Minggu, 01 April 2018

ANAK-ANAK DIJILBABI ATAU DICADARI, ADA APA?

#AnakBercadar #IslamNusantara 

Berbalut gamis kembang-kembang dan  jilbab sorong warna merah, seorang anak berusia 2 tahun terseok-seok dituntun oleh ibunya yang juga mengenakan gamis beda motif dengan jibab sorong juga. Mereka menyebrangi jalan menuju parkir motor Bintaro Xchange, Mall kesayanga aku dan suami menghabiskan waktu untuk jogging, ngopi dan baca buku setiap week end. 

Kami berpapasan. Kutebarkan senyum manisku ke arah si ibu yang sibuk membujuk si anak agar segera bergegas. Kuperhatikan si anak kecil itu, yang terlihat kurang nyaman dengan gamis lucunya membalut tubuh mungil. Dia terlihat beberapa kali mengangkat gamisnya. Mungkin untuk menolongnya agar cepat mengikuti ibunya. Dalam hati saya berkata "Duh...apa tujuan orang tua memilihkan baju gamis dan berjilbab  buat si anak berumur 2 tahun?." 

Kemarin sore pulang dari Sarinah, saya dan suami juga menemukan anak-anak berpakaian gamis hitam dan bercadar. Dia duduk bersama bapaknya yang mengenakan baju koko, celana cingkrang dan berjenggot. Ibunya duduk pas sebelah dia dengan menggendong adiknya yang lebih kecil, kira-kira umur 2 tahun. Si anak tersebut mengunakan jilbab. Ibunya menggunakan gamis hitam, dengan jilbab lebar dan cadar hitam. Si anak yang berumur 11 tahunan ini, juga mengenakan baju senada dengan ibunya dilengkapi cadar hitam. Mereka duduk di seberang saya dengan posisi horisontal. 


Saya juga menemukan fenomena anak bercadar saat mengunjungi mall Bintaro Xchange minggu lalu. Saat itu si anak (kira-kira umur 10 tahunan) terlihat mengarah ke sebuah permainan naik binatang yang dikendalikan tenaga batre. Biasanya anak naik di atas punggung binatang artifisial dan kemudian keliling mall. Entah kenapa ibu (juga menggunakan cadar) dan bapaknya tidak mengarah ke tempat permainan itu. Mungkin ada keperluan lain. Aku tinggalkan saja keluarga tersebut menuju XXI di lantai paling atas. Sayangnya tempat kursi strategis sudah dipenuhi orang, akhirnya batal kami nonton The Hurricane Heist. Tapi akhirnya terobati dengan nonton di dekat Sarinah kemarin. The Hurrican Heist bercerita tentang perampokan "uang sampah"  (hendak dihancurkan negara), di tengah badai. Waktu beli tiket sempat berdebat dengan si mbak penjual tiket tentang spelling "heist" (baca: haist), tapi si mbak ngotot membaca "heit".... Sebagai lulusan sastra Inggris saya wajib mengkoreksinya. Tapi si embak tetap bilang "heit". Ok deh... ya sutralah. 

Saya sebenarnya "takut" mengunggah status ini bicara tentang anak-anak yang dijilbabi atau dicadari. Selain pasti dikatakan "nyinyir" atau kurang kerjaan, mungkin diantara kawan-kawan merasa isu ini tidak penting dibicarakan. Tapi saya mengalami kegelisahan dengan fenomena anak-anak dijilbabi atau dicadari oleh orang tuanya. Jumlahnya semakin banyak. Saya tidak menghitung tapi dari 10 anak yang saya termui 3 diantaranya berjilbab (penglihatan kasar saat berjalan di mall). ADA APA?

Pertama, mungkin orang tua merasa perlu melindungi sang anak dari gangguaan seksual orang jahat. Setidaknya argumentasi itu yang sering disampaikan oleh orang-orang tentang mengapa perempuan perlu pakai jilbab. Perempuan perlu pakai jilbab untuk mengontrol hasrat seksual laki-laki. Emmm..ini agak janggal sih. Yang gagal mengontrol hasrat seksual laki-laki, mengapa perempuan yang pakai jilbab? Mustinya laki-laki yang pakai jilbab agar terkontrol hasrat seksualnya, kalau ternyata memang jilbab cukup sakti efeknya. Sebuah pameran pakaian korban perkosaan di Brussles men-display tentang pakaian para korban saat diperkosa. Semua menjunjukkan pakaian orang biasa dan tidak ada kesan provokatif. Bisa dilihat di lint berikut..https://www.youtube.com/watch?v=pdFovCIpuGA 

Kedua, banyak diantara kita, para orang tua yang merasa anak itu properti keluarga. Orang tua merasa punya hak untuk mengatur bagaimana anak berpakaian tanpa menanyakan rasa nyaman pada anak. Rasanya sulit diterima kalau anak usia 2 tahun meminta pakaian spesifik yaitu gamis dan jilbab tanpa ada intervensi si ibu atau bapak. Anak-anak yang bercadar yang saya temui sudah pasti bersama dengan ibu yang juga bercadar dan seorang bapak yang berjenggot. ini wajar karena pakaian itu sosialisasi. Apa yang dipakai orang tua cenderung disosialisasikan pada anak-anak. Contohnya saya penyuka warna merah, ternyata ibu saya suka warna merah. 

Ketiga, orang tua merasa memiliki otoritas pada keagamaan anak. Agama sendiri sebenarnya sifatnya sangat otoritatif. Berpadu dengan posisi orang tua yang juga otoritatif pada anak, sangat “kawin”. Artinya orang tua merasa memang punya otoritas untuk menentukan bagaimana cara beragama anak. Kayanya banyak orang tua tidak siap ketika anak-anak bertanya tentang agama. Atau yang lebih mengerikan lagi bertanya demikian “Bolehkah saya tidak pakai jilbab?”…“Bolehkah saya belajar agama lain?” atau “Bolehkah saya pindah agama lain?”…Gubrakkkkkkkkkkk…tentu orang tua bisa pingsan kalau itu terjadi. Maka sejak dini agar itu tidak terjadi, orang tua menunjukkan orotitas keagamaan pada anak dengan memaksa anak menggunakan pakaian yang dianggap “islami” yaitu jilbab atau dan cadar. 

Apapun analisis diatas yang saya coba suguhkan, saya rasa kok anak-anak tidak perlu dipaksa harus menggunakan jilbab atau cadar. Mereka adalah anak-anak yang harus merasakan kebebasan bermain dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, tanpa harus terkendala dengan jilbab atau cadar.  Saya kasihan lihat banyak anak-anak balita yang dijilbabi tidak nyaman dengan jilbabnya. Bahkan tidak jarang mereka menarik-narik jilbabnya dan menangis karena panas. Juga saya kasihan lihat anak-anak harus bercadar di usia yang sangat dini.  *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar