Senin, 29 Maret 2021

Prepres No. 7 Tahun 2021 : Sudahkah Inklusif Perempuan dalam Penanggulangan Ekstrimisme Kekerasan

Pada tanggal 29 Januari 2021,  

AMAN Indonesia dengan Jaringan Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC), bersama puluhan partnernya, menyelenggarakan Kenduri Perdamaian yang bertujuan untuk sosialisasi Peraturen Presiden No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan Mengarah pada Terorisme (disingkat RAN PE). Hajatan ini bukan saja sebagai ekspresi rasa syukur terhadap lahirkan sebuah dokumen yang menekankan pada pendekatan lunak pada penanganan ekstemisme kekerasan, tetapi juga sebuah dokumen yang memberikan ruang gerakan kepada masyarakat sipil dan juga pengarusutamaan gender. 

Bagi saya, aturan ini tentu seperti oase yang hadir di tengah kekeringan dukungan secara legislasi yang bisa memperkuat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, terkait dengan penanggulangan ekstremisme kekerasan. Maka, meskipun tidak sempurna, bagi saya regulasi ini memberikan dukungan pentingnya melakukan pengarusutamaan gender dalam pencagahan dan penanganan ekstremsime kekerasan. 

Tulisan ini ingin membantu pembaca untuk memahami subtansi dari Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 tentang RAN PE, dan membaca peluang untuk menurunkannya dalam bentuk Rencana Aksi Daerah. 
 

Arti Penting RAN PE 
Ada banyak perdebatan yang terjadi selama proses konsultasi RAN PE, tetapi di sisi lain juga ada keinginan besar dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk membuka ruang sebesar-besarnya agar prinsip inklusif diterapkan di semua level. Sebagai wakil masyarakat sipil yang terlibat dalam empat konsultasi, saya merasakan betul dinamika perdebatan terminologi ekstremisme, dan keterlibatan masyarakat sipil. Khususnya, memastikan pengarusutamaan gender terjadi di dalam aturan yang menaungi RAN ini, serta tereksplisitkan di dalam program-programnya. Lantas, apa arti penting RAN PE ini bagi masyarakat? 

Pertama, RAN PE memberikan pengakuan kepada publik tentang pentingnya pendekatan lunak (soft approach) dimana aktor-aktor non tradisional keamanan, seperti organisasi masyarakat sipil, organisasi perempuan, organisasi keagamaan, organisasi adat, organisasi anak-anak muda, para tokoh lintas iman, dan para tokoh adat bisa aktif terlibat dalam upaya pencegahan ekstremisme kekerasan. 

Kedua, RAN PE berkomitmen menjaga "civic space" tetap ada sehingga kerja-kerja pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme tidak sumir, tanpa hadirnya masyarakat sipil, khususnya perempuan dan anak muda. 

Ketiga, RAN PE berprinsip bahwa pengarusutamaan gender harus menjadi nafas untuk dalam kerja-kerja pencegahan sampai penanganan dampak ekstremisme kekerasan kepada perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas lain. Olehkarenanya, saya melihat ada pergeseran formula dalam meletakkan indikator gender di dalam draft RAN, dimana pada awal pembuatan, hanya menyoroti pada peran perempuan dalam pencegahan, kini ada sejumlah indikator pada intervensi deradikalisasi dan kontra radikalisme. 


Tentang RAN PE

Dokumen RAN PE terdiri dari dua bagian yaitu ; Pertama, Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 yang membahas tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Mengarah pada Terorisme (RAN PE); kedua, bagian lampiran yang memuat tentang landasan pembuatan RAN PE dan matrix program yang terdiri dari tiga pilar. 

Pada bagian pertama yaitu dokumen Perpres No. 7 tahun 2021, terdiri dari sejumlah definisi kunci yang dibahas di dalam dokumen ini, tujuan keberadaan RAN PE, tim penanggunjawab, sekretariat bersama, dan pola kordinasi. 

Sementara pada bagian kedua dari dokumen Perpres adalah lampiran yang terdiri dari penjelasan urgensi dari keberadaan RAN PE, prinsip-prinsip yang dipakai dalam RAN, dan matrix program lengkap hasil dari kompilasi berbagai kementerian lembaga.

RAN ini dibangun dengan semangat pemenuhan HAM terkait dengan perlindungan atas rasa aman bagi warga negara dari tindak pidana ekstrimisme dan terorisme. Berikut kutipan lengkapnya "RAN PE bertujuan untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."

Sejumlah prinsip-prinsip yang dipakai oleh RAN PE diantaranya adalah hak asasi manusia; supremasi hukum dan keadilan; pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak; keamanan dan keselamatan; tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); partisipasi dan pemangku kepentingan yang majemuk; serta kebhinekaan dan kearifan lokal. Apa makna dari dijalankannya prinsip-prinsip ini? 

Prinsip ini bisa bermakna bahwa implementasi RAN PE seharusnya mempertimbangkan pemenuhan HAM korban,baik itu korban langsung dan tidak langsung. Apalagi Indonesia sudah memiliki aturan penanganan korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang secara detil bisa dilihat di UU No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban . Sebagai mandat UU No. 5 tahun 2018, Indonesia telah juga mengeluarkan PP No. 35 tahun 2020 tentang Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Prinsip HAM juga diterapkan pada saat penangkapan dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan pada saat penangkapan, dan penanganan dalam penjara. Selain itu, prinsip Yang juga tak kalah pentingnya adalah prinsip 

Pada prinsip pengarusutamaan gender RAN PE menekankan pada penguatan peran perempuan dalam pencegahan ekstrimisme, yang mencakup tiga ranah yaitu deradikalisasi, kontra radikalisme, dan kesipasiagaan. Artinya, PUG dalam bentuk analisis gender seharusnya diterapkan dalam ketiga ranah kesiapsiagaan. Meskipun, tentu saja, penting memastikan adanya indikator gender di dalam dua pilar lainnya, karena gender sebagai perspektif akan membantu memetakan kebutuhan dan bentuk intervensi yang sesuai dengan gendernya.  

Dan yang terakhir adalah  prinsip tata pemerintahan yang bersih adalah kunci keberhasilan, karena komitmen tinggi tanpa didukung oleh sistem demokratis dalam penanganan tindak pidana ekstrimisme, maka akan kurang maksimal. Artinya semua upaya tidak akan bisa menyasar pada root causes yang menyeret laki-laki maupun perempuan terlibat dalam ekstrimisme.


Dimana Pengarusutamaan Gender dalam RAN PE?
Ketika draft dokumen ini dibahas pada tahun 2017, saya masih ingat ada dua bagian yang secara eksplisit meletakkan indikator gender yaitu pada bagian prinsip-prinsip dan program yang menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dan organisasi perempuan. Seiring dengan proses negosiasi, saya menemukan perkembangan komitmen pada pemerintah untuk mempertebal PUG di dalam dokumen perpres. 

Pertama, secara mendasar RAN PE menggunakan prinsip Hak Asasi Manusia, yang didalamnya terdapat pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak. Secara lengkap bunyi prinsip-prinsip bisa dibaca dibawah ini:

"RAN PE memperhatikan prinsip- prinsip hak asasi manusia; supremasi hukum dan keadilan; pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak; keamanan dan keselamatan; tata kelola pemerintahan yang baik (good gouernance); partisipasi dan pemangku kepentingan yang majemuk; serta kebhinekaan dan kearifan lokal."

Sebagai prinsip, ini artinya bahwa kerja-kerja dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme kekerasan mengarah terorisme haruslah memperhatikan pentingnya analisis gender, indikator gender, dan pelibatan perempuan di semua intervensi pilar. 

Kedua, indikator gender bisa dikenali pada aspek program, khususnya pada Pilar Pencegahan yang terdiri dari tiga hal yaitu kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Meskipun masih tipis-tipis, tetapi bahwa ada sejumlah kegiatan yang secara eksplisit mengintegrasikan perspektif perempuan dan anak-anak, termasuk di dalam  penanganan LAPAS. 

Sebagai prinsip, tentu saja dokumen program bisa ditafsirkan lagi menjadi lebih detil dalam hal PUG, sesuai dengan indikator gender yang lebih tebal. Terutama diperjelas dalam hal membaca motivasi perempuan dalam keterlibatannya di jaringan Extremisme, melacak gender pathways dimana pintu masuk-pintu masuk seperti perjodohan dalam perkawinan, perasaan berdosa, krisis indentitas, sering dipakai untuk membuka jalan menuju tahapan radikalisme pada perempuan yang lebih mendalam. Dalam konteks analisis gender, juga penting diperhatikan pengalaman khusus ketidakadilan gender, akan memperjelas push and pull factors yang mempengaruhi perempuan terlibat. 

Means of Implementation (Sarana Pelaksana) RAN PE 
Sarana Pelaksana atau Means of Implementation (MoI) adalah sejumlah prasyarat atau dukungan sistem dan infrastruktur yang bermanfaat dalam mendorong pelaksanaan RAN PE di tingkat daerah berlangsung secara maksimal. Ada lima komponen penting bicara tentang MoI yaitu; 

Pertama, Kordinasi Lintas Aktor, merupakan elemen paling penting dalam implementasi RAN PE. RAN menjadi tanggungjawab kementerian dan lembaga lintas sektor, sehingg dijalankannya juga menggunakan prinsip kolaborasi agar bisa maksimal. Program matrix yang ada di bagian lampiran bisa dipakai sebagai panduan masyarakat sipil untuk terlibat dalam pelaksanaan. 

Kedua, Financing atau pembiayaan. RAN PE akan dibiayai melalui tiga sumber pendanaan, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 11 yatu;
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau 
c. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan peraturan perltndang-undangan.

Ketiga, Peningkatan Kapasitas, tim pelaksana RAN PE. Tingginya mutasi atau pergantian personal di dalam birokrasi pemerintah, berpotensi menghambat implementasi RAN PE. Dengan memiliki kejelasan mekanisme peningkatan kapasitas kelompok kerja, akan menjaga sustainability pengetahuan dan sistem transfer pengetahuan berjalan dengan maksimal.

Keempat, kemitraan dengan berbagai aktor. RAN PE mengakui pendekatan the whole society and goverement approach, itu artinya bahwa RAN PE diharapkan dijalankan dengan keterlibatan banyak pihak, baik dari unsur pemerintah, masyarakat sipil, maupun sektor privat. Meskipun demikian,    memformulasikan konsep dan  bentuk kemitraan yang setara dan memberikan daya efektifitas yang kuat, dengan mempertimbangkan keragaman aktors, sangat urgen. Ini karena partnership atau kemitraan merupakan gagasan yang disukai banyak orang, tetapi tidak mudah dijalankan karena pengalaman dan konsep kemitraan berbeda-beda.  Budaya kemitraan tiap lembaga berbeda-beda, dan tingkat kepercayaan antar lembaga juga beragam. Maka diharapkan bentuk sekretariat bersama bisa menjadi jembatan untuk merumuskan panduan kerjasama yang lebih konkrit. 

Kelima, Monitong dan Evaluasi. fungsi ini melekat pada Sekretariat Bersama yang dimandatkan oleh RAN PE dalam pasal 5 -7, dimana tidak hanya sebagai mekanisme mengoptimalkan kordinasi, tetapi juga menjelaskan tentang sistem pelaporan yang terkordinasi. Gagasan Review Digital implementasi RAN P3AKS yang dijalankan oleh AMAN Indonesia melalui website www.wps-indonesia.com seharusya bisa terjadi pada dua tahun implementasi, sehingga bisa maksimal. Karena jika review bisa dilakukan pada dua tahun pertama, maka perombakan strategi implementasi akan bisa dilakukan lebih awal, sebagai bentuk adaptasi dengan dinamika masyarakat yang tinggi.

Anggota Sekretariat Bersama tidak hanya unsur kementerian dan lembaga, tetapi pelibatan masyarakat sipil mendapatkan ruang yang seluas-luasnya. Klausul ini ada pada pasal 8 yang berbunyi" Dalam melaksanakan RAN PE, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dan melibatkan peran serta masyarakat".

*** 
Ditulis oleh Ruby Kholifah - dwiruby@amanindonesia.org 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar