Sabtu, 09 Desember 2023

Shift The Power


Menuju Filantropi Komunitas. Saatnya masyarakat memimpin. Begitu pesan utama dari Global Summit 2023 Shift the Power yang diselenggarakan di Bogota, Kolombia pada tanggal 5-7 Desember 2023. Tujuh ratus peserta dari 160 negara dihadirkan dalam konferensi tiga hari yang bertujuan mendekolonialisasi bantuan pembangunan dan donor. Konsep dekolonilaisasi ini lahir dari sejumlah kenyataan bahwa dukungan pendanaan dari pihak internasional dan donor agensi, telah terbukti menciptakan ketergantungan kepada masyarakat, birokratisasi NGO, menumpulkan kekuatan akar rumput, dan mematikan gerakan masyarakat sipil. Ini tidak bisa dibiarkan. Shift the Power menawarkan konsep membangun dari, oleh dan untuk masyarakat. 

Shift the Power merupakan gerakan global yang mengkonsolidasikan berbagai aktor yang memiliki keyakinan yang sama bahwa komunitas memiliki kekuatan untuk membangun, bangkit dan pulih. Sayangnya, cara pandang kolonial yang dipakai sejumlah Agensi internasional dan donor, sebaliknya meletakkan komunitas sebagai obyek pembangunan bukan subyek aktif yang memiliki  pengetahuan dan pengalaman, serta sumber daya cukup untuk menjawab krisis kemanusiaan. 

Saya tidak menyesal menjadi bagian dari perhelatan besar dunia yang secara keras menggugat cara pandang kolonial di dalam bantuan kemanusiaan dan upaya pemulihan masyarakat. Konferensi diformat dengan sangat menarik dimana ruang-ruang interaksi dibuat informal, tanpa menghilangkan kedalaman subtansi, dan menekankan semua presentasi membawa pesan “masyarakat sebagai co-designer dan co-creator dari sebuah perubahan. 

Kehadiran berbagai aktor dari latar belakang CSO, lembaga filantropi komunitas, agensi donor, sektor swasta, lembaga grant making dan pemerintah, menjadikan ruang-ruang pertukaran perspektif sangat dinamis, santai, dan dewasa. Sejumlah tokoh pembuat perubahan ditampilkan sebagai pidato kunci yang mendobrak ekosistem pendanaan asing dan donor, geliat kemandirian masyarakat yang justru dibangun dari inner power (kekuatan dari dalam). 

Sesuai dengan judulnya Shift the Power, maka kemasan dari konferensi juga dibuat keluar dari pakemnya. Peserta diberikan sejumlah pilihan untuk melakukan refleksi melalui sesi-sesi “bucket” yang dikemas roundtable discussion sehingga setiap orang mendapatkan kesempatan. Sementara kemasan sesi panel dipilih pembicara yang telah betul-betul melakukan shift the power, sehingga bisa menginspirasi banyak pihak. Sesi paralel disebut Bucket, memiliki agenda penguatan transformasi individu aktor dan komunitas, seperti skill story telling, membuat ukuran emosi pada LFA, dekolonialisasi, community safety, climate change, dan self care berupa tarian salsa lokal. Di luar ruangan disediakan sejumlah booth yang menyediakan kopi asli gratis, Teh herbal dan sejumlah obat-obat tradisional. Ada korner jus sehat dari berbagai buah-buahan dan sayuran lokal, dan berbagai kursi-kursi unik dan nyaman jika peserta memilih tidak mengikuti sesi. 

Akar Pikir Kolonial yang Berbahaya

Soheir Asaad dari RAWA Creative Palestine bertanya secara kritis “mengapa persoalan krisis air, secara sederhana dijawab dengan mengirimkan air ke Palestina. Padahal, persoalan krisis air yang mendasar adalah penguasaan sumber daya. Ini yang tidak secara tuntas diselesaikan oleh kerja kemanusiaan internasional. Internasional tidak berusaha untuk membahas dan mencari solusi terkait dengan penjajahan yang dilakukan Israel bertahun-tahun. Bahkan sejumlah lembaga internasional butuh waktu panjang sampai pada keputusan bahwa persoalan di Gaza baru-baru ini, membutuhkan solusi genjatan senjata. Apa yang dilakukan dunia kepada Palestina, tidak menjawab akar masalah. Soheir merasa bantuan kemanusiaan justru “membunuh” rakyat Palestina karena tidak didesain menjawab akar masalah, dan menjadikan rakyat Palestina obyek pasif dari bantuan. 


Kesalahan pikir yang lainnya adalah tidak berdasarkan pada nasib rakyat.  Martha Ruiz, seorang jurnalis dan mantan Komisi Kebenaran Kolombia mempercayai bahwa truth (kebenaran), seharusnya bisa menjadi landasan untuk membangun perdamaian. Kebenaran yang dituturkan oleh para korban pelanggaran HAM, khususnya perempuan korban yang mengalami Sexual Gender based Violence, akan memandu kerja-kerja Transitional Justice, dimana negara bertanggungjawab pada pemulihan seutuhnya korban, menghentikan impunitas, dan reformasi kelembagaan. Sayangnya proses yang terjadi belum betul-betul membasiskan pada keselamatan masyarakat. Dominan kepentingan politik dan kekuasaan, sangat tercermin dalam babak baru Kolombia yang harus menghadapi fraksi-fraksi di sektor keamanan yang merasa tidak terwakili dalam perundingan damai. Sejumlah kriminalitas dan teror ketakutan, serta perampasan tanah-tanah suku tertentu masih terjadi,   adalah ekspresi ketidakpuasan.                                         

Di Srilanka, bantuan asing telah menimbulkan kekerasan struktur. Ambika Satkunanantan, dari Neelam Tiruchelvam Trust Srilanka menduga karena banyaknya pelunakan bahasa yang dipakai oleh agensi internasional, untuk tujuan acceptance (penerimaan). Misalnya bahasa social justice (keadilan sosial), dengan mudah digantikan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), yang sangat mungkin mengikis esensi dari keadilan sosial yang memiliki yang seharusnya memiliki aspek penguatan pilar demokrasi dan penegakan HAM. Termasuk kerja-kerja Filantropi, yang mengedepankan charity dan tidak membasis pada konsep demokrasi, secara perlahan telah membangun birokratisasi baru pada NGO, standarisasi akuntabilitas yang hanya berpihak pada kelompok besar, menyingkirkan kelompok kecil, dan yang paling parah mengikis kekuatan masyarakat sendiri. 

Shift the Power: Dekolonialisasi dan Demokratisasi Bantuan

Konferensi menyerukan untuk Shift the Power melalui dekolonialisasi dan demokratisasi bantuan. Yang saya bisa tangkap dari percakapan selama konferensi terkait dengan dekolonialisasi mengandung sejumlah hal sebagai berikut yaitu: 

Pertama, bantuan haruslah memberdayakan, bukan menciptakan ketergantungan. Saat ini kita menyaksikan dan mungkin terlibat dalam siklus ketergantungan yang diciptakan oleh aktor pembangunan internasional. Selain bantuan tidak selalu menyelesaikan akar masalah, saya menduga bahwa ada kepentingan merawat ketergantungan, karena penyaluran bantuan internasional, adalah cara balancing sistem keuangan negara maju untuk menjaga stabilitas. Pemberdayaan dan kemandirian mensyaratkan intervensi jangka panjang, karena yang sedang dijawab adalah akar masalah. Kini, kita dihadapkan pada projek-projek pendek, yang sering tidak menemukan konektivitasnya. Bahkan trend donor lebih mengarah pada pendanaan berbasis pada tema-tema, dan meninggalkan tugas utama masyarakat sipil yaitu menjaga civic space. Mereka disibukkan projek dan administrasi, memunggungi pendekatan komprehensif. Tahun 2010 Asociation of Women in Develpment (AWID) telah mengeluarkan laporan berjudul “Watering the Leaves, Starving the Roots”, membahas tentang trend donor yang cenderung mendukung projek individu organisasi, tapi membiarkan gerakan kolektif masyarakat sipil kekeringan kurang dukungan. Padahal gerakan kolektif inilah yang menjadi akar dari masyarakat sipil. 

Kedua, keluar dari ukuran akuntabilitas dan transparansi yang “normal”, dengan membawa indikator yang memungkinkan mewakili kontribusi komunitas, misalnya relasi, emosi, labor, dan lain-lain. Kontribusi masyarakat sering tidak dihitung menjadi bagian dari sukses program. Sejumlah lembaga sudah mulai menggagas pola-pola reporting yang lebih mengarah pada story telling perubahan di masyarakat. Atau pola satu laporan untuk berbagai donor di kalangan donor yang berlatar belakang sektor privat. Ada sejumlah geliat dekonstruksi yang ditawarkan kepada masyarakat sipil untuk keluar dari pikiran kolonial hubungannya dengan pendanaan pembangunan. 

Ketiga, dekonstruksi struktur kolonial yang membelenggu gerak leluasan komunitas, dan Kembali pada struktur masyarakat yang jauh lebih bisa memberikan keleluasaan dalam mendorongkan sebuah perubahan. 

Tampaknya gerakan ini sudah mengglobal, sehingga pada Global Summit 2023, saya menemukan banyak sekali praktik baik yang sudah dijalankan sejumlah pihak untuk melawan kolonialisasi pendanaan dengan demokratisasi yang lebih memberikan ruang secara setara kepada banyak pihak. Dalam demokratisasi ini, saya merapikan praktik-praktik baik dalam bentuk pointers. 

Pertama, menguatkan gerakan masyarakat sipil bukan memperkaya individu organisasi. Frustasi melihat perlakukan donor internasional yang tidak sensitif, dan menempatkan masyarakat sebagai penerima pasif. RAWA Creative Palestine mendekolonialisasi pola gerakan funding dengan mendirikan lembaga filantropi yang memiliki misi membantu gerakan sosial, bukan tematif. Mendorong agar komunitas melanjutkan berbagai gerakan resistensi, dan mengarah pada keberdayaan sendiri. Salah satu cara yang sedang disosialisasikan adalah Shift the power dengan memperkuat story telling, untuk mendorong masyarakat menginmajinasikan sebuah dunia baru, tetapi juga membangun story mereka di komunitas, sehingga bisa menemukan dukungan yang lebih kuat. 

Kedua, keluar dari trend topik, dan Kembali memperkuat ruang sipil agar lebih demokratis, sehigga bisa mendukung berbagai macam perkembangan isu. Ellas Filantropi, yang digagas di Brazil. Khusus memberikan penghargaan dan dukunga kepada gerakan perempuan, dengan latar belakang berbeda. Melihat bahwa 30% organisasi perempuan bekerja tanpa legalitas, bukan berarti mereka tidak sah melakukan sejumlah intervensi. Generoses Award diluncurkan untuk memberikan penghargaan gerakan perempuan yang telah terbukti turut mendorongkan perubahan. 

Ketiga, menciptakan narasi baru dengan membaca realitas lokal dari kacamata yang lebih fair, meletakkan masalah dan solusi sebagai dua sisi koin yang bersandingan. Marie Rose Ramain Murphuy dari Haiti, berhasil menciptakan narasi baru ketika Haiti, dipandang sebagia negara hopeless yang tidak mungkin bangkit dari keterpurukan karena kelemahan yang dimiliki masyarakat dan infrastruktur negara. Dengan dorongan kenyataan kemiskinan dan dampak disaster yang dihadapi oleh Haiti, dengan kemiskinan absolut, semakin tipisnya kepercayaan funding karena kasus korupsi, dan berbagai bentuk keterpurukan. Marie, Bangkat dengan keyakinan bahwa pentingnya mengakui dan melibatkan kekuatan masyarakat. Menjadi masyarakat sebagai founder, patners dan implementor dari projek, sehingga kepemilikan publik akan sangat kuat. Bersama the Haiti Community Foundation, mereka bergerak bersama-sama telah mengubah hidup 15,000 orang. 

Way Forwards: Akankah Filantropi Komunitas Membawa Kemandirian?

Filantropi Komunitas merupakan jawaban untuk melepaskan dari kolonialisasi pendanaan. Saya juga menyakini bahwa masyarakat memiliki kekuatan sendiri untuk keluar dari situasi krisis, dan pulih dengan menggunakan kearifan lokal dan sumber-sumber tidak mengikat serta kesukarelawanan yang mereka hidupi bertahun-tahun. Maka, sudah saatnya masyarakat dikembalikan kepada kekuatan genuine mereka. Mengapa konsep filantropi komunitas menjadi alternatif Shift the Power kita? 

Pertama, filantropi komunitas mengandung makna bahwa setiap anggota masyarakat memiliki potensi untuk berbagi sumber daya baik berupa pikiran, uang, rasa kemanusiaan, atau berbagai barang. Seseorang yang memiliki kelebihan maka seharusnya memiliki tanggungjawab yang lebih. Kesadaran akan posisi masing-masing, kemudian mengambil tanggungjawab sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, mendukung berkembangnya Filantropi Komunitas.

Kedua, memulai dengan connecting the dots. There is nothing new under the sun. Ungkapan ini mengingatkan kita selalu bahwa ada orang lain pendahulu kita, atau ada banyak orang yang melakukan sejumlah hal mirip dengan kita. Maka tugas kita adalah menemukan “dots” atau orang-orang ini yang memiliki visi yang sama. Dalam kerja-kerja The Haiti Community Foundation, mereka melibatkan diaspora Haiti di luar negeri untuk mendukung pembentukan dan berjalannya foundation. 

Indonesia bagaimana? Kita telah memulai ini dengan berbagai macam pendekatan. Di berbagai wilayah, masyarakat telah melakukan sebuah perubahan dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri. Munculnya berbagai bentuk filantropi sebauh pertanda bahwa kekuatan finansial dalam negeri menjanjikan. Jika memang memungkinkan, kenapa harus tergantung kepada pendanaan asing yang tidak konstruktif. *** 


Jumat, 16 Juni 2023

 

Pada tanggal 13-15 Juni 2023, saya menghadiri konferensi internasional yang diselenggarakan oleh SEARCCT, di Hotel Hilton, Kuala Lumpur. Konferensi tiga hari mengangkat tema tentang Building Digital Resilience in Preventing and Countering Violent Extremism - P/CVE . Perkembangan dunia digital yang cepat, dengan hadirnya Artificial Intelegent membuka ruang-ruang baru bagi kelompok extrimis dan teroris untuk melakukan rekrutmen kepada anak-anak muda dengan cara-cara baru. 


Sejumlah study menemukan adanya penurunan aktifitas terorisme, tetapi ada peningkatan pada aktifitas hatespeech di media sosial. Penyebaran ujaran kebencian ini difasilitasi internet dan media sosial, yang memiliki berbagai macam fitur kemudahan membangun konektifitas antar individu secara bebas. Ribuan informasi perdetik masuk dalam ruang privat kita dan tidak mungkin dicegah. Penyebaran ujaran kebencian maupun propaganda ekstremis semakin beragam dan maju mengikuti perkembangan teknologi dan ketersediaan berbagai platform online yang digemari oleh anak-anak muda. Sayangnya, angka literasi terhadap pencegahan ekstremisme pada anak-anak muda tidak berbanding lurus dengan kecepatan akses pada teknologi dan keingintahuan mereka yang kuat kepada berbagai informasi, gaming, dan fasilitas lainnya. Mereka rentan terpapar propaganda yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok extremis. 


Gagasan digital resilience bukanlah hal baru, tetapi sebenarnya seberapa efektif kita melakukan upaya untuk membangun resiliensi di ruang digital. Tidak ada resep khusus dalam memenangkan pertarungan di media sosial. Bahwa kenyataannya kita tidak bisa mencegah para ekstrimis dalam menggunakan ruang digital, tetapi yang bisa dilakukan adalah bagaimana membuat kita semua resilience dalam menggunakan ruang digital. Sejumlah strategi yang dipaparkan dalam konferensi diantaranya adalah: 


Pertama, bekerja dengan credible voices, yaitu kelompok yang dianggap memiliki legitimasi kuat dalam upaya mengcounter narasi propaganda. Credible voices tidak tunggal. Mereka bisa dari sisi para mantan pelaku dan keluarganya, para korban dan penyintas terorisme, pada gamers, spoters, atau para tokoh agama atau perempuan di komunitas, yang kesemuanya memiliki pengaruh masing-masing pada upaya counter narasi. Yang paling penting bekerja dengan credible voices adalah memastikan mereka memiliki awareness dan skill yang cukup melakukan counter narasi. 


Kedua, kualitas counter narasi ditentukan oleh proses pembuatannya dimana mempertimbangkan banyak aspek seperti proses produksi narasi. Memilih paradigma, metodologi, dan cara yang tepat dalam memproduksi narasi, akan membantu upaya counter narasi menjadi jauh lebih maksimal. Media film, video pendek, gambar, ataupun teks lainnya sangat ditentukan oleh kecederungan penerimaan publik terhadap sejumlah intervensi.  Narasi baik adalah narasi yang sampai kepada audien. Pendekatan story telling, gaming, documentary film, sport dan sebagainya akan maksimal dengan dibarengi oleh kerja maksimal dan mengikutkan credible voices. 


Ketiga, era baru artificial interlegent adalah wilayah luas yang sangat perlu dijelajahi, agar secara maksimal kita melakukan perimbangan terhadap arus propaganda. Meskipun arusnya masih kecil yang bekerja di wilayah gamefication, tetapi wilayah ini tidak bisa ditinggalkan. 


Keempat,  bekerja dengan media menjadi bagian krusial dalam membangun resilience, tetapi sering kali dikalahkan dengan mediakrasi yang bias dan transaksional, sehingga sulit membawa perubahan dalam media. Institusi media memiliki peran dalam reshape narasi yang
dilahirkan oleh banyak pihak. 


Kelima, selain upaya untuk melakukan counter narasi, regulasi yang jelas terkait dengan pencegahan terorisme dan VE, termasuk upaya counter narasi juga perlu sebuah regulasi yang jelas dan tidak fragmented. Kelemahan regulasi adalah sering tidak fokus, sehingga menimbulkan multi tafsir yang justru berpotensi menjadi backlash bagi para aktor yang sebenarnya bekerja di sini. 


Bicara resiliensi di dunia digital, tetap membangun korelasi dan resonansi dengan dunia non digital. Sejumlah intervensi offline, akan membantu menurunkan nilai-nilai mulia menjadi lebih operasional dan secara nyata sangat diperlukan, khususnya dalam membangun ownership bersama pada isu. Maka, pertemuan antar aktor, membangun kolaborasi dan partnership, serta membangun kekuatan bersama dan saling mendukung, akan menambah resiliensi. Pada akhirnya, resiliensi digital akan tercapai jika resiliensi dunia nyata tercipta. ***  


Sabtu, 04 Juni 2022

What the women do? Can we do differently in the Future? (2)


Hari kedua, ketiga dan keempat Forum ICAN 2022 lebih memfokuskan kepada refleksi personal sebagai seorang peacebuilders, yang di satu kaki terikat dengan komitmen di tingkat lokal dan nasional, tetapi di sisi lain ingin mendapatkan rekognisi Internasional. Bagaimana kehadiran womenpeacebuilders dapat mendorongkan perubahan di level kebijakan atau intervensi internasional? Peacebuilders juga sering dihadapkan dengan kekecewaan dimana ratusan forum internasional terjadi tetapi impactnya sangat kecil kepada keamanan dan kesejahteraan. Padahal pengorbanan untuk menghadiri forum internasional itu sangat tinggi; meninggalkan pekerjaan rutin, meninggalkan janji, terganggu pikiran menulis, meninggalkan keluarga, kesehatan, dan lain-lain. Semua itu dilakukan untuk bisa menjaga agar pekerjaan peacebuilders bisa dikenali oleh orang lebih luas, dan lembaga bisa mendapatkan dukungan finansial. Sebuah perjuangan yang tidak mudah. 

Namun melihat komitmen internasional yang semakin menurun kepada kerja-kerja perdamaian, diindikasikan dengan tidak sustainnya program yang dibuat, kontrak short term, overlapping kerangka kerja, tipe program yang berorientasi pada konferensi besar, pemberian award lebih untuk publikasi lembaga penyelenggara, tetapi sangat sedikit memperhatikan dukungan berkelanjutan pada program dan kebutuhan organisasi. 

Dari 38 negara yang hadir di forum, diantaranya adalah Afghanistan, Algeria,Colombia, Cameroon, Egypt, Libya, pakistan, Syria, Lebanon, Mexico, Indonesia, Philipina dan masih banyak lagi. Mereka adalah perempuan peacebuilders inter-generasi yang telah banyak melakukan intervensi, yang mencakup empat pilar dalam resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang perempuan, perdamaian dan keamanan. Jaringan ICAN yang hadir banyak melakukan intervensi pada wilayah pendidikan perdamaian, advokasi kebijakan, dialog/mediasi, advokasi untuk mendapatkan ruang keterlibatan, relief/ recovery/ rehabilitasi, networking, perlindungan dan sebagianya.

Tetapi sejumlah anggota yang hadir, mereka sangat sedikit melakukan kegiatan yang berhubungan dengan respon krisis, dokumentasi pengetahuan/ penelitian, pelibatan pada media sosial, capacity building mobilisator, penggunaan media sosial dll. 

Sejumlah isu penting juga didiskusikan di dalam forum ICAN 2022 diantaranya adalah; 

- She Builds Peace Campign ; kampanya ini telah dilakukan di sejumlah negara. Bentuknya berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya. Ada yang modelnya kampanye publik, edukasi kepada aktor kunci, bekerja dengan media seperti pembuatan podcast dan video podcast melalui youtube channel. isu visibilitas sangat mencuat dalam hal kampanye She Builds Peace, karena ini menentukan gaung dari kampanye. 

- Bekerja dengan sektor pemerintah, ekonomi, agama, media, dan perusahaan ; Pada dasarnya ini semua sangat penting, meskipun setiap negara tidak memiliki pengalaman yang sama tentang keterlibatan masyarakat sipil dalam konteks policy making. Meski demikian, ada banyak cerita sukses bagaimana civil society dalam melakukan constructive engagemnet dengan pemerintah. Indonesia adalah salah satunya, dimana masyarakat sipil dilibatkan dalam pengambilan keputusan melalui konsultasi publik baik di tingkat nasional maupun lokal. 

- Efektifitas pengelolaan jaringan ; perkembangan anggota jaringan ICAN membutuhkan pola pengelolaan yang berbeda. Pembentukan Sterring committee di tingkat global diperlukan agar management isu dan pertukaran informasi bisa berjalan dengan maksimal. Juga dibutuhkan penguatan di tingkat region, agar pendalaman isu dan pelebaran ke negara-negara yang berkonflik bisa diwadahi oleh struktur di level region. SC global bisa diambil dari kepengurusan di tingkat regions. Ini masih proposal, akan diputuskan segera. Ada juga gagasan membuat ambasador untuk meningkatkan visibilitas jaringan. 

- Cloning peacebuilders di tingkat akar rumput menjadi isu penting. AMAN sudah melakukan sejak lama, sejak 2007 dengan membangun Women's School for Peace program, yang menghasilkan sejumlah peacebuilders di akar rumput. Cerita mreka melakukan perubahan bisa disaksikan di youtube channel She Builds Peace Indonesia. 

- Clinic proposal ; konsultasi intensif dengan donor dan para ahli bagaimana melakukan proposal yang baik dan bagaimana bisa mendapatkan donor yang baik. Peminatnya cukup banyak terutama para perempuan peacebuilders yang ada di wilayah konflik dan mereka sulit mendapatkan akses pendanaan asing, sementara di negaranya sendiri tidak ada ketersediaan dana. 

-gender dan ekstremisme juga salah workshop yang paling banyak penggemarnya. Disamping karena yang dibahas bukan saja problem, tapi cerita sukses dimana Hamsatun dari Nigeria bicara tentang pentingnya bekerja dengan perempuan korban Bukoharam, juga upaya kelompok perempuan melakukan counter narasi juga dianggap unik dan memang membanggakan. Ruby Kholifah dari Indonesia juga bicara tentang metodologi KUPI yang menghasilkan narasi gender positif yang bisa meningkatkan keberterimaan masyarakat kepada pemikiran para ulama perempuan yang memiliki kualitas bagus. Pertanyaan-pertanyaan dalam sesi tersebut sangat tajam, termasuk membuka pemikiran tentang pentingnya melihat konteks berbeda dengan pengunaan istilah. Saya senang menjadi nara sumber pemantiknya karena inspirasi KUPi dan kerja-kerja AMAN Indonesia memfasilitasi KUPI memberikan pencerahan dan imaginasi baru pada mereka yang mulai kehilangan harapan bekerja dengan para tokoh agama. 

Future and New Ways  

Cara baru. Saya salah satu orang yang sangat suka dengan cara baru. Kita sering sekali mengatakan KALAU BUKAN KITA SIAPA LAGI? Kadang memang ada sejumlah pekerjaan yang memang tidak terlalu banyak orang melakukan   bahwa HARUS KITA yang melakukan, Pertanyaannya adalah jika kita tidak melakukan respon pada persoalan tersebut, akan ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan tersebut? Dari forum terbuka saya belajar beberapa hal yaitu: 

Pertama, membangun mind set baru, bekerja beyond project atau bahasa lainnya, bekerja dengan menggunakan pendekatan impact atau dampak. Konsekuensinya adalah organisasi harus memiliki strategic planning jangka panjang yang akan membantu memberikan arah. Project akan mendorong organisasi hanya berkutat pada kegiatan satu ke kegiatan lainnya. 

Pendekatan yang AMAN pakai adalah impact oriented approach, dimana ada kesadaran baru bahwa perubahan tidak bisa dilakukan oleh satu lembaga. Dibutuhkan banyak aktor untuk bisa mendorongkan perubahan.Kesadaran bekerja dalam satu payung impact, akan mendorong lintas aktor juga berkontribusi pada pencapaian impact, dan komitmen transparant, karena satu dengan yang lain membutuhkan keterbukaan.  

Kedua, membangun gerakan bersama sehingga muncul ownership bersama. Bekerja dalam sebuah langgam gerakan bukanlah mudah. Selain membutuhkan waktu yang tidak sedikit, pola kerja gerakan mengandalkan sebuah skill moderasi yang bisa merangkul semua karakter berbeda-beda, dan memiliki budaya kerja berbeda. Dengan bantuan alat impact oriented, gerakan akan tercipta, dengan kepentingan bersama. Nah, menemukan kepentingan bersama ini dibutuhkan relasi dekat, trust dan kesamaan imaginasi tentang dampak karena dikerjakan bersama. 

Ketiga, kolaborasi adalah kata yang banyak didiskusikan dalam forum. Prakteknya seperti apa tentu setiap negara memiliki beda-beda tafsir. Kolaborasi harus didorong oleh ownership bersama, agar tidak bergantung dengan satu pihak saja. Kolaborasi mendorong keterbukaan pada informasi dan sumber keuangan. Kolaborasi genuine tanpa sumber keuangan akan sulit. 

Keempat, berjejaring dengan organisasi lain yang memiliki concern yang sama pada intervensi tertentu. Misalnya dalam merespon krisis atau bencana kemanusiaan, maka terlibat atau melibatkan lembaga atau jaringan yang telah melakukan intervensi tersebut atau punya pengetahuan banyak tentang ini sangat dianjurkan. Tidak semua harus kita lakukan sendiri, dan tidak semua hal harus direspon oleh kita sendiri. 

Kelima, digitalisasi pengetahuan penting. Meskipun ini tidak menjadi concern banyak mitra ICAN, tetapi AMAN meletakkan ini merupakan hal penting yang masih kecil dilakukan oleh CSO. Ada banyak perkemabgna pengetahuan baru, tetapi masih melekat pada aktor. Terhambatnya dokumentasi pengetahuan dan digitalisasinya akan menghambat transfer pengetahuan kepada generasi masa depan. Kurangnya digitalisasi pengetahuan akan memperlambat penyebaran pengetahuan kepada publik lebih luas. 


Tantangan 

Tantangan terbesar dalam melakukan sebuah transformasi atau perubahan adalah keyakinan pada diri peacebuilders itu sendiri. Saya melihat di dalam ruangan ada banyak kawan peacebuiders yang mengalami represi bertahun-tahun karena konflik berkepanjangan di negaranya. Ini menimbulkan perasaan tidak percaya dan ragu akan sebuah harapan atau potensi perubahan. Sejumlah tantangan lain adalah: 

Proxy war,dimana konflik disebabkan oleh negara-negara yang memiliki kepentingan sumber daya alam atau kekuasaan tertentu, sulit mendapatkan jalan keluarnya. Misalnya negara Libya, setelah tumbangnya Khadafi, sampai sekarang tak kunjung mendapatkan kejelasan tentang pemerintahan yang sah. Perseteruan  sejumlah kelompok dilandaskan pada kepentingan membuat negara ini seakan tak pernah selesai dari konflik. 

Pendekatan forum global yang tidak berkontribusi pada keberlanjutan mitra lokal. Pola pendekatan masih dominan mengarah kepada pemanfaatan partner lokal untuk sumber pengetahuan, tetapi masih sedikit dukungan untuk mereka. Skenario intervensi global yang dilakukan oleh sejumlah agensi besar di dunia, masih seputar pembentukan jaringan yang bertujuan untuk membesarkan lembanya sendiri, tetapi masih sangat sedikit mendukung setiap anggota untuk bisa sustain. Bahkan tidak jarang, pengorbanan para peacebuilders tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Semua dianggap kerja gratis. 

Walk the Talk, sangat dibutuhkan dalam jejaring global. Sejumlah langkah maju tentang dokumentasi sejumlah cerita sukses para sudah dilakukan dengan baik oleh ICAN melalui Case Study, dimana kerja-kerja sejumlah partner didokumentasi dengan baik. Bagaimana membuat case study menjadi landasan untuk mendesain sebuah kolaborasi lintas negara untuk menjajalkan solusi kepada konteks yang berbeda. Misalnya peace education yang dilakukan di Pakistan kepada anak-anak muda yang telah direkrut oleh Taliban, sangat menarik sebagai pendekatan deradikalisasi oleh sekolah. Atau gerakan keulamaan perempuan di Indonesia, bekerjasama dengan sejumlah aktor gerakan sosial termasuk feminist group, betul-betul bisa direplikasi di tempat lainnya. 

Membuat formula dan jembatan atas cerita sukses. Memformulasikan praktek baik bukan hal mudah, tetapi ini merupakan steps untuk melakukan langkah selanjutnya yaitu replikasi dan mentoring. Memang tidak semua orang yang masuk sampai level global memiliki basis kerja yang kuat di tingkat basis. Tetapi, ada banyak yang betul-betul bekerja di basis dan melakukan perubahan fantastis, seperti Hamsatun dari Nigeria, yang melakukan pendampingan kepada perempuan korban terorisme dan pemberdayaan pada mereka dan anak-anak muda, memiliki kekuatan perubahan yang sangat bagus. Sementara kita melihat ada banyak konteks negara mengalami ini, terutama negara-negara di Middle East. Maka ICAN bisa melakukan jembatan-jembatan untuk memulai perubahan, dengan membawa praktek baik dari negara satu ke negara lain, dengan pola kerjasama dan mentoring. 

Renegerasi merupakan tantangan besar. Ada semacam stagnasi dalam gerakan perempuan perdamaian, di satu sisi dihadapkan pada sumber daya yang terbatas, sehingga dibutuhkan pengakuan internasional sebagai jembatan ke sumber-sumber dukungan keuangan. Ada kebutuhan penghargaan kepada para pioner peacebuilders yang telah mendedikasikan waktunya. Namun di sisi lain, ada kebutuhan generasi baru agar pola dan strategi gerakan menyesuaikan kebutuhan terkini. Tetapi tantangannya adalah cara generasi muda me-leading sebuah organisasi bisa bertentangan dengan budaya yang telah dibangun oleh generasi tua. Menemukan mekanisme yang tepat tentang bagaimana pergantian kepemimpinan, tetap memberikan tempat kepada generasi senior yang matang pengalaman dan kebijaksanaan. ***