Kamis, 08 Februari 2018

Sudahkah PUG Ada di RAN Penanggulangan Ekstrimisme?

RAN Penanggulangan Ekstrimisme memang belum disahkan. Tapi proses intensif dengan publik sudah terjadi dalam dua tahapan yaitu Focus Group Discussion (FGD) berseri empat kali yang diselenggarakan di Semarang, Malang, Bandung dan Bogor tahun lalu, bersambung dengan proses konsultasi publik. Draft Nol RAN Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Mengarah pada Terorisme (PE) telah dipaparkan di Konsultasi Publik pada tanggal 25 dan 30 Januari 2018. BNPT membuka diri bagi pihak-pihak yang ingin memberikan masukan. Silahkan dicek di website BNPT (saya juga belum cek). 

Kami, AMAN Indonesia menjadi salah satu CSO yang dilibatkan dalam proses FGD dan ikut terlibat dalam menyeleksi peserta konsultasi publik pada tanggal 30 Januari untuk mematangkan substansi dari RAN PE yang diharapkan bisa merefleksikan minimal 7 pilar yang dicanangkan oleh PBB dalam Plan of Action (PoA) PVE mereka. 


Tulisan ini bertujuan untuk memberikan padangan kepada publik tentang tingkat Pengarusutamaan Gender di dalam draft nol RAN PE yang dibahas pada tanggal 30 Januari 2018 di Hotel Mandarin Jakarta dengan melibatkan 15 propinsi dimana perwakilan Dinas, FKPT dan masyarakat sipil hadir. Saya sendiri senang melihat proses ini berjalan dengan terbuka dan melibatkan masyarakat sipil. Akan sangat membantu jika bahan-bahan yang hendak dikaji dibagikan 3 hari sebelum hari H, sehingga peserta memiliki kecukupan waktu untuk membaca dan memberikan masukan secara komprehensif. Untuk akuntabilitas publik, sangat dianjurkan BNPT juga mempublish dokumen draft di website, sehingga publik lebih luas bisa juga memberikan masukan.

Membaca draft yang ada, saya dan jaringan perempuan perdamaian melihat bahwa PUG belum maksimal dilakukan di RAN PE ini. Indikator-indikator yang bisa saya jelaskan adalah: 

1. Dari kata gender saja, sangat sedikit ditemukan dalam draft yang ada baik di Raperpres maupun di dokumen matrix program yang memuat empat hal yaitu pencegahan, deradikalisasi dan counter radikalisme, penegakan hukum, dan partnership internasional.

2. Tidak ada pilar maupun sub pilar yang khusus mengangkat Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Padahal PBB dalam PoA PVE jelas menjadikan Gender Equality and Women's empowerment menjadi pilar ke 5. Ini ironis karena Indonesia adalah satu negara yang dianggap cukup berhasil menjalankan gender maintreaming dan telah menjadi contoh banyak negara-negara muslim dalam penerapan HAM Perempuan. Tapi sayang sekali dalam konteks pencegahan ekstrimisme belum dianggap penting.

3. Tidak ada alignment yang jelas antara RAN PE dengan instrumen nasional lain yang, misalnya dengan RAN P3AKS yang sangat mendekati agenda ini. Saya rasa tim BNPT penting untuk melihat kembali Resolusi 2122 (2013) tentang International peace and security cased by terrosit acts yang mendorong pentingnya gender equality and pemberdayan perempuan, Resolusi 2242 tentang integrasi  PVE dan agenda Women Peace and Security (WPS) 

4. Keterlibatan institusi pemberdayaan perempuan seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang sangat minim bahkan tidak ada di dalam list daftar Kementerian lembaga yang terlibat dalam sturktur Pokja di Rancangan Perpres. Tentu ini menjadi tanda tanya besar "Bagaimana mungkin seluruh study menunjukkan angka peningkatan serius perempuan dalam proses radikalisasi, sementara rencana intervensi negara sangat kecil pada konteks ini?". Ada baiknya,  BNPT duduk secara khusus dengan KPPPA untuk memastikan maintreaming gender (PengaruUtamaan Gender) bisa terjadi. 

Dari indikator diatas, saya membaca beberapa kemungkinan sebab mendasar mengapa PUG tidak terlihat jelas di dalam draft nol RAN PE kita.  

Pertama, Pemahaman BNPT terkait dengan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutaman Gender yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurahman Wahid.  Tidak satupun pilar utama meletakkan isu ini penting. Padahal banyak riset membuktikan bahwa perempuan terlibat kuat dalam menyebarkan radikalisme dan juga aktif dalam melakukan pencegahan di tingkat komunitas. 

Saya menduga tidak dijadikannya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai pilar penting dalam rencana RAN PE, karena kemungkinan besar informasi dan pengetahuan terkait dengan pengarusutamaan gender yang ada di Instruksi Presiden Nomer 9 tahun 2000 tentang PengarusUtamaan Gender (PUG) belum pernah disosialisasikan di BNPT. Indikator ini muncul karena sebagian orang kunci dalam BNPT masih menganggap gender itu adalah tentang perempuan. Padahal dalam Inpres PUG gender diletakkan sebagai perspektif. 

Berikut  bagian penting yang dibahas di Inpres PUG, saya kutipkan langsung: 

PERTAMA:
Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.

KEDUA:
Memperhatikan secara sungguh-sungguh Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional sebagaimana terlampir dalam Instruksi Presiden ini sebagai acuan dalam melaksanakan pengarusutamaan gender.

KETIGA:
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan:
1. Memberikan bantuan teknis kepada instansi dan lembaga pemerintah di
tingkat Pusat dan Daerah dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender.
2. Melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada Presiden.

KEEMPAT:
Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing, menetapkan ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Instruksi Presiden ini.

Meskipun singkat, Inpres ini cukup jelas memberikan arahan bagaiman PUG harus dijalankan yaitu dengan  memastikan penggunaan perspektif gender dalam perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi di semua kebijakan negara. Ini artinya sebagai perspektif gender, dia bertindak sebagai lensa atau kaca mata. Baseline yang dipakai untuk analisis gender adalah kebutuhan taktis dan strategis perempuan, laki-laki dan gender ketiga (kalau relevan). Kedua, ekstrimisme berdampak berbeda pada perempuan dan laki-laki sehingga berkonsekuensi pada sebuah respon dan treatment juga menuntut berbeda. Tanpa lensa gender tentu sulit untuk bisa memastikan intervensi negara menyasar pada perempuan dan laki-laki secara tepat. 

Saya tegaskan kembali bahwa perspektif gender itu bukan bicara tentang isu perempuan. Perspektig gender bukan pilihan tapi keharusan. Perspektig gender bicara tentang bagaimana sebuah masalah dipandang dari pengalaman perempuan dan laki-laki. Lantas, mengapa perjuangan kesetaraan gender sering didominasi para perempuan? Ini karena konstruksi gender di masyarakat menempatkan perempuan banyak jadi korban ketidakadilan gender. Contoh kecil laki-laki lebih memiliki ruang yang luas di masyarakat dibandingkan dengan perempuan. Masyarakat tidak pernah bertanya laki-laki pulang jam berapa, tapi ada stempel negatif untuk perempuan yang pulang malam. Sehingga gerakan perempuan lebih banyak memfokuskan pada affirmative action (Baca juga CEDAW) yaitu sebuah tindakan memberikan treatment khusus pada kelompok yang dianggap tidak beruntung. Tindakan khusus yang diperuntukkan pada kelompok seperti perempuan agar bisa nantinya berperan setara di masyarakat dengan laki-laki.

Inpres juga mendorong kementerian lembaga dan semua agensi pemerintah untuk berkonsultasi dengan Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terkait dengan PUG ini. Olehkarenanya keberadaan dan keterlibatan KPPPA dalam semua penyusunan kebijakan negara sangat krusial. Tidak ada alasan untuk meninggalkan kementerian ini, bahkan kalau diperlukan memang mereka harus diundang secara khusus untuk memberikan masukan atau pemeriksaan terkait dengan PUG di dokumen RAN PE. 

Penguatan perspektif gender dalam kebijakan bisa juga dilakukan dengan melibatkan masyarakat sipil yang bekerja pada kesetaraan gender dan pemberdayan perempuan. Mereka adalah aktor kunci untuk menurunkan gagasan pemenuhan HAM perempuan ke dalam, selain pemerintah. Sudah terbukti bahwa masyarakat sipil di Indonesia bertahun-tahun menjalankan proses pemberdayaan di akar rumput tanpa mengenal batas waktu projek dan terlibat intensif dalam pembentukan karakter resilient di masyarakat.

Kedua, kurang adanya dialog intensif antara BNPT dengan KPPPA. Ada dua skenario yang bisa dipakai yaitu kedua institusi ini belum pernah bertemu membahas apa itu PUG. Atau belum pernah membuat MoU, meskipun saya melihat tidak perlu, tetapi tradisi yang dijalankan saat ini adalah KPPPA membuat MoU dengan setiap Kementerian untuk menjaga PUG dijalankan dengan maksimal. 

Skenario kedua adalah belum adanya pembahasan yang khusus di BNPT untuk isu gender based Preventing Violent Extremisme. Atau jika telah ada tetapi tidak dihubungkan dengan PUG. Dari sisi KPPPA, mungkin belum pernah ada sebuah dialog yang sengaja diinisiasi untuk membedah PUG dalam kebijakan penanggulangan ekstrimisme.

Ketiga, salah paham yang berkembang di tim BNPT dimana perspektif gender dipahami secara sederhana sebagai isu perempuan. Ini kemudian menimbulkan penafsiran bahwa ranah isu perempuan ada di KPPPA dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kerja-kerja pencegahan ekstrimisme yang dimandatkan pada BNPT. 

Keempat, isu ekstrimisme dan terorisme masih dianggap ranah maskulin dimana pemain laki-laki masih sangat dominan. Bisa dibuktikan prosentase perempuan dalam tubuh BNPT sendiri masih sangat sedikit, apalagi perempuan yang duduk di posisi strategis lebih sedikit lagi. Padahal Kemensos merilis data bahwa 78% para deportan dan returnee dari Syria dan Irak adalah perempuan dan anak-anak. Bukan hanya itu, Penelitian AIDA juga mengungkap betapa korban bomb yang perempuan belum secara penuh diperhatikan negara. Juga semakin tingginya keterlibatan perempuan dalam radikalisasi baik sebagai recruiter, mobilizer, donatur, dan juga bomb bunuh diri, seharusnya menjadi pertimbangan BNPT secara matang bahwa PUG bukan pilihan tapi keharusan. 

Kelima, tim BNPT melihat RAN PE ini seolah tidak memiliki keterhubungan dengan agenda nasional yang lainnya. Misalnya keberadaan RAN Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Konflik Sosial (P3AKS), RAN HAM, RAN SDGs, yang saat ini sangat memungkinkan memiliki keterkaitan. Sehingga saya menyarankan selain strategi direct implementation program-program di matrix, juga penting melihat kemungkinan Strategi Integrasi ke dalam agenda-agenda pembangunan. Bukankah akar masalah dari ekstirmisme itu adalah masih tingginya ketidakadilan dan ketimpangan sosial, ekonomi dan politik di masyarakat. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak menghubungkan dengan agenda pembangunan. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana memastikan indikator PVE bisa diintegrasikan ke dalam indikator SDGs. 

Secara praktikal, BNPT harus duduk bersama dengan BAppenas sebagai leading sector dari implementasi RAN SDGs di Indonesia. Tentu saja keterlibatan CSO tidak bisa ditinggalkan, terutama CSO yang bekerja di implementasi SDGs dan implementasi PVE. 

Masih ada waktu untuk membenahi proses. Semoga dengan kehadirian UN Women dan konsultan luar BNPT bisa memperkuat PUG. Mengingat dinamika penerimaan keterlibatan CSO dalam proses ini juga tinggi, apalagi isu gender, maka dibutuhkan dialog lebih intensif untuk menemukan formula yang tepat, bukan mempertahankan "kebenaran" sepihak. *** 

Ditulis oleh 
Ruby Kholifah, 
Country Representative of AMAN Indonesia
Steering Committee of Working Group on Women and PCVE 
Sekjend AMAN 
Penerima N-Peace Award 2016
100 Perempuan BCC 2014 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar