Kalau dulu habis sahur tidur lagi, sekarang habis sahur langsung ngaji, yang sifatnya interaktif. Hari ini, 3 April 2022, pukul 5.30 pagi, saya mengikuti secara penuh pembahasan tentang Metodologi KUPI, yaitu kerangka pikir dan pendekatan dalam membaca ayat-ayat Alquran dan Hadis, menggunakan perspektif gender. Sesi kali ini membahas tentang pengalaman dan pengetahuan perempuan sebagai pondasi dalam merumuskan pandangan keagamaan KUPI. Nyai Nur Rofiah dan Kyai Faqihudin membahas sejumlah elemen kunci yang dijadikan landasan KUPI dalam mengeluarkan pandangan keagamaan yang lebih adil pada semua, khususnya perempuan.
Perspektif Gender dan perempuan dalam kerangka Fatwa KUPI
Sebelum masuk kepada pembahasan tentang kerangka berpikir dalam fatwa KUPI, hal yang menurut saya penting dimatangkan adalah perspektif gender dan perempuan. Ada dua aras berpikir yang dibawah KUPI, yaitu kesalingan yaitu bahwa laki-laki dan perempuan sebagai manusia sama sama setara di mata Tuhan. Keduanya perlu bekerjasama dalam membangun kebahagiaan dan kesejahteraan.
Tetapi, dalam hal pemenuhan kesetaraan untuk keadilan, perempuan memiliki kekhasan karena konsekuensi dari kemampuan reproduksinya. Tidak seperti laki-laki, perempuan sebagian besar menstruasi, hamil dan melahirkan. Di setiap fase reproduksi perempuan memiliki pengalaman rasa sakit fisik dan non fisik yang penting untuk didengarkan dan dipertimbangkan dalam perumusan pandangan keagamaan dan juga perumusan kebijakan. Dr. Nur Rofiah menyebutnya keadilan hakiki, yaitu keadilan yang juga mempertimbangkan kebutuhan khusus perempuan. Di sinilah, pentingnya KUPI, suara perempuan ini menjadi referensi kunci setara dengan teks-teks hukum dan keislaman.
Selain perspektif perempuan, nara sumber menjelaskan sistematika berpikir dalam fatwa KUPI, diantaranya adalah;
Pertama, visi keislaman rahmatan lil’alaim. visi besar islam ini harus dimakna bahwa ini berlaku kepada semua makhluk ciptaan Allah, khususnya manusia. Tentu yang dimaksud di sini adalah relasi manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam, yang keduanya menimbulkan sebab akibat. Pengalaman manusia menjadi pijakan penting. Perempuan yang memiliki pengalaman biologis, sosial dan spiritual perlu dipertimbangkan dalam membaca visi rahmatan lil’alaim. Ini karena perempuan memiliki pengalaman biologis seperti menstruasi, hamil, dan melahirkan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Maka pengalaman perempuan secara reproduktif harus menjadi pertimbangan dalam membaca visi keislaman.
Kedua, pondasi nilai yang dibawa oleh KUPI adalah menghadirkan kebaikan dan menolak keburukan dan mengarah pada perwujudan maslahat hidup manusia, laki-laki dan atau perempuan. Bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan kebahagiaan secara setara, tetapi ada kebutuhan khusus perempuan yang lahir dari peran reproduksinya yang laki-laki tidak akan pernah bisa mengalami dan merasakan, tetapi bisa berempati. Maka dari itu, cakupan rumusan maslahat perlu secara khusus mencakup pengalaman dan pengetahuan khusus perempuan. misalnya pengalaman menstruasi, hamil, dan melahirkan, berkonsekuensi pada rasa sakit fisik dan mental yang tidak bisa dialami oleh laki-laki. Maka menghadirkan kebaikan dan menolak keburukan juga harus dibingkai dalam konteks pengalaman perempuan.
Ketiga, dalam hal menghadirkan kebaikan dan menolak keburukan (dar’u al-mafasid wa jalb al-masalih), islam menggunakan konsep dasar maqasid shariah, yang meliputi lima hal yaitu muslim berkewajiban mewujudkan, melindungi, melestarikan agamanya, jiwanya, pikirannya, keturunannya, dan hartanya. Dalam hal menjaga agama, maka setiap muslim diperbolehkan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk pengembangan agama. Perempuan tidak terkecuali tidak boleh dilarang dalam mengembangkan ilmu untuk kepentingan visi agama yang besar yaitu rahmatan lil’alaim.
Dalam hal menjaga jiwanya, Islam melarang bunuh diri atas dasar apapun. Laki-laki dan atau perempuan perlu dipastikan perlindungannya, agar tetap hidup dan selamat. Maka, segala praktik-praktik yang berpotensi menghilangkan jiwa perempuan seperti female genital mutilation, melahirkan usia muda, perkawinan anak, honor killing, kekerasan terhadap perempuan, harusnya dihilangkan dari muka bumi karena tidak sesuai dengan visi besar keislaman rahmatan lil’alamin. Perempuan harus dijaga untuk tidak meninggal karena melahirkan, maka dari itu perkawinan anak perlu dihilangkan, upaya pendidikan untuk perempuan dibukakan aksesnya, dan jaminan kesehatan perempuan perlu diperkuat.
Dalam menjaga pikirannya, muslim dituntut untuk selalu berpikir rasional dan tidak kehilangan akalnya, maka segala praktik yang berpotensi menghilangkan akal kemanusiaan laki-laki dan atau perempuan maka wajib dihindari. Kompleksitas masyarakat, tentu sumber-sumber yang menghilangkan akal seperti alkohol, narkoba, bukan satu-satunya, melainkan sumber-sumber lain juga perlu dibaca dalam kerangka kritis, yang berpotensi dalam menghilangkan rasionalitas sebagai manusia. Misalnya obsesi negara islam atau pikiran patriakis yang meletakkan derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan, apapun kondisinya. Ini juga membahayakan akal sehat.
Perspektif gender dan perempuan, membantu membunyikan keturunan sebagai tanggungjawab bersama dimana laki-laki dan perempuan , atau pentingnya perlindungan perempuan secara khusus dari ancaman bahaya dan kematian, sehingga keturunan akan punah. Maka penting mengupayakan akses dan kualitas layanan kesehatan yang maksimal dan lingkungan sehat agar perempuan melahirkan keturunan yang sehat jasmani, rohani dan spiritual. Relasi setara di dalam rumah menghadirkan lingkungan sehat bagi perempuan. Kekerasan dalam bentuk apapun akan mengganggu perempuan menjaga keturunannya. Tentu saja penerjemahan dari maqasid shariah perlu dibaca sesuai dengan konteks masyarakat kekinian.
Keempat, menjadikan perempuan sebagai subjek penuh dari tafsir agama. Ini artinya perempuan menjadi subjek pembahasan, perempuan sebagai pembahas subjek , dan perempuan penentu keputusan terhadap sikap agama.
Apakah laki-laki terlibat? Secara defnisi KUPI, ulama perempuan adalah laki-laki dan perempuan yang memiliki perspektif gender dan latar belakang keagamaan yang kuat, dan mau bergerak. Dalam prakteknya, KUPI mengangkat isu pencegahan perkawinan anak dan penghapusan kekerasan seksual adalah isu generik perempuan seluruh dunia. Para ulama perempuan, yaitu perempuan dan laki-laki, yang berilmu mendalam, yang dengannya memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), mengamalkan, menyampaikan, menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Contoh fatwa terkait pencegahan perkawinan anak. Secara proses , topiknya relate dengan pengalaman perempuan, pembahasan dihadiri oleh para ulama perempuan , dan mereka perumusan sikap juga dilakukan oleh para ulama perempuan. Arah logika dalam fatwa KUPI adalah, bahwa yang paling dirugikan dalam praktik perkawinan anak adalah perempuan, maka ini bisa dipandang sesuatu yang membahayakan kehidupan perempuan, olekarenanya WAJIB dihindari. Praktik perkawinan anak berpotensi merusak dan membahayakan akal, jiwa, keturunan maka WAJIB dihindarkan. Praktik perkawinan anak lebih banyak menghadirkan mudarat daripada maslahat pada perempuan, jelas bertentangan dengan visi Islam rahmatanlil’alamin. Maka sikap KUPI tegas, bahwa pencegahan perkawinan anak hukumnya WAJIB.
Argumentasi yang diberikan KUPI berbasis kepada teks-teks keagamaan yang berfokus pada gagasan menghindarkan bahaya, menjaga kemaslahatan, perintah menghasilkan generasi berkualitas, dan lain-lain, yang intinya mengarah kepada keputusan bahwa pencegahan perkawinan anak WAJIB. Detil tentang bagaimana KUPI membangun argumentasi berbasis pada suara korban perempuan, instrumen HAM, dan teks-teks keislaman, bisa dibaca langsung di dalam Buku Metodologi KUPI.
Ini merupakan tangkapan pribadi saya, semoga tidak salah memahami nara sumber yang sangat keren pagi ini. Buat yang tidak hadir, silahkan hadir di acara Ngaji abis sahur ini masih ada beberapa pertemuan membahas metodologi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar