Kamis, 20 November 2025

Pendanaan Fleksible untuk Gerakan Akar Rumput: Sebuah Niscaya


Sebuah pendanaan tanpa ribet? Tampaknya mustahil. Kita semua mengalami bahwa pendanaan yang dikelolah oleh organisasi masyarakat sipil, selalu berakhir dengan kesibukan administrasi.  Bahkan mengalahkan kesibukan memajukan masyarakat. Atas nama akuntabilitas dan transparansi, pemilik dana ingin memastikan bahwa uangnya dipakai untuk kepentingan sesuai dengan kontrak. Tentu saja ini wajar. Tetapi, pernahkah kalian berpikir bahwa kerja administrasi jadi jauh lebih menyita waktu, daripada kerja-kerja misi lembaga. Apakah memang semua pendanaan untuk organisasi masyarakat sipil selalu kompleks? 


Tidak. Tapi sedikit sekali pendanaan yang menggunakan pendekatan kepercayaan. Saya baru mengenal Trust Based Fund dari Teresa, Partner Asia, yang kemudian mendukung AMAN. Ini merupakan pendekatan baru dalam pendanaan NGO, dimana para pemimpin akar rumput menentukan tujuan penggunaan dana. Bukan hanya itu, para pemimpin akar rumput ikut menentukan mekanisme dan format proposal dan pelaporan. Ini karena telah banyak keluhan tentang format laporan yang rumit dan model pengukuran dampak yang terlalu berbasis pada ukuran-ukuran modern. Sementara mungkin model story telling jauh lebih mudah dilakukan. Kita juga sering mendengar tentang sulitnya lembaga kecil mendapatkan pendanaan dari donor, karena tidak masuk kriteria. Tentang pendanaan yang tidak pernah jangka panjang, sehingga sulit buat CSO untuk menjaga impact terjaga. 


Minggu ini, saya bersama dengan para pemimpin gerakan akar rumput, dari berbagai negara seperti Thailand, Laos, Myanmar, Indonesia, Srilanka, Kenya, Burkini Faso, Guatemala, Bolivia, Peru, berkumpul di Kanchanaburi, Thailand, dari tanggal 16 sampai 22 November 2025. Mereka berasal dari organisasi-organisasi yang mendapatkan dukungan pendanaan fleksible dari Move 92, sebuah lembaga filantropi yang mempercayai pendekatan kepercayaan pada CSO. Tidak seperti model gathering lainnya, dimana semua agenda diset up mulai jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Kumpul-kumpul ini, selain  sebagai ajang untuk refleksi bersama kerja-kerja akar rumput dengan pendekatan trust based fund. Forum juga sangat mengakomodir kreatifitas dan inovasi dari akar rumput. Setiap lembaga yang in charge dalam workshop memiliki kemerdekaan untuk mengelolah workshopnya akan seperti apa. 


Kebetulan AMAN Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengelola workshop bertajuk “Funding Grassroots Movements”. Inilah yang menjadikan baseline tulisan ini. Tapi juga berbagai informasi dalam workshop saya ramu dalam satu tulisan ini, yang saya harapkan bisa memberikan gambaran dinamika isu dalam forum. 


Memahami Gerakan Akar Rumput 


Saya ingin memulai dengan pertanyaan siapa grassroots movement itu? Di dunia kita mengenal berbagai gerakan rakyat yang sukses melakukan perubahan seperti Gerakan Dalit atau Chipko dari India, Green Belt Movement dari Kenya, Mothers of Plaza de Mayo dari Argentina, Black Lives Matter dari Amerika Serikat. Di Indonesia kita juga mengenal sejumlah gerakan rakyat seperti Wadon Wadas, Srikandi Kendeng, gerakan masyarakat adat, gerakan KUPI, dan sebagainya. 


Perubahan juga digerakan oleh Gen Z. Sebut saja Gerakan Mahsa Amini – Women, Life, Freedom (Iran, 2022); #EndSARS Movement (Nigeria); Youth Climate Strikes / Fridays for Future (Global); Protes Anti-Kudeta Myanmar (Myanmar, 2021); #MilkTeaAlliance (Asia Tenggara & Timur); #FeesMustFall (Afrika Selatan); dan sejumlah gerakan pro demokrasi di Indonesia, Nepal, Kenya, Taiwan, Hongkong, Uighor, dll. Dengan kekuatan “leadersless leadership” (kepemimpinan tanpa pemimpin), berhasil menurunkan penguasa dhalim dan korup. Semua yang saya sebutkan di atas contoh-contoh gerakan rakyat yang saling menginspirasi.


Dalam workshop ini, saya menemukan banyak contoh gerakan senyap di akar rumput. Di Sri Lanka, sebuah pusat pelatihan bernama Tea Leaf Trust sudah bertahun-tahun memberikan pendidikan bahasa Inggris dan komputer agar anak muda dari keluarga kurang mampu bisa mengakses pekerjaan yang lebih baik. Di Kenya, organisasi Pamooja sangat diminati karena memberikan pelatihan membuat CV dan membuka akses informasi tentang kesempatan kerja. Di Guatemala, pengorganisasian perempuan suku Maya tidak hanya meningkatkan rasa percaya diri mereka, tetapi juga membantu mengikis budaya rasisme yang telah mengakar. Sementara di perbatasan Thailand–Myanmar, sebuah lembaga bernama BEAM memberikan pendidikan dasar bagi para pengungsi yang baru tiba, termasuk keterampilan untuk bertahan hidup. Semua kerja ini dilakukan tanpa intervensi negara. Mereka bekerja dalam senyap, tetapi menjawab secara nyata tantangan kemiskinan, ketertinggalan, dan marginalisasi.


Bagaimana mengenali gerakan rakyat atau akar rumput? Saya menggunakan analogi sebuah pohon memudahkan mengenali ciri-ciri gerakan rakyat. Ada tiga bagian dalam pohon yang penting untuk diidentifikasi sebagai ciri gerakan yaitu akar, pohon dan daun/ buah. Akar dalam gerakan akar rumput adalah kesadaran, hubungan, dan nilai-nilai yang hidup di dalam komunitas. Akar ini adalah sumber daya yang tidak terlihat, tetapi justru menentukan arah dan kekuatan gerakan. Di dalamnya terdapat realitas sehari-hari masyarakat, pengetahuan dan kebijaksanaan lokal, spiritualitas, serta kepemimpinan perempuan dan anak muda. Termasuk juga jaringan sosial informal dan peran-peran gender yang telah lama dijalankan. Semua hal ini membentuk nilai, norma, dan perilaku sosial yang menjadi fondasi gerakan. Meskipun tidak tampak, akar inilah yang selalu menjaga gerakan tetap hidup.


Sementara batang dalam gerakan akar rumput adalah sumber kekuatan dan kestabilan. Ini menyangkut  kapasitas kelembagaan, kepemimpinan yang menumbuhkan jaringan dan alinasi , mekanisme perlindungan, komunikasi dan kordinasi, skill melek politik dan advokasi, dukungan finansial, keteguhan untuk bertahan di tengah guncangan demokrasi ataupun tekanan militerisme, dan sebagainya. Bagian ini merupakan penyambung nilai dengan aksi konkrit. 


Daun dan buah dalam gerakan akar rumput adalah perubahan nyata di masyarakat yang dihasilkan dari kerjasama akar dan batang. Maka gerakan akar rumput yang sehat akan melahirkan sejumlah perubahan sosial, politik, dan ekonomi, munculnya inisiatif perdamaian di akar rumput, hadirnya kebijakan yang inklusif dan berkeadilan untuk semua, dan perlindungan pada lingkungan. Komunitas menemukan cara baru menyelesaikan konflik, norma-norma perlahan bergeser, dan muncul ruang aman serta solidaritas yang lebih kuat.


Dari diskusi di ruangan, muncul setidaknya empat alasan mengapa pendanaan bagi gerakan akar rumput menjadi sangat penting. Pertama, karena mereka menghidupi realitas sehari-hari. Gerakan akar rumput bekerja langsung bersama orang-orang yang terdampak; mereka memahami apa yang benar-benar terjadi, bukan dari laporan atau indikator, tetapi dari pengalaman hidup yang mereka hadapi setiap hari. Pendanaan kepada mereka memastikan bahwa keputusan dan program tidak lahir dari jarak, melainkan dari kenyataan yang sesungguhnya.

Kedua, pendanaan akar rumput adalah cara mendistribusikan kekuasaan ke bawah. Selama ini, aliran dana lebih sering berputar di lembaga besar, sementara komunitas yang justru paling memahami persoalan tidak memiliki ruang untuk memimpin. Ketika komunitas diberi sumber daya, mereka dapat membangun kepemimpinan lokal yang grounded, menentukan agenda sendiri, dan mempercepat proses perubahan dengan cara yang lebih relevan bagi kehidupan mereka. Pendanaan seperti ini menumbuhkan kemandirian dan otonomi komunitas.

Ketiga, gerakan akar rumput terbukti efisien, tahan banting, dan mampu membangun resiliensi. Karena bekerja langsung bersama masyarakat, mereka tahu kebutuhan yang paling mendesak, siapa yang harus dibantu, dan kapan harus bertindak. Setiap sumber daya digunakan dengan tepat, menciptakan kapasitas bertahan, pulih, dan bangkit menghadapi krisis sosial, ekonomi, maupun politik. Resiliensi yang tumbuh dari bawah ini jauh lebih kuat daripada intervensi yang dipaksakan dari luar.

Keempat, mendukung gerakan akar rumput berarti mendukung perubahan yang lebih cepat sekaligus berkelanjutan. Mereka bergerak dengan lincah karena tidak dibatasi prosedur yang birokratis, dan pada saat yang sama mampu membangun perubahan jangka panjang yang benar-benar dimiliki oleh komunitas. Pendanaan bagi gerakan akar rumput bukan sekadar mendanai program, tetapi memastikan bahwa masyarakat dapat memahami, memimpin, dan mempertahankan solusi yang mereka pilih sendiri. Di tangan mereka, perubahan tidak berhenti sebagai proyek; ia tumbuh menjadi bagian dari kehidupan.


Strategi Pendanan Gerakan Akar Rumput


Ada sebuah paradoks besar dalam strategi pendanaan untuk gerakan akar rumput: kelompok yang paling dekat dengan masalah dan paling cepat menemukan solusi justru sering menjadi pihak yang paling sulit mendapatkan dukungan. Mereka bekerja di garis depan, tetapi pendanaan lebih sering mengalir ke lembaga besar yang jauh dari realitas komunitas. Gerakan akar rumput diminta menunjukkan kapasitas administratif yang tinggi, sementara kekuatan mereka justru berada pada kedekatan manusiawi, solidaritas, dan pengetahuan lokal. Mereka dituntut membuat laporan rapi, padahal yang mereka lakukan adalah menyelamatkan hidup, membuka ruang aman, dan merawat perdamaian setiap hari. Paradoks inilah yang membuat kita perlu merumuskan strategi pendanaan yang berbeda—yang memahami energi hidup gerakan dan memampukan mereka tumbuh dari akar, berdiri tegak di batang, dan menghasilkan daun serta buah yang nyata bagi komunitas.


Ada tiga strategi pendanaan yang bisa memperkuat gerakan akar rumput, diantaranya adalah; 


Memperkuat Akar Gerakan

Pendanaan untuk gerakan akar rumput harus dimulai dari penguatan akar—yaitu sumber kehidupan gerakan yang tumbuh dari kebutuhan, nilai, dan pengalaman komunitas itu sendiri. Untuk memperkuat akar, pendanaan harus fleksibel, jangka panjang, dan berbasis kepercayaan, bukan berbasis kontrol atau laporan yang membebani. Dukungan seperti ini memungkinkan komunitas menentukan prioritas mereka sendiri, sesuai konteks dan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Pendanaan juga harus dapat diakses oleh organisasi kecil, terutama kelompok perempuan, pemuda, atau komunitas adat yang sering kali tidak memenuhi persyaratan teknis donor besar. Ketika pendanaan dibebaskan dari birokrasi yang berlebihan dan dirancang untuk menghormati otonomi komunitas, akar gerakan dapat menyerap energi, pengetahuan, dan kreativitas—membuat gerakan tetap hidup, lentur, dan mampu tumbuh dari realitas yang mereka hadapi setiap hari.

Memperkuat Batang Gerakan


Jika akar adalah sumber kehidupan, maka batang adalah kekuatan yang menjaga gerakan tetap kokoh di tengah badai. Memperkuat batang berarti memastikan struktur gerakan—relasi, kapasitas, dan kepemimpinan—mampu bertahan dan berkembang. Pendanaan di tahap ini harus berinvestasi pada pembangunan kapasitas, mulai dari manajemen organisasi, advokasi, riset, hingga kepemimpinan perempuan dan pemuda. Batang juga akan semakin kuat ketika gerakan didukung untuk membangun koalisi lokal, menghubungkan berbagai komunitas yang menghadapi isu serupa agar tidak berjalan sendiri-sendiri. Selain itu, pendanaan perlu membuka akses bagi aktivis akar rumput untuk bepergian dan berpartisipasi dalam ruang-ruang pengambilan keputusan—mulai dari pertemuan desa hingga forum nasional dan internasional.

Penguatan batang juga mencakup keamanan digital dan fisik, terutama bagi mereka yang bekerja di wilayah konflik, konservatisme ekstrem, atau di bawah ancaman aktor bersenjata dan aparat. Yang tidak kalah penting, pendanaan harus memastikan perlindungan bagi perempuan pembela hak asasi manusia, yang sering berada di garis depan tetapi menjadi kelompok paling rentan mengalami intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan. Ketika batang gerakan diperkuat, gerakan tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berdiri tegak menghadapi tekanan politik, sosial, dan keamanan.

Merawat Daun dan Buah Gerakan

Ketika akar telah kuat dan batang kokoh, gerakan mulai menumbuhkan daun-daun dan buah—hasil nyata dari kerja kolektif di tingkat komunitas. Pada tahap inilah pendanaan perlu merawat dan menyuburkan perubahan yang sudah tampak. Dukungan harus diberikan untuk inisiatif perdamaian yang dipimpin perempuan, karena merekalah yang paling memahami cara menjaga harmoni sosial dan memulihkan komunitas dari luka kekerasan. Ruang juga perlu dibuka bagi eksperimen dan inovasi, memberi kesempatan bagi komunitas untuk mencoba cara-cara baru dalam menyelesaikan konflik, membangun solidaritas, dan memperkuat ekonomi lokal.

Merawat daun dan buah juga berarti mengangkat cerita-cerita lokal, memastikan pengalaman komunitas tidak tenggelam, tetapi menjadi inspirasi dan pelajaran bagi banyak pihak. Pendanaan yang baik memungkinkan adanya small grants untuk merespons situasi mendesak—ketika konflik muncul tiba-tiba, ketika perempuan butuh perlindungan cepat, atau ketika ruang aman harus segera dibangun.

Akhirnya, gerakan perlu didukung untuk melakukan monitoring dan evaluasi berbasis komunitas, sehingga mereka sendiri dapat menilai perubahan yang terjadi dan menentukan langkah berikutnya. Dengan menyuburkan daun dan buah, pendanaan tidak hanya mendukung kegiatan, tetapi memastikan bahwa hasil-hasil gerakan dapat tumbuh, berkembang, dan memberi manfaat bagi generasi berikutnya. ***


Ditulis oleh Ruby Kholifah 


Sabtu, 15 November 2025

6th European Policy Dialogue Forum: Social Cohesion in Changing Climates Fostering Inclusive Paths to Equity in Europe

Geneva, 11 November 2025

Apakah kamu percaya bahwa dialog antaragama dan budaya bisa menyelesaikan polarisasi?

Perjalanan saya ke Geneva kali ini terasa istimewa. Saya menghadiri 6th European Policy Dialogue Forum, sebuah forum tahunan yang diselenggarakan oleh European Council of Religious Leaders, KAICIID, dan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC). Saya datang dengan satu rasa ingin tahu: bagaimana praktik-praktik dialog lintas agama dan budaya dilakukan di berbagai level — dan apakah ia sungguh mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat?

Konteks Eropa hari ini sedang tidak mudah. Menurut data European Union Agency for Fundamental Rights (2024), lebih dari 39% Muslim di Eropa mengalami diskriminasi; 36% komunitas Roma dan traveler melaporkan perlakuan tidak adil; sementara 80% warga Yahudimeyakini bahwa antisemitisme meningkat dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, keberhasilan partai-partai konservatif di beberapa negara Eropa menandai menguatnya politik identitas dan sempitnya ruang bagi imigran. Media sosial ikut mempercepat polarisasi — memperbanyak ruang gema (echo chambers) yang memperkuat kebencian dan ketakutan.

Ambasador Antonio de Almeida Ribeiro, Sekretaris Jenderal KAICIID, menyebut situasi ini sebagai interlocking crisis: ketimpangan, kebencian, dan polarisasi yang saling memperkuat satu sama lain.
Krisis ini tidak bisa dipecahkan dengan menutup perbatasan atau mengatur migrasi secara represif. “Migrasi itu natural,” katanya, “yang penting adalah memastikan bahwa migrasi berlangsung aman dan manusiawi.”

Forum ini mencoba menjawab tantangan tersebut dengan dialog — sebagai cara mempersempit jarak dan mencegah disintegrasi sosial.


Salah satu contoh yang menginspirasi datang dari Inggris, ketika pemimpin agama Yahudi dan Muslim melakukan dialog pasca-Brexit. Mereka sadar bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa bukan sekadar keputusan politik, tapi pergeseran identitas kolektif yang membuat rasa saling ketergantungan antarnegara melemah. “Tidak ada negara yang benar-benar mandiri,” kata Rabbi Alex Goldberg, “kita semua saling bergantung.”
Dialog antariman mereka menjadi jembatan untuk memastikan bahwa Brexit tidak berubah menjadi retak sosial di dalam negeri.

Pendekatan serupa juga diadopsi oleh IFRC, yang menggunakan dialog kemanusiaan sebagai alat membangun kepercayaan di tengah masyarakat yang rentan.
Mayor Alfonso Gómez, Walikota Geneva, bahkan menempatkan dialog sebagai bagian dari strategi kota:

“Kami memiliki 30 tujuan dan 80 langkah konkret untuk mengurangi emisi karbon,” katanya, “tapi kami tahu, respons terhadap krisis iklim tak bisa hanya teknis — ia harus juga manusiawi.”
Bagi Gómez, ancaman iklim justru bisa menjadi isu pemersatu lintas agama dan budaya. Ia menyebut tiga elemen penting dalam membangun kohesi sosial: shared principles, lasting coalitions, dan youth participation.

Namun di balik optimisme itu, forum ini juga mengingatkan betapa dialog menghadapi tantangan besar. Pertama, dialog tidak bisa dipandang sekadar politik, tapi harus menjadi praktik moral.
Setiap peserta yang hadir tidak hanya bertukar gagasan, tapi ikut bertanggung jawab menciptakan solusi. Tanpa kepercayaan, dialog hanyalah percakapan kosong. “Trust deficit,” kata perwakilan IFRC, “adalah penyakit sosial terbesar kita saat ini.”

Kedua, ruang publik yang seharusnya menjadi “interreligious agora” kini tergantikan oleh sistem teknokratis dan oligarki. Kebijakan sering kali dibuat dari meja rapat, bukan dari denyut hidup masyarakat. Akibatnya, banyak kebijakan justru memperpanjang ketidakadilan, menciptakan “perfect victims” — perempuan di bawah rezim gender apartheid di Afghanistan, pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, atau warga Gaza yang kehilangan kendali atas hidup mereka sendiri.
Pendekatan yang tidak berpihak pada pemberdayaan hanya melanggengkan ketergantungan dan membuat mereka menyandang status korban permanen.

Ketiga, dialog kini berlangsung di tengah demokrasi yang melemah. Banyak negara menghadapi penyempitan ruang sipil; agama dan tokoh agama pun berada di posisi sulit: di satu sisi dibutuhkan untuk merawat moralitas publik, di sisi lain dicurigai sebagai sumber perpecahan. Dialog antar agama atau budaya, seharusnya tidak diletakkan di ruang hampa. Sistem demokrasi yang membusuk saat ini, sangat berpotensi membuat Dialog antara agama atau budaya teknokratis dan ritual saja. 

*** 

Biaya Tersembunyi dari Ketimpangan: Catatan Reflektif 

Geneva, 12 November 2025 —
Isu ketimpangan hari ini tidak lagi berhenti pada angka statistik. Ia telah menjadi persoalan moral dan kemanusiaan yang nyata: tentang siapa yang dihargai, siapa yang dikorbankan, dan siapa yang diabaikan. Dalam sesi “Fractured Societies, Fragile Environment: The Hidden Cost of Inequality”, para pembicara membawa perspektif yang memperlihatkan bagaimana ketimpangan sosial, ekonomi, dan kultural saling terkait, menciptakan frustrasi kolektif yang mudah meledak menjadi krisis sosial maupun ekstremisme.

Mr. Kirril Buketov, ILO menyebut bahwa ketimpangan bukan sekadar soal distribusi pendapatan, tapi tentang rasa ketidakadilan. Ketika setengah populasi dunia merasa “tidak mendapat apa-apa”, sementara segelintir menikmati surplus, rasa frustrasi tumbuh menjadi ketidakpercayaan. Pendidikan pun tak lagi menjamin mobilitas sosial; pekerjaan yang layak semakin jauh dari jangkauan. Inilah hidden cost yang tidak tercatat dalam laporan ekonomi—biaya sosial yang dibayar oleh generasi muda yang kehilangan harapan.

Dari perspektif serikat buruh internasional, David Moya, dari Migration and Refuge, Spain, memunculkan istilah fenomena social dumping—di mana buruh migran bekerja dengan upah rendah demi mempertahankan hidup, sementara rantai produksi global menciptakan keuntungan bagi korporasi besar di pusat-pusat ekonomi dunia. “Mereka yang menanam cokelat, tak punya cokelat di meja makan mereka,” ungkap Kiril Buketow dengan getir. Ironinya, kemakmuran di negara maju sering berdiri di atas kemiskinan yang direproduksi di Selatan.

Sementara itu, Dr. David Moya dari Pemerintah Catalonia menunjukkan sisi lain: negara kesejahteraan (welfare state) kini tidak lagi bekerja bagi semua. Buruh migran, terutama perempuan muda, tetap berada di bawah garis kemiskinan bahkan setelah mendapatkan bantuan sosial. Redistribusi tidak berjalan adil. Sistem perlindungan sosial melemah, membuat kesenjangan makin lebar—dan kepercayaan publik makin rapuh.

Imam Yahya Pallavicini menyoroti sisi kultural dari ketimpangan ini. Di Eropa, diskriminasi berbasis agama dan ras masih tinggi. Muslim sering dianggap “warga kelas dua”, dan keberagaman agama belum sepenuhnya diakui dalam sistem kerja maupun kebijakan publik. Ia mengingatkan bahwa dialog antaragama dan antarbudaya tidak boleh berhenti di tataran simbolik, tetapi harus diterjemahkan dalam kebijakan yang menghormati martabat setiap orang—sebagai warga sekaligus sebagai manusia beriman.

Dari sisi generasi muda, Lucy Plummer (UNEP, Faith for Earth Women Council) menggambarkan wajah lain dari ketimpangan: meningkatnya krisis kesehatan mental di kalangan anak muda, terutama yang merasa tidak memiliki ruang partisipasi. Padahal, merekalah yang sedang menanggung beban ekologis dan sosial dari keputusan generasi sebelumnya. Ia mengajak untuk membangun ruang pertukaran antar generasi agar anak muda tidak sekadar menjadi penerima warisan masalah, tetapi penggerak perubahan.

Diskusi ditutup dengan refleksi yang tajam: jika sistem ekonomi global terus berjalan seperti sekarang, dengan logika akumulasi tanpa etika, maka dunia akan terus melahirkan “korban yang sempurna”—mereka yang diposisikan untuk menderita tanpa daya. Salah satu peserta mengusulkan perlunya meninjau kembali notion of fortune—menggeser paradigma dari kapitalisme eksploitatif menuju ekonomi solidaritas dan keadilan sosial. Saya masih membatin terkait dengan ketimpangan tersembunyi seperti gender inequality, yang sayangnya kurang dieksplorasi dalam diskusi. 

Mungkin saatnya, memulihkan kembali makna “kemakmuran” sebagai kebaikan bersama, bukan sekadar keuntungan individu. Sebab di tengah masyarakat yang retak dan lingkungan yang rapuh, dialog lintas iman dan lintas budaya hanya akan berarti jika berani menyentuh akar ketimpangan: sistem ekonomi, politik, dan moral yang telah kehilangan rasa keadilan.

**** 

Sesi penutup hari ini membahas tentang Building Values-Based Urban Communities. Saya menikmati sesi hari kedua yang semakin dalam membongkar ketimpangan tersembunyi dalam konteks polarisasi persoalan di Eropa. Ada sejumlah praktik baik yang dilakukan di sejumlah negara  di Eropa diantaranya adalah praktik demokrasi lokal tampaknya lebih menjanjikan dibandingkan dengan skala nasional. Sebuah lembaga bernaam European Association for Local democracy (ALDA) di Itali, berhasil membuat mekanisme lebih sehat terkait dengan pelibatan perempuan, anak muda, dan tokoh agama dalam proses demokrasi di tingkat lokal. Mereka bekerjasama dengan otoritas lokal untuk memastikan semua pemangku kepentingan bisa menjadi mitra pembangunan, termasuk perempuan. Di ruang demokrasi lokal inilah, ALDA juga lebih leluasa meningkatkan partisipasi perempuan. Mereka punya projek khusus bertajuk WE ACT untuk mendukung partisipasi perempuan di dunia politik. 

Lembaga seperti Redcross berhasil menggerakan kekuatan volunterisme di seluruh dunia. Mereka juga mencoba untuk menggabungkan narasi agama dalam bentuk kerja humanitarian. Ela dari IFRC menyebutkan ‘berbasis kebutuhan, berorientasi pada hak”. Ada tiga ciri utama dalam kerja-kerja Redcross yaitu nilai kepedulian yang tanpa melihat identitas apapun; memperkuat resiliensi di masyarkat agar menenukan kemandirian pasca bencana; dan menghindari politiking dalam pekerjaan sehingga lebih bisa menekan polarisasi. 

Ada praktik baik lain yaitu “city citizenship” yang dikembangkan oleh the Global Steering Commitee of International Coalition of Cities Agaisnt Racism (ICCAR, UNESCO). Konsep “city citizenship” yang dikembangkan oleh Global Steering Committee of the International Coalition of Cities Against Racism (ICCAR-UNESCO) menegaskan bahwa setiap penduduk kota—tanpa memandang asal, agama, gender, atau status hukum—memiliki hak yang sama untuk diakui, berpartisipasi, dan merasa memiliki terhadap kota tempat mereka tinggal. Gagasan ini menempatkan kota bukan sekadar sebagai ruang administratif, melainkan sebagai komunitas etis yang menumbuhkan inklusi, keadilan sosial, dan kohesi antarwarga. Dalam konteks meningkatnya ketimpangan, migrasi, dan krisis iklim, pendekatan city citizenship mendorong pemerintah lokal untuk mengintegrasikan prinsip anti-diskriminasi dan partisipasi warga ke dalam kebijakan publik, sehingga kota dapat menjadi ruang hidup yang inklusif dan berkeadilan bagi semua.

Praktik baik terakhir terkait dari Turki “digital maps”. IDEMA, International Development Partners dair Turkey, menjawab kebutuhan rusaknya sistem demokrasi, lemahnya kepercayaan publik pada pemerintah, dan praktik otoritarianisme saat ini, dengan memunculkan aksi solidaritas digital maps. Ini seperti baseline data, dimana mereka melayani pembuatan data based terkait dengan peta bencana, peta bisnis, peta kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat lebih cepat mengambil keputusan. Termasuk saat Turkey dilanda bencana, keluarga yang jauh dari akses humanitarian aid, bisa melihat lokasi distribusi dan kontak langsung organisasi berbasis pada maps. 

Dari berbagai inovasi yang super keren di atas, sayangnya tidak semua memikirkan bagaimana tackling gender inequality, women participation. Bahkan, diversitas di dalam agama sendiri juga bergitu jelas terelaborasi. Sampai akhir sesi, pertanyaan saya terkait dengan bagaimana memiliki perwakilan tokoh agama tidak terjawab. Tetapi sejumlah sharing dari nara sumber, saya bisa simpulkan bahwa untuk menghindari kecemburuan maka mereka memprioritaskan sejumlah hal; kedekatan tokoh dengan isu, maksudnya adalah kontribusi tokoh pada isu; kekritisan dalam isu. Tentu ini tidak menjawab, ketika semua pimpinan institusi keagamaan adalah laki-laki. Yang lain juga pengetahuan umum bahwa tidak ada wajah tunggal di setiap agama. Perbedaan madzab, denominasi dan berbagai divisi dalam agama, tentu bukan hal mudah untuk memilih mana yang layak dilibatkan. 

*** 

Ada dua sesi kreatif yang menurut saya menarik untuk dikembangkan dalam konferensi nasional yang AMAN selenggarakan, yaitu: Breakout session dan Market Ideas. Di konteks Breakout session ini, fasilitator menggunakan teknik permainan agree or disagree. Setiap membacakan statement, peserta bisa memilih pojok setuju dan tidak setuju dan kemudian bisa menjelaskan argumentasi. Baru ditutup dengan diskusi merumuskan rekomendasi. 

Market Ideas, adalah sesi peaching yang diberikan kepada sejumlah lembaga yang dirasa baru. Mereka hanya punya waktu 1-2 menit saja untukmempromosikan lembaga mereka. Mereka juga bisa melakukan calling action. Kemudian dilanjutkan dengan pendalaman dalam format networking. ***


Etika Funding untuk Masa Depan Bersama

Tidak seperti biasa, pembicaraan tentang Inter Religious Dialogue mengeksplorasi aspek ketimpangan struktural yang menyebabkan kohesi sosial retak. Selain geopolitik yang berorientasi pada perang, hari terakhir forum dialog, memberikan penekanan pada etika funding. Global Ethics Forum di Geneva, menyatakan pentingnya prinsip etika dipegang oleh para pemimpin agama, akademisi, pembuat kebijakan, masyarakat sipil, dan para donor. Menurut Dr. Dietric, tidak sedikit sebenarnya investasi terkait dengan Global Etik, untuk memastikan bahwa pembangunan dan upaya perdamaian dilakukan secara transparan, akuntable, tetapi juga memiliki etik kuat. 

Martin Palmer, sangat mempertanyakan etik pada pemimpin agama yang banyak menguasai aset agama. Di Kota Roma, ada banyak gedung-gedung memiliki nama-nama pemimpin agama. Kelompok agamawan ini justru menjadi pengelola keuangan terbesar. Mereka bekerjasama dengan lembaga keuangan seperti bank. Sebenarnya tidak kaget, karena jika dibaca dari sejarah gerejalah yang banyak memberikan aset pada bank. 

Persoalan representasi sangat penting dalam hal pendanaan. Sebuah Gerakan Women of Faith di UK, melakukan dekonstruksi pada gerakan keagamaan, di kala para perempuan tidak muncul dalam lembaga-lembaga keagamaan. Laki-laki dianggap sangat dominan menguasai semua ruang pengambilan keputusan berhubungan dengan agama. Perempuan dianggap tidak kompeten berhubungan dengan agama. Bahkan mungkin dianggap tidak menguasai. Tetapi Gerakan Women of Faith, telah berhasil membangun narasi baru dan dekonstruksi pemahaman terkait dengan aktor agama. Perempuan memiliki keyakinan yang kuat pada praktik keagamaan agar sensitif gender. DEngan inilah dekonstruksi terjadi. Kini jaringan telah mengumpulkan 500 perempuan dari berbagai lembaga, justru mendapatkan dukungan penuh dari universitas. 

Dari plenari terakhir ini, ada sejumlah hal penting yang menjadi catatan saya, terkai dengan prinsip penting memahami etika global diantaranya adalah; 

Pertama, desentralisasi, bahwa pendanaan yang mudah diakses oleh berbagai kelompok. 

Kedua, adil untuk semua. Pada prinsip ini, tentu pendanaan penting untuk memastikan prinsip inklusif bagi semua pihak, tanpa ada diskriminasi karena agama, etnik, atau ekspresi gender. 

Ketiga, penggunaan teknologi seperti AI untuk sebuah perubahan lebih baik. Kesadaran bahwa kerja-kerja AI akan menggantikan tenaga manusia, maka perlu dirumuskan sebuah regulasi agar secara etik ada penegakan, sehingga tenaga manusia dibutuhkan. Khususnya persoalan antar agama, tentu rasa dan lokalitas hanya bisa direpresentasikan secara optimal oleh manusia. *** 





Minggu, 02 November 2025

Defending Democracy, Mobilizing Movements, and New Frontiers for Citizen Action


Bangkok, 2 November 2025 

Demokrasi memang sedang lesuh. Tetapi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Gen Z muncul di mana-mana. Mereka marah. Masa depan mereka dikaburkan dengan praktik politik oligarki yang membawa korupsi di berbagai lapisan. Gaya hidup para pejabat yang berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat akar rumput. Di sejumlah negara, semua struktur demokrasi dijalankan dengan sangat baik, dimana pemilu digelar secara rutin, rakyat memilih, dan institusi demokrasi bekerja seperti biasa. Tapi mengapa korupsi terus berjalan. Kekerasan berbasis gender dan seksual terjadi di berbagai aspek. Konflik terus bermunculan karena ruang aspirasi rakyat disekuritisasi dan dianggap ancaman. Mengapa seolah prosedur demokrasi dijalankan, tetapi ketimpangan dan ketidakadilan masih berlaku. 

Demokrasi Kita Ada Dimana?

Sekretaris Jenderal ADN, Ichal Supriyadi, membuka pertemuan dengan peluncuran Democracy Outlook Report 2025yang memotret kondisi demokrasi di Asia. Ia menyoroti penyusutan ruang sipil di hampir seluruh kawasan, di mana banyak pemerintah justru menggunakan hukum untuk melindungi kepentingan elite. Tantangan transnasional seperti ekspansi pengaruh otoritarian, kendali atas platform digital, dan lemahnya literasi politik menjadi ancaman serius bagi masyarakat sipil. Ichal menegaskan pentingnya memperkuat media, pendidikan publik, serta kepercayaan antarwarga dan sekutu. “Generasi Z bukan sekadar penerus, mereka adalah inovator yang menjaga agar gerakan ini tetap hidup,” ujarnya.

Seiring dengan Pidato Ichal, Gina Romero, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi, menegaskan bahwa tahun 2025 menjadi salah satu periode paling berat bagi pejuang hak asasi manusia. Namun, ia juga melihat kekuatan luar biasa masyarakat sipil yang tidak mundur di tengah krisis. “Ketika sektor-sektor sipil diserang, mereka tidak bersembunyi — mereka justru bersatu dan terus bekerja,” katanya. Gina menekankan pentingnya jejaring solidaritas global, dari akar rumput hingga lembaga internasional, untuk melawan arus securitization, krisis ekonomi, dan narasi kebencian yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Ia menutup dengan seruan moral: kebebasan berekspresi, beragama, dan berserikat adalah hak dasar manusia yang tidak boleh dicabut.

Sementara itu, Parit Wacharaindhu, anggota Parlemen Thailand, memberikan refleksi tajam tentang demokrasi di negaranya yang telah mengalami 13 kudeta militer dalam sembilan tahun. Ia menyebut tiga medan utama perjuangan demokrasi: di institusi politik, di ruang informasi, dan di ranah ide. Parit menyoroti tantangan disinformasi yang didukung oleh militer dan penggunaan teknologi untuk menyerang aktivis. “Pertarungan kita adalah memenangkan hati dan pikiran publik,” ujarnya. Meski banyak kemunduran, ia menegaskan, “Jawabannya selalu demokrasi.” Seruan ini menutup sesi pembukaan ADN 2025 dengan semangat yang menggugah: untuk tetap percaya bahwa daya tahan masyarakat sipil, lintas generasi dan lintas negara, adalah benteng terakhir demokrasi di Asia.

Demokrasi Asia di Persimpangan: Antara Performa dan Perlawanan

Sesi Pleno pertama Asia Democracy Assembly 2025 dibuka oleh Beena, yang menegaskan bahwa demokrasi sering kali disempitkan hanya pada proses pemilu. Dalam konteks negara besar seperti India, katanya, sulit memastikan setiap warga benar-benar memilih pemimpin yang mewakili aspirasi mereka. Namun, di tengah krisis kejahatan dan korupsi politik, generasi muda—khususnya Generasi Z—tampil sebagai kekuatan baru yang tak sekadar “mengucap salam,” tapi berani menumbangkan pemerintahan yang gagal mendengar rakyatnya.

Dr. Maiko Ichiai kemudian memaparkan tiga perubahan besar yang saling memperkuat kemunduran demokrasi di Asia: pergeseran kekuatan global antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memicu militerisasi dan politik keamanan (securitization); perubahan norma politik yang memperkuat konservatisme dan identitas tradisional; serta kemajuan teknologi yang menggerus kepercayaan sosial dan memperlemah hak asasi manusia. Ia menyoroti bahwa banyak pemerintah kini menggunakan hukum untuk melayani kepentingan elite dan menjustifikasi represi, sementara perusahaan besar di bidang teknologi berperan dalam mengendalikan data dan opini publik. Maiko menyerukan pentingnya memperkuat media independen, pendidikan publik, serta kepercayaan sosial sebagai modal utama mempertahankan demokrasi di kawasan.

Sementara itu, Karel Jiasa Antonio dari ADN menggambarkan era saat ini sebagai masa “demokrasi performatif”—demokrasi yang secara formal tetap berjalan, tetapi sesungguhnya hanya menampilkan ilusi partisipasi. Ia menyinggung elit capture, oligarki, dan co-optation dalam tubuh organisasi masyarakat sipil sendiri, yang tanpa sadar memperkuat status quo. William Gois, Regional Coordinator, Migrant Forum in Asia, menambahkan refleksi kritis: ruang sipil terus menyempit, sementara masyarakat sipil sering terjebak dalam rutinitas birokratis tanpa keberanian moral untuk berpihak pada kelompok tertindas, termasuk migran, perempuan, dan pekerja informal. “Pertanyaan sesungguhnya,” ujarnya, “adalah apakah kita masih berdiri di sisi yang tertindas?” Di tengah pesimisme ini, para pembicara sepakat bahwa energi dan inovasi Generasi Z, ditopang oleh solidaritas lintas sektor dan lintas negara, adalah kunci untuk mengembalikan makna sejati demokrasi di Asia.

Perlawanan Tanpa Batas: Suara dari Pengasingan

Sesi Pleno kedua Asia Democracy Assembly 2025 menghadirkan kisah-kisah menegangkan dari para pembela demokrasi dan hak asasi manusia yang hidup dalam pengasingan. Noor Azizah, Co-Executive Director Rohingya Maìyafuìnor Collaborative Network, membuka dengan kesaksian tentang genosida Rohingya yang berlangsung sejak 1942. Ia menggambarkan bagaimana ujaran kebencian digunakan sebagai taktik militer untuk menghapus identitas sebuah bangsa. “Kami disebut bukan bagian dari Myanmar, gelap seperti binatang, tak pantas hidup di tanah kami sendiri,” ujarnya. Kini, dari lebih tiga juta warga Rohingya, hanya satu persen yang hidup dengan identitas utuh, sementara sisanya terjebak di kamp pengungsian atau penjara terbuka. Noor menegaskan bahwa pengakuan genosida saja tidak cukup tanpa solidaritas nyata: “Dunia telah mengakui, tetapi tubuh kami tetap hidup di bawah tenda tanpa atap.”

Dari India, Atifa Amiry, pendiri The Amiri Foundation, berbicara melalui video. Baginya, perlawanan bagi perempuan Afghanistan bukan pilihan, melainkan syarat untuk bertahan hidup. “Mereka bisa mengusir tubuh kami dari tanah air, tetapi tidak bisa mengusir ketahanan kami,” katanya lantang. Dari komunitas Tibet, Phurbu Dolma menuturkan kisah generasi yang terus melarikan diri dari pendudukan Tiongkok dan membangun pemerintahan dalam pengasingan. Sementara Dr. Amani Odeh dari Palestina menggambarkan reruntuhan rumahnya dan suara anak perempuannya yang terperangkap di bawah tembok yang runtuh. “Pendudukan bisa menguasai tanah kami, tapi tidak bisa menjajah ingatan kami,” ucapnya lirih. Bagi mereka, perlawanan bukan hanya tentang kemerdekaan, tapi tentang menjaga martabat manusia.

Sesi ini ditutup dengan kesaksian Tashken Davlet, aktivis hak asasi Uyghur, dan Alric Lee, Direktur Lady Liberty Hong Kong. Keduanya menggambarkan represi yang melintasi batas negara: kamp konsentrasi di Xinjiang, penahanan sewenang-wenang terhadap keluarga aktivis, dan pengasingan yang memisahkan generasi. “Ketakutan adalah senjata paling efektif untuk membungkam yang tertindas,” kata Tashken. Sementara Alric menambahkan dengan nada tenang, “Kami mungkin kehilangan kota kami, tapi tidak kesadaran kami.” Dari Rohingya hingga Hong Kong, dari Kabul hingga Ramallah, satu pesan menggema di ruangan itu: perlawanan sejati tidak memiliki batas negara — karena ia lahir dari cinta pada kemanusiaan.

Digital Resistance: Reclaiming Narratives and Power in the Online Age

Pleno terakhir Asia Democracy Assembly 2025, yang dimoderatori oleh Muda Tariq dari Forum Asia, membahas bagaimana aktivisme digital dan perlawanan kreatif sedang membentuk ulang wajah demokrasi di Asia. Para pembicara berbagi strategi beragam untuk melawan represi, disinformasi, dan pengawasan di dunia digital yang semakin dikendalikan atas nama keamanan.

Chia-Shou Tang, Manajer Riset dari Open Culture Foundation, menjelaskan meningkatnya serangan siber yang disponsori negara—mulai dari email phishing, peretasan malware, hingga peniruan organisasi masyarakat sipil yang menargetkan aktivis, akademisi, dan legislator. Sebagai bentuk perlawanan, ia menekankan pentingnya membangun literasi keamanan digital di tingkat akar rumput melalui Security Makeover Program (SMP) yang melatih aktivis, memetakan risiko, dan menyusun kebijakan keamanan bersama. “Langkah pertama dalam keamanan,” katanya, “adalah mengenali mata rantai terlemah kita—dan memperbaikinya bersama.”


Dari Indonesia, Razi Thalib, pendiri Weapons of Mass Discussion, merefleksikan bagaimana represi justru bisa berbalik arah. Ia menegaskan bahwa ukuran keberhasilan kampanye digital bukan pada jumlah likes atau followers, tetapi pada seberapa besar risiko yang berani dihadapi. “Kamu tahu perubahan sedang terjadi,” ujarnya, “ketika kamu mulai diserang.” Dari Nepal, Bridhika Senchury, salah satu pendiri Dalit Lives Matter Global Alliance, berbagi tentang diskriminasi kasta yang beririsan dengan keadilan iklim dan aktivisme digital. Saat media sosial diblokir, para aktivis menciptakan jaringan perlawanan tanpa pemimpin—gerakan yang lentur dan serentak, sulit dikendalikan oleh struktur kekuasaan negara.


Akhirnya, Leni Velasco, Sekretaris Jenderal DAKILA Artist-Activist Collective (Filipina), berbicara tentang merebut kembali narasi melalui seni. “Rezim otoriter menang dengan menguasai cerita,” katanya. “Kita melawan dengan memanusiakan kembali cerita itu.” DAKILA menggunakan film, museum digital, dan festival hak asasi manusia untuk membuat kebebasan terasa pribadi dan nyata, mengubah ketakutan menjadi kekuatan kreatif. Seperti yang ia simpulkan, “Mereka yang tak berdaya masih memiliki senjata paling kuat—cerita. Karena saat kita membangun para pencerita, kita sedang membangun demokrasi.”


Penutupan 

“Saya tidak setuju dengan Willian yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mendengarkan masyarakat sipil? Begitu Debby Stothad, Esecutive Director, ALTSENA-Burma, memulai pidato refleksinya. Ini karena keterlibatna Debby di sejumlah pertemuan closed door dengan sejumlah pemerintah di ASEAN, juga sejumlah pelaku ekonomi di global, yang mereka gerah dengan gerakan masyarakat sipil yang terus mengumandangkan pentingnya prinsip HAM dijalankan. Meskipun sebagian melakukan playing victim, tetapi suara-suara protes masyarakat diakui membuat pemerintah harus memutar otak agar mereka ada di posisi tengah antara kepentingan rakyat dengan kepentingan korporate. 


Sebelumnya, Dr. Chelsea Chia-chen Chou, Director for International Cooperation, Taiwan Foundation for Democracy, juga memberikan penekanan pentingnya menemani kehadiran Gen Z, sebagai generasi baru dalam gerakan. Mereka membutuhkan pengetahuan dan kebijaksanaan dari para pendahulu, untuk membuat gerakan-gerakan mereka lebih memiliki kepekaan pada HAM, dan memiliki skill membaca intervensi pihak-pihak lain yang berpotensi menyulut kekerasan pada aksi organik rakyat.  


Membungkus hari kedua, Chair Women ADN, Ruby Kholifah, merefleksikan Asia Democracy Assembly 2025 sebagai bukti bahwa demokrasi bukan janji yang selesai, melainkan perjuangan yang terus hidup—rapuh, tetapi selalu dibangun kembali melalui keberanian, kreativitas, dan kepedulian. Ia menyinggung perjalanan empat pleno yang membuka wajah demokrasi Asia hari ini: penyempitan ruang sipil dan praktik securitization terhadap kritik, suara-suara pengasingan yang menolak dilupakan, hubungan kuasa antara bisnis, politik, dan disinformasi, hingga seni dan inovasi digital yang menjadi senjata harapan. Ruby menegaskan bahwa demokrasi tidak dijaga oleh institusi besar, tetapi oleh manusia biasa—perempuan, guru, anak muda—yang merawat kebenaran dan solidaritas. Ia menutup dengan optimisme, dimana perubahan itu nyata. Ia mencontohkan kisahnya sendiri tentang Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), di mana perempuan merebut hak menafsirkan agama dan menjadikan pengalaman hidup sebagai dasar tafsir kemanusiaan. Pesan akhirnya sederhana namun kuat: membela demokrasi dimulai dari keberanian untuk peduli, terhubung, dan bertindak bersama.


***