Senin, 05 Oktober 2020

Ngobrolin 20 tahun Resolusi 1325: Multilateralisme dan Defisit Perempuan dalam Perundingan Damai


Berapa banyak diantara kalian yang pingin dikenal di dunia global? Saya yakin hampir setiap orang ingin dikenal karyanya di tingkat global, termasuk para praktisi meletakkan dunia global sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam melakukan advokasi pemenuhan HAM serta menciptakan perdamaian. Bagi saya, interaksi dan kerja-kerja di tingkat global seharusnya membawa dampak di tingkat nasional. Terkhusus interaksi dengan instusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang selama ini berperan membangun aturan normatif perlindugan HAM dan menjaga perdamaian dunia, serta memfasilitasi perbincangan antar  aktor pemerintah dan non pemerintah berbagai negara di dunia ini. Interaksi dengan dunia global terjadi di ruang yang namanya Forum Multilateral, karena dihadiri oleh banyak perwakilan negara, tapi juga perbincangan di kalangan dunia non pemerintah. 

Can Multilaterilism Bring Peace? Dalam enam atau tujuh tahun terakhir, saya mencoba mempelajari bagaimana institusi multilaterisme bekerja, meski saya bukan ahli multilateralisme, tetapi saya mendapatkan insight ketika pada tahun 2015-2017 mengikuti perjalanan advokasi internasional di Kantor PBB di New York, dan mengamati bagaimana forum membahas masalah dan melahirkan dokumen. Buat kalian yang biasa kerja praktis dan selalu pingin solusi cepat, maka ruang negoasiasi di multilateralisme akan terkesan main-main dan membosankan. Tetapi, disinilah wilayah kerja yang berbeda dimana perdebatan "kata" sangat menentukan nasib kebijakan di tingkat nasional, dengan demikian tentu berpengaruh pada nasib perempuan. Misalnya pada kata "hak seksualitas" yang banyak tidak disepakati oleh negara, termasuk Indonesia, tentu saja membawa konsekuensi pada ketidakjelasan negara dalam melindungi hak-hak minoritas LGBT di negeri ini. Tahun 2019,  Amerika melayangkan Veto pada di dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang terkait dengan bahasa "kesehatan reproduksi dan seksual" untuk para korban perkosaan perang, yang berkonsekuensi pada pemenuhan kebutuhan layanan jangka panjang untuk mereka. 

Dalam hal mendorongkan agar multilateralisme bekerja maksimal, peran masyarakt sipil sangat dibutuhkan. Organisasi-organisasi yang sudah cukup dikenal di kalangan pemerintah maupun NGO senantiasa melakukan konsolidasi rutin untuk memastikan agar pemerintah senantiasa mendengarkan suara-suara korban, perkembangan isu di tingkat masyarakat, dari perspektif perlindungan HAM. Di forum NGO inilah, organisasi seperti AMAN Indonesia mensinergikan langkah-langkah advokasi di tingkat global. Ada banyak cara yang dipakai, mulai melakukan konsolidasi di tingkat nasional yang hasilnya dishare di tingkat global, memberikan masukan pada statemen bersama NGO yang digagas oleh institusi global, terlibat langsung dalam advokasi dengan lobby delegasi negara untuk memastikan masukan NGO diterima. Meskipun bagian yang ini tidak gampang, dan selalu mendapatkan tantangan, tetapi ini bukan sesuatu yang dihindari. Secara fakta bahwa banyak wakil negara kurang memahami apa yang terjadi di negaranya sendiri, maka disinilah NGO memberikan informasi. 

Ini karena banyak wakil negara yang bertugas dalam negosiasi tidak mendapatkan kecukupan materi dalam baik dari perspektif kerja pemerintah sendiri di dalam negeri, atau kurang membuka kanal aspirasi masyarakat sipil, yang seharusnya bisa dilakukan secara regular di dalam negeri. 

Dalam konteks kerja NGO inilah, pada hari Selasa tanggal 5 Oktober jam 7 malam waktu Indonesia Barat, saya menyempatkan diri untuk menghadiri sebuah forum global berjudul "Amplifying Voices for Peace: Women peacebuilders and mediators at the peace tablet" yang digagas oleh Pemerintah German dan difasilitasi oleh Sanam Anderlini, CEO Internasional Civil Society Network (ICAN). 

Forum dua jam semalem membahas tentang komitmen para negara terkait dengan agenda Women Peace and Security (WPS). Hadir diantaranya perwakilan dari negara-negara seperti Spanyol, Itali, Norwagia, Firlandia, Perwakilan Uni Eropa, Inggris, dan Perancis. Juga ada panelis dari negara yang mengalami konflik seperti Afghanistan, dan Northern Island, dan Congo. Sepertinya memang fasilitator ingin mempertemukan demand dan supply di forum ini. 

Ada tiga hal yang membuat saya terkesan di forum ini. Pertama, tentang kebijakan luar negeri berbasis feminis (feminist foreign Policy) yang diaku udah dijalankan oleh negara-negara seperti Norwegia, Finlandia, Perancis, Spanyol, dan mungkin beberapa negara lain yang dianggap cukup maju dan memberikan perhatian khusus dalam Agenda WPS ini. Yang bisa saya tangkap adalah dengan pendekatan Feminist Foreign Policy, negara-negara ini akhirnya membuat struktur khusus seperti Duta Besar WPS, dan semacam pejabat tinggi yang khusus mengawal WPS ke luar negari. 

Sebagai feminist saya tentu bangga sekali melihat perubahan sampai sejauh ini. Meskipun perlu juga tetap dilihat seberapa reformatif agenda Feminist Foreign Policy yang diusung oleh banyak negara. Yang bisa saya ceritakan adalah Canada, dimana kawan saya Jacqueline O’Neill diangkat menjadi Ambasador WPS oleh pemerintah Canada pada tahun 2019. Jacque panggilan akrabnya dulunya Direktur International Security, semua LSM di Washington yang bekerja membangun center dan penguatan perempuan akar rumput di wilayah-wilayah konflik. Yang menarik dari pengangkatan Jacque adalah karena dia dari masyarakat sipil. Terobosan Canada mengambil figur dari masyarakat sipil dan sangat dikenal di kalangan NGO seria pada advokat WPS di dunia, membuat kedja-kerja Jacque sangat efektif. Bahkan setelah dia menjadi Duta Besar WPS, dia semakin rutin menghadiri forum-forum akar rumput agar bisa menyerap lebih banyak lagi suara dari bawah. Kira-kira Indonesia kapan ya bisa melakukan seperti Canada? 

Kedua, komitmen baru para negara-negara yang selama ini memang juara dalam mengawal agenda WPS. Hampir semua perwakilan negara yang hadir mengakui adanya peningkatan 13% perwakilan perempuan dalam Peace Talk,  meskipun masih rendah 6% sebagai signatory maupun negotiator. Tetapi ini semua terdorong karena adanya Resolusi Dewan Keamanan 1325 yang disahkan pada tahun 2000. Setelah 20 tahun implementasi di seluruh dunia, tampaknya agenda inklusi perempuan masih dipandang rendah oleh hampir semua panelis. Beberapa penyebab rendahnya partisipasi perempuan di forum-forum formal membincang perdamaian diantaranya adalah tidak dikenalinya perempuan yang tepat untuk hadir dalam perjanjian damai, atau tidak ada dukungan negara dalam mendorongkan keterwakilan perempuan dalam pembicaraan perdamaian. Isu dimana armed group menyodorkan wakil perempuan dari pihaknya sering ditemui sebagai counter kelompok perempuan yang menyuarakan minimal 30 kuota perempuan. 

Sebgai feminis dan bekerja lebih dari sepuluh tahun di wilayah ini, defisitnya perwakilan perempuan di perundingan damai  karena adanya perspektif menormorduakan perempuan yang masih kuat. Kehadiran perempuan dianggap tidak bisa memberikan kontribusi, tetapi juga potensi mengambil "sharing" kekuasaan yang akan dibagi dalam perjanjian damai. 

Ketiga, dari perbincangan semalem, jelas sekali bisa ditemukan antar masalah dan solusi. Maksud saya begini, round pertama panelis dipilh memang speaker yang adalah champion kerja-kerja basis terkait perempuan dalam peacebuilding. Misalnya wakil NGO dari Afghanistan bicara tentang tidak adanya perwakilan perempuan dalam Peace Talk di Doha, dan kekahwatiran bahwa Taliban akan mengarahkan agenda perdamaian yang justru membawa kembali Afghanistan pada zaman kegelapan. Ternyata bukan saja Afghanistan yang mengalami ini, proses Peace Talk yang digelar oleh pemerintah Libia dengan mengambil setting Maroko juga tidak ada perwakilan perempuan. Saya berpikir "bagaimana forum multilateralisme seperti ini bisa dipakai untuk melakukan intervensi kepada proses perdamaian yang sedang berjalan ya?". Karena tidak ada forum tanya jawab, maka saya cukup melemparkan pertanyaan ke chatroom saja dengan untuk kawan Afghanistan agar bisa mengelaborasi apa kebutuhan kelompok perempuan yang bisa dijawab di forum ini.  

Meskipun Sanam sebagai fasiltiator berusaha untuk menghubungkan antara masalah dan solusi, tetapi saya tidak merasakan ada komitmen langsung ditaruh di "meja" semalem terkait penyelesaian konflik Afghanistan. Hampir semua perwakilan negara yang hadir telah pamer tentang komitmen baru dan program mereka untuk mendukung WPS mulai dari kebijakan mendukung women peacebuilders di akar rumput, mendorongkan capacity building, membuat forum-forum exchange, dan termasuk melakukan berbagai riset untuk memastikan kebijakan tidak meleset. Bahkan yang mengejutkan saya adalah adanya sebuah gerakan bersama yaitu A Global Alliance of Regional Women Mediator Networks, yang kemudian melahirkan jaringan-jaringan di tingkat regional. Kalian bisa mempelajari network ini di website ini https://globalwomenmediators.org . Saya sendiri tidak tergabung dalam jaringan ini. Tapi saya bergabung dengan Mediation Beyond Border International (MBBI) yang juga memiliki ketertarikan memperkuat kapasitas mediator perempuan. 

Jika memang gerakan membangun kapasitas perempuan mediator begitu serius dan terstruktur, tapi mengapa di dalam perjanjian damai selalu kekurangan perempuan mediator? Saya yakin betul ini bukan persolaan ketersediaan dan kualitas perempuan sebagai mediator. Tapi ini murni persoalan kurangnya awareness tentang keberadaan perempuan mediator akan membawa proses dan hasil yang sensitif kepada kebutuhan perempuan dan anak-anak. 

Masih kecilnya tingkat partisipasi permepuan dalam perjanjian damai juga didorong karena ada keyakinan dan cara pandang bahwa perempuan itu menghalangi proses, tidak cocok karena akan bicara hal yang remeh temeh terkait, padahal justru keberadaan perempuan inilah masalah nyata yang dihadapi oleh masyarakat biasanya terangkat dengan baik, sementara peserta laki-laki biasanya terfokus kepada bagi-bagi kekuasaan "saya dapat apa?". 

Ini pula yang disampaikan oleh Leila Zerrougni, yang bekerja di Kongo selama 10 tahun, dan terlibat dalam mendorongkan perjanjian damai, memberikan kesaksian bahwa proses penyerapan aspirasi yang dia lalukan saat pernyiapan peace talk nya Kongo, beliau menghampiri kelom[ok-kelompok masyarakat. Menurutnya konten conversation di kelompok laki-laki selalu berhubugan dengan bagi-bagi kekuasaan, sementara ketika Ibu Leila duduk bersama dengan kelompok perempuan di camp pengungsian maupun di perkampungan, mendapati perempuan lebih fokus pada isu-isu pendidikan anak-anak, kasus-kasus kekerasan seksual berbasis gender, persoalan stok makanan dan sebagainya. Disinilah Leila mendapatkan banyak sekali materi penting untuk disampaikan kepada panitia perundingan damai. 

Untuk mengakhiri tulisan refleksi ini, saya ingin membawa pada konteks Indonesia, apakah penyelasaian konflik di Indonesia sudah memperhitungkan kehadiran perempuan? Ada tiga perjanjian Damai yang pernah dijalani Indonesia, yaitu Malino 1 dan 2, serta Helsinki. Kesemuanya dihadiri oleh perempuan dengan jumlah yang sangat terbatas. Ketiganya hadir dengan pertimbangan berbeda-beda, tetapi tidak yakin ketiganya menempati posisi penting sebagai signatory maupun negotiator. Ini karena di ketiga agenda yang dihasilkan oleh perundingan damai, perspektif gender dan pemberdayaan perempuan tidak secara eksplisit ditemukan. Indonesia juga belum banyak berkembang tentang memanfaatkan perempuan sebagai juru damai. 

Penyelesaian hampir semua konflik yang ada baik itu terkait konflik sumber daya alam, konflik bernuansa agama, dan konflik sosial, masih didominasi laki-laki. Meksipun kita sudah lima tahun memiliki Peraturan Presiden No. 18 tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap Resolusi DK PBB 1325. Sejumlah training mediator udah dijalankan di 18 propinsi dengan melibatkan ratusan orang, lantas mengapa penyelsaian konflik sepi mediator perempuan? Jadi ini bukan lagi masasalah ketidaktersediaan atau kualitas, tapi masalah "kemauan" untuk mengubah cara padang maskulin, dan berganti dengan cara pandang transformatif dimana keberadaan perempuan adalah solusi yang membuat perjanjian damai bertahan lebih lama. Mengapa? Karena perempuan lebih detil memikirkan aspek kehidupan di komunitas, terutama kehidupan perempuan dan anak. Ketika kehidupan peremuan dan anak diangkat, maka kehidupan seluruh komunitas secara otomatis akan dibahas. ***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar