Rabu, 02 Januari 2019

GCTF: Gender Based CVE and CSO Involvement

Keterlibatan perempuan dalam ekstremisme dan terorisme bukanlah hal yang baru. Sudah banyak studi-studi yang mengungkap bahwa perempuan memainkan peran penting dalam gerakan radikalisme mengarah terorisme di Idonesia dan dunia. Bom Surabaya yang terjadi pada bulan Mei 2018, dimana ibu dan anak terlibat sebagai pelaku, tampaknya dijadikan "turning point" untuk banyak lembaga nasional dan global bicara tentang pentingnya Gender Maintremaing dalam Countering Terrorism (CT) maupun Preventing/ Countering Violent Extremism (P/CVE).

Saya diundang untuk menghadiri pertemuan Global Counter Terorism Forum (GCTF), khususnya Working Group on CVE, sebagai bagian dari masyarakat sipil untuk memberikan kontribusi penting dalam mereshape agenda gender equality dan women's empowerment di GCFT. Kali ini yang topiknya khusus tentang Gender dan CVE dan keterlibatan CSO dalam kerja-kerja CVE.  Melalui Working Group on CVE, yang dipimpin oleh Indonesia dan Australia, workshop 2 hari yang diselenggarakan di Melbourn yaitu pada tanggal 18-19 December 2018 di Deakin University. Forum tersebut dihadiri oleh perwakilan negara-negara seperti Australia, Brunei, Malaysia, Myanmar, Phillipines, Indonesia, Thailand, Laos, Maroco, Bangladesh, China, European Union, Japan, Netherland, Saudi Arabia, Singapore, United Emirat Arab, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sipil. 


Ada dua bagian penting dalam workshop yaitu melihat capaian working group on CVE dan Forum CSO tentang gender dan CVE dan keterlibatan masyarakat sipil. 

Tentang GCTF 
Diperkenalkan pada tahun 2011, Global Counter Terorrism Forum (GCTF) merupakan Platform multilateral, informal dan a-politis yang dibentuk untuk merespon terorisme. Forum ini dipakai untuk mempertajam strategi bersama dengan berbasis pada pengalaman terbaik negara-negara yang menjalankan kerja-kerja CT dan PCVE. Ini juga merupakan forum pertemuan antara para pengambil kebijakan, praktisi dan akademisi. Pada prinsipnya GCTF melandaskan kerja-kerjanya pada The United Nations Global Counter-Terrorism Strategy yang dirilis pada tahun 2006.

Dengan berbagai alat-alat dan pengetahuan yang dikonsolidasikan oleh forum ini, diharapkan bisa memperkuat kapasitas nasional dalam membuat strategi, rencana aksi dan modul-modul training. Beberapa isu yang menjadi concern adalah: respon terhadap Foreign Terrorist Fighter (FTF), CT dengan pendekatan HAM, Rehabilitasi dan reinterasi, pendekatan multi sektor pada CVE, penguatan pelibatan komunitas dan kebijakan berorientasi pada masyaarakat, pendidikan, peran keluarga, dan sebagainya. Secara lebih mendalam bisa dipelajari di link berikut https://www.thegctf.org/About-us/Background-and-Mission 

Working Group on CVE 
Ada lima working group yang bekerja dibawah GCTF, salah satunya adalah Working Group on CVE yang dipimpin oleh Australia dan Indonesia. salah satu mandat dari WG ini adalah memperkuat proses pembentukan NAP PCVE sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Sekjend PBB. 

Dalam pertemuan ke 9 ini, kedua negara baik Australia dan Indonesia memberikan update perkembangan tentang kerja-kerja CVE diantaranya adalah sebagai berikut: 

- Australia: prinson reform yang memperbaiki sistem penjara, para pegawai yang bertugas di penjara, dan segala standard operasional procedure seputar penangangan terorisme di penjara
- Indonesia ; kegaitan terkait dengan monitoring evaluasi, dealing dengan returning family, dealing dengan perbatasan dan kontrol terharap arus di perbatasan, counter narasi dan sosialisasi lebih mendalam tentang a whole society approach dan mendorong kerjasama dengan CSO
- CSO: publikasi NAP PCVE di Kenya, Nigeria, Pakistan dan Somalia (Headayah); peningkatan kesadaran bahwa perempuan juga merupakan aktif agent terorisme maupun peacebuilding  berpengaruh pada framework intervensi, 

Gender -Based PCVE and CSO Engagement 

Gender itu perspektif bukan program. Gender Maintreaming adalah sebuah strategi untuk memastikan bahwa kebijakan dan program memiliki gender sensitive-indicators. Isu gender dalam PCVE menjadi mengemuka ketika Bom Surabaya pada bulan Mei 2018 terjadi, dimana keterlibatan seluruh keluarga (ayah, ibu dan anak-anak) pertama kali terjadi di dunia. Barulah kita semua menyadari pentingnya melibatkan perempuan dalam intervensi CT maupun PCVE. Dalam sidang plenary yang ke 9 GCTF juga mengangkat isu gender dan keterlibatan masyarakat sipil dalam kerja-kerja. 

Gender sebagai perspektif seharusnya bisa menjadi membuat kita semua lebih baik dalam melihat bagaimana perempuan dan laki-laki memiliki akses untuk terlibat dan tidak terlibat dengan radikalisme, bagaimana seseorang memiliki kontrol terhadap sumber daya yang ada, bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi dalam menentukan keputusan melakukan aksi teror, dan siapa yang menjadi "the significant others" yang berpengaruh bagi perempuan dan anak dalam mengambil keputusan. Secara singkat, perspektif gender akan membuat intervensi beyond "bussiness as usual". 

Untuk melakukan update tentang apa yang berhasil dilakukan oleh masyarakat sipil tekait dengan upaya penguatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam konteks PCVE, beberapa  nara sumber dari berbagai CSO mewakili negara Phillipines, Indonesia, Australia, Morrocco, Netherland dan sebagainya. Berikut adalah beberapa catatan terkait dengan presentasi selama workshop CSO yaitu: 
  1. Gender adalah perspektif yang mempertajam kita untuk memahami keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam radikalisme dan terorisme secara lebih spesifik. Ini karena motivasi yang menggerakkan perempuan dan laki-laki berbeda, kapasitas kontrol access kedua terhadap jaringan ini juga berbeda. 
  2. Ada ketakutan kalau bicara tentang gender akan mengubah fokus PCVE kepada isu gender, olehkarenanya dibutuhkan penjelasan antara hubungan antara women empowerment dan CVE. 
  3. Keterlibatan laki-laki sangat penting dalam upaya pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam CVE. Maka ekplorasi tentang maskulinitas dan femininitas dalam kontruski gender PCVE perlu diperbanyak dalam  study-study 
  4. Narasi gender online juga banyak didominasi oleh laki-laki. Bahkan sangat jarang ditemukan narasi terkait perempuan dalam pemberitaan di topik-topik general atau spesifik pada laki-laki 
  5. Keterlibatan CSO pada rehabilitasi dan reintegrasi sudah sangat efektif mulai dari membuat SOP rehab dan reintegrasi dengan menggunakan pendekatan HAM, juga melanjutkan upaya rehabilitasi agar berkelanjutan di tingkat daerah 
  6. CSO juga berperan dalam upaya mencarikan access for justice untuk korban kekerasan karean konflik atau ekstremisme, termasuk melakukan pemulihan fisik dan mental, serta upaya pemberdayaan ekonomi jangka panjang 
  7. Dalam rangka untuk memperkuat peran keluarga, telah ada banyak inisiatif memperkuat peran ibu agar bisa mempengaruhi keluarga untuk pencegahan ekstrimisme. Salah satunya adalah Mother's School yang dijalankan di berbagai negara. Sekolah ibu ini mengajarkan bagaimana ibu bisa memaintkan peran efektif untuk deteksi radikalisme dan terorisme. (model sekolah2 begini juga banyak dijalankan di Idnoensia dengan nama berbeda-beda, salah satunya adlah Sekolah Perempuan perdamaian (SPP) oleh AMAN Indonesia)
  8. Partnership antara pemerintah dan CSO dianggap penting dan seharusnya sudah dipikirkan sebuah mekanisme yang lebih konkrit dan memungkinkan mewujudkan sebuah mekanisme  bermitra yang lebih efektif  
Rekomendasi 
Ada banyak rekomendasi didiskusikan di banyak kelompok. Karena panitia tidak memberikan hasilnya, maka saya share saja yang dari kelompok saya. Semoga bermanfaat. (Mohon maaf tidak sempat mentranslate dalam bahasa Indonesia)

Women Empowerment in CVE
  1. Provide the legal and political space to civil society organizations (CSOs) and other nongovernmental organizations (NGOs) to contribute to PVE efforts. This includes ensuring the physical safety of CSO practitioners and respect for the independence of such organizations. 
  2. Provide support for studies to understand issue of security from the perspective of women living in different political, social and culture settings
  3. Provide more operational guidance on how to do gender analysis and integrate key elements of gender indicators into policy and program of security sectors 
  4. Facilitate the involvement of CSOs/NGOs in the full spectrum of PVE programs, including ones involving potentially sensitive issues or controversial actors (e.g. “formers”) by recognizing the existing work by local NGO/CSOs (especially women and youth entities that are often less visible) and providing venues to enable exchange of ideas, solutions, and lessons 
  5. Provide and facilitate the growing of progressive voices as well as  promote the role of religious leaders in addressing women human rights and PCVE
  6. Facilitate resource mobilization efforts of CSOs/NGOs, including by ensuring international counter-terrorist financing standards do not have an adverse impact on the ability of CSOs/NGOs to access funding to support PVE work, and supporting existing independent funding mechanisms
  7. Financing support from donor agencies must have explicit requirement on gender sensitive indicators and agenda to address gender equality and women’s empowerment 
  8. Building clear aligment of PCVE into SDGs and Women Peace and Security in ensuring that key elements of PCVE have to be integrated into the implementation of SDGs. The alignment will create more space and acceptance among CSO working with goverment in the implementataion of SDGs and addressing root causes of Violent Extremism more effectively
  9. Innitiate a network among development partners where goverment, CSO and UN entities can share evidence-based success from the work of CSO and project it into policy 
  10. Taking lessons from women peace and security works from the process of grass root engagement, inclusive process on NAP 1325 development, joint team to implement and monitor 1325, which are relevant to be replicated into  NAP PCVE process 
  11. Establish long term partnerships between government and civil society for knowledge sharing and effective policy-making. Governments should enable civil society involvement in all stages of the policy-making process. Make government and civil society partnerships accountable and transparent. 
Rehabilitation and Reintegration 
  1. Creating gender-based rehabilitation and reintegration policy and practical guidance to work with person or family affected by radical thinking, returnee/ deportee, where the role of CSO recognized 
  2. Community based organization, NGOs, faith based organizations working at grass root level can take a part in ensuring post-care program and reintegration process taking place smoothly. 
  3. Providing capacity building for community organization how to deal with family (women, men and children) affected by radical thinking and increase greater acceptance among neighbors for reintegration   
  4. Replicating success story on handling ex combatan from conflict affected community, where women and men ex combatan should have equal access for long term support when they come back to community and ensuring 
  5. Strengthen gender-based community policing mechanism and program to increase sensitivity among community members, build their awareness on radicalism and extremism, and ability to reporting for extremism activity in the community as well as to create a condusive environment for reintegration  
  6. Strengthen engagement of extended family to take important roles in widening a space for acceptance within family members, so they can help  in building trust in the community for reintegration 
  7. Linking and facilitating returnee/ deportance and people affected by extremist group to job oppotunity (event a particular company) for them to continue the live and build a new social network for the future 
  8. Increase capacity of media with peace journalism, so their reporting or writing have to consider confidentiality of person and anticipate the unexpected negative impact to “person” when it exposure to public 

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar