pembangunan dan donor. Konsep dekolonilaisasi ini lahir dari sejumlah kenyataan bahwa dukungan pendanaan dari pihak internasional dan donor agensi, telah terbukti menciptakan ketergantungan kepada masyarakat, birokratisasi NGO, menumpulkan kekuatan akar rumput, dan mematikan gerakan masyarakat sipil. Ini tidak bisa dibiarkan. Shift the Power menawarkan konsep membangun dari, oleh dan untuk masyarakat. 

Shift the Power merupakan gerakan global yang mengkonsolidasikan berbagai aktor yang memiliki keyakinan yang sama bahwa komunitas memiliki kekuatan untuk membangun, bangkit dan pulih. Sayangnya, cara pandang kolonial yang dipakai sejumlah Agensi internasional dan donor, sebaliknya meletakkan komunitas sebagai obyek pembangunan bukan subyek aktif yang memiliki  pengetahuan dan pengalaman, serta sumber daya cukup untuk menjawab krisis kemanusiaan. 

Saya tidak menyesal menjadi bagian dari perhelatan besar dunia yang secara keras menggugat cara pandang kolonial di dalam bantuan kemanusiaan dan upaya pemulihan masyarakat. Konferensi diformat dengan sangat menarik dimana ruang-ruang interaksi dibuat informal, tanpa menghilangkan kedalaman subtansi, dan menekankan semua presentasi membawa pesan “masyarakat sebagai co-designer dan co-creator dari sebuah perubahan. 

Kehadiran berbagai aktor dari latar belakang CSO, lembaga filantropi komunitas, agensi donor, sektor swasta, lembaga grant making dan pemerintah, menjadikan ruang-ruang pertukaran perspektif sangat dinamis, santai, dan dewasa. Sejumlah tokoh pembuat perubahan ditampilkan sebagai pidato kunci yang mendobrak ekosistem pendanaan asing dan donor, geliat kemandirian masyarakat yang justru dibangun dari inner power (kekuatan dari dalam). 

Sesuai dengan judulnya Shift the Power, maka kemasan dari konferensi juga dibuat keluar dari pakemnya. Peserta diberikan sejumlah pilihan untuk melakukan refleksi melalui sesi-sesi “bucket” yang dikemas roundtable discussion sehingga setiap orang mendapatkan kesempatan. Sementara kemasan sesi panel dipilih pembicara yang telah betul-betul melakukan shift the power, sehingga bisa menginspirasi banyak pihak. Sesi paralel disebut Bucket, memiliki agenda penguatan transformasi individu aktor dan komunitas, seperti skill story telling, membuat ukuran emosi pada LFA, dekolonialisasi, community safety, climate change, dan self care berupa tarian salsa lokal. Di luar ruangan disediakan sejumlah booth yang menyediakan kopi asli gratis, Teh herbal dan sejumlah obat-obat tradisional. Ada korner jus sehat dari berbagai buah-buahan dan sayuran lokal, dan berbagai kursi-kursi unik dan nyaman jika peserta memilih tidak mengikuti sesi. 

Akar Pikir Kolonial yang Berbahaya

Soheir Asaad dari RAWA Creative Palestine bertanya secara kritis “mengapa persoalan krisis air, secara sederhana dijawab dengan mengirimkan air ke Palestina. Padahal, persoalan krisis air yang mendasar adalah penguasaan sumber daya. Ini yang tidak secara tuntas diselesaikan oleh kerja kemanusiaan internasional. Internasional tidak berusaha untuk membahas dan mencari solusi terkait dengan penjajahan yang dilakukan Israel bertahun-tahun. Bahkan sejumlah lembaga internasional butuh waktu panjang sampai pada keputusan bahwa persoalan di Gaza baru-baru ini, membutuhkan solusi genjatan senjata. Apa yang dilakukan dunia kepada Palestina, tidak menjawab akar masalah. Soheir merasa bantuan kemanusiaan justru “membunuh” rakyat Palestina karena tidak didesain menjawab akar masalah, dan menjadikan rakyat Palestina obyek pasif dari bantuan. 


Kesalahan pikir yang lainnya adalah tidak berdasarkan pada nasib rakyat.  Martha Ruiz, seorang jurnalis dan mantan Komisi Kebenaran Kolombia mempercayai bahwa truth (kebenaran), seharusnya bisa menjadi landasan untuk membangun perdamaian. Kebenaran yang dituturkan oleh para korban pelanggaran HAM, khususnya perempuan korban yang mengalami Sexual Gender based Violence, akan memandu kerja-kerja Transitional Justice, dimana negara bertanggungjawab pada pemulihan seutuhnya korban, menghentikan impunitas, dan reformasi kelembagaan. Sayangnya proses yang terjadi belum betul-betul membasiskan pada keselamatan masyarakat. Dominan kepentingan politik dan kekuasaan, sangat tercermin dalam babak baru Kolombia yang harus menghadapi fraksi-fraksi di sektor keamanan yang merasa tidak terwakili dalam perundingan damai. Sejumlah kriminalitas dan teror ketakutan, serta perampasan tanah-tanah suku tertentu masih terjadi,   adalah ekspresi ketidakpuasan.                                         

Di Srilanka, bantuan asing telah menimbulkan kekerasan struktur. Ambika Satkunanantan, dari Neelam Tiruchelvam Trust Srilanka menduga karena banyaknya pelunakan bahasa yang dipakai oleh agensi internasional, untuk tujuan acceptance (penerimaan). Misalnya bahasa social justice (keadilan sosial), dengan mudah digantikan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), yang sangat mungkin mengikis esensi dari keadilan sosial yang memiliki yang seharusnya memiliki aspek penguatan pilar demokrasi dan penegakan HAM. Termasuk kerja-kerja Filantropi, yang mengedepankan charity dan tidak membasis pada konsep demokrasi, secara perlahan telah membangun birokratisasi baru pada NGO, standarisasi akuntabilitas yang hanya berpihak pada kelompok besar, menyingkirkan kelompok kecil, dan yang paling parah mengikis kekuatan masyarakat sendiri. 

Shift the Power: Dekolonialisasi dan Demokratisasi Bantuan

Konferensi menyerukan untuk Shift the Power melalui dekolonialisasi dan demokratisasi bantuan. Yang saya bisa tangkap dari percakapan selama konferensi terkait dengan dekolonialisasi mengandung sejumlah hal sebagai berikut yaitu: 

Pertama, bantuan haruslah memberdayakan, bukan menciptakan ketergantungan. Saat ini kita menyaksikan dan mungkin terlibat dalam siklus ketergantungan yang diciptakan oleh aktor pembangunan internasional. Selain bantuan tidak selalu menyelesaikan akar masalah, saya menduga bahwa ada kepentingan merawat ketergantungan, karena penyaluran bantuan internasional, adalah cara balancing sistem keuangan negara maju untuk menjaga stabilitas. Pemberdayaan dan kemandirian mensyaratkan intervensi jangka panjang, karena yang sedang dijawab adalah akar masalah. Kini, kita dihadapkan pada projek-projek pendek, yang sering tidak menemukan konektivitasnya. Bahkan trend donor lebih mengarah pada pendanaan berbasis pada tema-tema, dan meninggalkan tugas utama masyarakat sipil yaitu menjaga civic space. Mereka disibukkan projek dan administrasi, memunggungi pendekatan komprehensif. Tahun 2010 Asociation of Women in Develpment (AWID) telah mengeluarkan laporan berjudul “Watering the Leaves, Starving the Roots”, membahas tentang trend donor yang cenderung mendukung projek individu organisasi, tapi membiarkan gerakan kolektif masyarakat sipil kekeringan kurang dukungan. Padahal gerakan kolektif inilah yang menjadi akar dari masyarakat sipil. 

Kedua, keluar dari ukuran akuntabilitas dan transparansi yang “normal”, dengan membawa indikator yang memungkinkan mewakili kontribusi komunitas, misalnya relasi, emosi, labor, dan lain-lain. Kontribusi masyarakat sering tidak dihitung menjadi bagian dari sukses program. Sejumlah lembaga sudah mulai menggagas pola-pola reporting yang lebih mengarah pada story telling perubahan di masyarakat. Atau pola satu laporan untuk berbagai donor di kalangan donor yang berlatar belakang sektor privat. Ada sejumlah geliat dekonstruksi yang ditawarkan kepada masyarakat sipil untuk keluar dari pikiran kolonial hubungannya dengan pendanaan pembangunan. 

Ketiga, dekonstruksi struktur kolonial yang membelenggu gerak leluasan komunitas, dan Kembali pada struktur masyarakat yang jauh lebih bisa memberikan keleluasaan dalam mendorongkan sebuah perubahan. 

Tampaknya gerakan ini sudah mengglobal, sehingga pada Global Summit 2023, saya menemukan banyak sekali praktik baik yang sudah dijalankan sejumlah pihak untuk melawan kolonialisasi pendanaan dengan demokratisasi yang lebih memberikan ruang secara setara kepada banyak pihak. Dalam demokratisasi ini, saya merapikan praktik-praktik baik dalam bentuk pointers. 

Pertama, menguatkan gerakan masyarakat sipil bukan memperkaya individu organisasi. Frustasi melihat perlakukan donor internasional yang tidak sensitif, dan menempatkan masyarakat sebagai penerima pasif. RAWA Creative Palestine mendekolonialisasi pola gerakan funding dengan mendirikan lembaga filantropi yang memiliki misi membantu gerakan sosial, bukan tematif. Mendorong agar komunitas melanjutkan berbagai gerakan resistensi, dan mengarah pada keberdayaan sendiri. Salah satu cara yang sedang disosialisasikan adalah Shift the power dengan memperkuat story telling, untuk mendorong masyarakat menginmajinasikan sebuah dunia baru, tetapi juga membangun story mereka di komunitas, sehingga bisa menemukan dukungan yang lebih kuat. 

Kedua, keluar dari trend topik, dan Kembali memperkuat ruang sipil agar lebih demokratis, sehigga bisa mendukung berbagai macam perkembangan isu. Ellas Filantropi, yang digagas di Brazil. Khusus memberikan penghargaan dan dukunga kepada gerakan perempuan, dengan latar belakang berbeda. Melihat bahwa 30% organisasi perempuan bekerja tanpa legalitas, bukan berarti mereka tidak sah melakukan sejumlah intervensi. Generoses Award diluncurkan untuk memberikan penghargaan gerakan perempuan yang telah terbukti turut mendorongkan perubahan. 

Ketiga, menciptakan narasi baru dengan membaca realitas lokal dari kacamata yang lebih fair, meletakkan masalah dan solusi sebagai dua sisi koin yang bersandingan. Marie Rose Ramain Murphuy dari Haiti, berhasil menciptakan narasi baru ketika Haiti, dipandang sebagia negara hopeless yang tidak mungkin bangkit dari keterpurukan karena kelemahan yang dimiliki masyarakat dan infrastruktur negara. Dengan dorongan kenyataan kemiskinan dan dampak disaster yang dihadapi oleh Haiti, dengan kemiskinan absolut, semakin tipisnya kepercayaan funding karena kasus korupsi, dan berbagai bentuk keterpurukan. Marie, Bangkat dengan keyakinan bahwa pentingnya mengakui dan melibatkan kekuatan masyarakat. Menjadi masyarakat sebagai founder, patners dan implementor dari projek, sehingga kepemilikan publik akan sangat kuat. Bersama the Haiti Community Foundation, mereka bergerak bersama-sama telah mengubah hidup 15,000 orang. 

Way Forwards: Akankah Filantropi Komunitas Membawa Kemandirian?

Filantropi Komunitas merupakan jawaban untuk melepaskan dari kolonialisasi pendanaan. Saya juga menyakini bahwa masyarakat memiliki kekuatan sendiri untuk keluar dari situasi krisis, dan pulih dengan menggunakan kearifan lokal dan sumber-sumber tidak mengikat serta kesukarelawanan yang mereka hidupi bertahun-tahun. Maka, sudah saatnya masyarakat dikembalikan kepada kekuatan genuine mereka. Mengapa konsep filantropi komunitas menjadi alternatif Shift the Power kita? 

Pertama, filantropi komunitas mengandung makna bahwa setiap anggota masyarakat memiliki potensi untuk berbagi sumber daya baik berupa pikiran, uang, rasa kemanusiaan, atau berbagai barang. Seseorang yang memiliki kelebihan maka seharusnya memiliki tanggungjawab yang lebih. Kesadaran akan posisi masing-masing, kemudian mengambil tanggungjawab sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, mendukung berkembangnya Filantropi Komunitas.

Kedua, memulai dengan connecting the dots. There is nothing new under the sun. Ungkapan ini mengingatkan kita selalu bahwa ada orang lain pendahulu kita, atau ada banyak orang yang melakukan sejumlah hal mirip dengan kita. Maka tugas kita adalah menemukan “dots” atau orang-orang ini yang memiliki visi yang sama. Dalam kerja-kerja The Haiti Community Foundation, mereka melibatkan diaspora Haiti di luar negeri untuk mendukung pembentukan dan berjalannya foundation. 

Indonesia bagaimana? Kita telah memulai ini dengan berbagai macam pendekatan. Di berbagai wilayah, masyarakat telah melakukan sebuah perubahan dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri. Munculnya berbagai bentuk filantropi sebauh pertanda bahwa kekuatan finansial dalam negeri menjanjikan. Jika memang memungkinkan, kenapa harus tergantung kepada pendanaan asing yang tidak konstruktif. ***