If you dont have "power", than you bring "people". Satu pembelajaran yang pernah saya petik dari pengalaman Kursus Non Violent Civil Resistance di Tufts University, Boston pada 2012 silam. "Power" disini mengacu pada kekuatan struktural. Gampangnya kalau anda ada di struktur maka power atau kekuasaan adalah kekuatan anda untuk melakukan perubahan, yaitu dengan memproduksi kebijakan-kebijakan dan program-program berorientasi pada perdamaian, keadilan dan kesetaraan untuk semua orang. Sementara jika anda tidak dalam posisi di struktur maka kekuatan anda adalah "People". Siapa people ini? Tentu saja mereka yang merasakan pengalaman "suffering" dan ingin ada perubahan.
Tulisan ini ingin menyoroti bagaimana kekuatan pengalaman Indonesia dalam menggerakkan "people" sebagai basis untuk rekonsiliasi konflik di Maluku, Pasuruan, dan Poso. Pengalaman ini ingin dibagi pada negara tentangga Myanmar yang sedang dirundung konflik. Dalam sebuah acara kunjungan para tokoh masyarakat Rakhine State di Myanmar, yang difasilitasi oleh The Habibie Center (THC) dan Humanitarian Dialogue Center (HDC), di Hotel Ayana Mid Plaza Jakarta pada 22 Februari 2018, people to people dialogue terjadi sangat baik. Kebetulan saya mewakili AMAN Indonesia untuk berbagi sebuah model penguatan ketahanan masyarakat melalui peran perempuan. Hadir juga Romo Benny, Jecky Manoputi dan Anis Hamim, yang juga berbagi tentang pengalaman membangun rekonsiliasi di konteks kasus pembakaran gereja di Jawa Timur tahun 1998, konflik bernuansa agama yang terjadi di Ambon pada akhir tahun 1999 dan secara umum upaya melestarikan perdamaian dalam konteks ke-Indonesiaan saat ini.
Mengapa rombongan tokoh Myanmar ini ingin belajar dari Indonesia? Meskipun tidak secara eksplisit disampaikan di dalam forum, tapi perlu kawan-kawan ketahui bahwa ini bukanlah rombongan satu-satunya untuk melakukan dialog dengan civil societies di Indonesia. Sebelumnya telah juga hadir beberapa rombongan yang melakukan exchange dengan topik yang berbeda-beda. Argumentasi yang bisa saya sampaikan adalah; Indonesia dianggap sukses dalam melakukan transisi demokrasi bukan saja di Asia Tenggara tapi juga di dunia. Terlepas berbagai kekurangan yang terjadi di tanah air, tentu kita sepakat bahwa transisi dari masa Orde Baru ke Era Reformasi telah membawa banyak perubahan pada sistem pemerintahan kita yang bergeser dari sentralistik ke desentralisasi, pencabutan hak politik militer dan polisi, penguatan perlindugnan Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi Perempuan (HAP), dan Hak Asasi Anak (HAN), meskipun juga banyak pekerjaan rumah yang sedang dibereskan oleh pemerintah seperti meningkatnya intoleransi, Angka Kematian Ibu yang tinggi, masih minim perhatian pada kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan pada minoritas dan masih banyak yang lainnya.
Alasan lain yang mendorong para tokoh masyarakat dan pemerintahan di Myanmar tertarik belajar dari Indonesia adalah mungkin kedua negara ini memiliki kedekatan diplomasi. Saat ini pemerintah Indonesia dipercaya oleh Pemerintah Myanmar untuk melakukan misi kemanusiaaan di Rakhine State. Bahkan Indonesia membangun Rumah Sakit dan Sekolah untuk mendekatkan akses pada layanan dasar orang-orang di Rakhine State.
Dari empat jam dialog dan berbagi cerita, isu seperti dialog, trust (kepercayaan), forgiveness (memaafkan), rekonsiliasi, peran perempuan mendominasi percakapan kita. Saya ingin mengupasnya satu per satu untuk memberikan penekanan mengapa isu-isu di atas penting. Dan bagi aktor-aktor yang ingin berkontribusi pada pembangunan perdamaian di Myanmar, mungkin isu-isu ini bisa kita pakai jika kita ingin membawa misi perdamaian di tanah Batu Ruby.
Dialog adalah kunci rekonsiliasi
Telah banyak cerita dari bumi pertiwi ini bahwa proses rekonsiliasi banyak dimulai dari kekuatan "people". Tidak menafikan peran pemerintah yang mendorong gejala rekonsiliasi senyap yang dilakukan masyarakat terutama perempuan di pasar-pasar, door to door, dan ruang-ruang pertemuan terbatas, ke dalam proses formal seperti Perjanjian Malino I dan II untuk penyelesaian konflik bersenjata di Ambon dan Poso, juga Perjanjian Damai Helsinki untuk penyelesaian konflik di Aceh.
Konflik terjadi karena kegagalan mengelolah perbedaan, ditunjang dengan komunikasi yang tidak efektif dan menghalalkan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. Olehkarenanya membangun perdamaian dimulai dari upaya memahamkan dan mengurai masalah dan sebab masalah. Dialog adalah cara untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dipahami. Dalam dialog ada proses mendengarkan satu dengan yang lain, membangun empati dari mendengarkan cerita pihak lain, dan akhirnya menata pemahaman yang baru untuk menuju rekonsiliasi.
Romo Benny mencontohkan bagaimana dialog sukses dilakukan dalam penyelesaian konflik yang ditandai dengan pembakaran gereja di wilayah tapal kuda Jawa Timur pada awal-awal babak reformasi. Kesuksesan rekonsiliasi pada kasus pembakaran gereja, selain karena ada faktor figur "berani" seperti Gus Dur, tapi juga pendekatan dialog dimana road show Gus Dur ke semua kelompok berbeda menjelaskan tentang muslim dan kristiani, menjelaskan bedanya Masjid dan Gereja, jelas membawa hasil positif. Selain berdialog dengan para tokoh agama, media juga penting untuk dijadikan target dialog karena komitmen media untuk menjalankan prinsip peace journalism akan membantu menata psikologi publik yang lebih rekonsiliatif dan berorientasi pada penyelesaian masalah.
Dialog juga terbukti bisa membawa perdamaian di Tanah Ambon. Jecky, salah satu aktor perdamaian di Ambon mengisahkan tentang kerumitan konflik Ambon yang sarat politisasi agama, dapat terurai dengan pendekatan dialog. Seperti mengkonfirmasi cerita sebelumnya, Jecky memberikan kesaksian bahwa kelompok perempuanlah yang sejak awal memulai dialog dan kemudian diikuti oleh berbagai kelompok-kelompok seperti tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan sebagainya. Berbeda dengan pendekatan di Jawa Timur, Jecky dan kawan-kawan lebih memilih pendekatan kemanusiaan dalam dialog-dialog yang digelar.
Dialog juga tetap digelar di tanah Poso pada masyarakat pasca konflik. Ruby dari AMAN Indonesia menyaksikan bahwa merestorasi interaksi di masyarakat dengan pendekatan dialog antar agama sangat tepat. Ini karena trust diantara umat beragama di Poso terkoyak pasca konflik. Khususnya relasi orang muslim dan orang kristen. Maka dibutuhkan model-model dialog yang tidak hanya bersifat formal. Pendekatan dialog AMAN Indonesia melalui program Sekolah Perempaun Perdamaian, dengan cara menyuguhkan metode kunjungan ke kelompok-kelompok berbeda, serta melakukan kajian peran perempuan dari kaca mata agama-agama. Mengapa pentign belajar agama-agama lain? Lingkungan kita yang cenderug homogen bisa menjadi penghalang untuk mengenali yang berbeda, sehingga kita tidak memiliki pengetahuan cukup tentang kepercayaan atau agama orang lain. Ini yang sering memunculkan kesalahpahaman.
Beberapa kunci dialog yang dari pembelajaran Jawa Timur, Ambon dan Poso adalah:
1. Menghilangkan Prasangka
2. Menemukan figur publik yang bisa dipercaya
3. Menghidupkan Trust (kepercayaan)
4. Memperkuat relasi personal
5. Menentukan strategi yang berbasis pada narasi agama atau non agama (tidak semua dialog harus menggunakan narasi agama, Ambon menggunakan narasi kemanusiaan untuk mendapatkan kesepahaman untuk mengakhiri konflik)
6. Menggunakan kekuatan media massa yang pro perdamaian
7. Melibatkan perempuan sangat strategis. Di Ambon kekuatan perempuan dianggap konsisten, di Poso perempuan proses rekonsiliasi senyap banyak dilakukan oleh perempuan
Model dialog juga tetap relevan untuk menjaga perdamaian. Wahid Foundation percaya bahwa dengan memperkuat pendidikan publik untuk toleransi dan perdamaian, merupakan satu model dialog untuk memberikan kesempatan mengkonfirmasi pengetahuan, personal feeling dan empati.
Trust, Forgiveness dan Reconciliation
Bagaimana kami memulai ini? Salah seorang tokoh muslim dari Rakhine State membuka sesi dialog siang itu. Menurutnya terkoyaknya trust di kalangan muslim dan non muslim di Rakhine State sangat sulit untuk dikembalikan. Begitu berlapis-lapisnya konflik yang menimpa mereka, sehingga harus hati-hati dalam menentukan pintu awal dialog.
Trust tampaknya menjadi concern besar dalam menerapkan pendekatan dialog di Rakhine. Ini sangat wajar, karena trust yang terkoyak sulit untuk dikembalikan. Trust akan terbangun selama proses dialog sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan trust. Tetapi dengan prinsip-prinsip yang dibangun pada saat dialog seperti setiap orang punya hak bicara, saling menghormati,, tidak boleh menghakimi, mendengarkan aktif, menjaga kerahasiaan dalam dialog jika dibutuhkan, menciptakan rasa nyaman dan aman. Rasa nyaman terutama dan merasa di-orang-kan dalam dialog akan menjadi faktor besar memperkuat trust.
Trust juga bisa tumbuh karena sentuhan momentum tertentu. Siapa yang sangka, ketidakcanggungan saya minum dari gelas keluarga Kristen di sebuah desa dimana AMAN bekerja, membuka pintu trust yang lebar untuk penerimaan program di kalangan muslim dan non muslim di Poso.
Elemen lain yang dianggap penting adalah forgiveness atau memaafkan. Memaafkan merupakan jembatan untuk rekonsiliasi. Tapi memaafkan tidak sama dengan melupakan. Dalam proses memaafkan, baik pelaku dan korban harus secara rela melakukan pemaafan dan berkomitmen untuk menjalankan proses-proses yang konstruktif mengarah pada rekonsiliasi. Ada banyak faktor yang mendorong seseorang harus masuk dalam fase memaafkan, diantaranya adalah: membawa dendam sama dengan menggengam bara api yang setiap saat akan membakar diri sendiri. Dendam mengarahkan pada bentuk-bentuk kekerasan baru. Baik kekerasan pada diri sendiri, lingkungan sendiri, ataupun lingkungan lebih luas. Maka dendam akan selalu membutuhkan penyaluran yang biasanya dalam bentuk kekerasan. Ini yang akan menciptakan siklus kekerasan.
Untuk memaafkan, maka dendam harus ditaklukkan. Meskipun tidak mudah memaafkan, tapi harus diyakini bahwa memaafkan jauh lebih melegakan, dan menyerahkan proses keadilan pada mekanisme peradilan yang ada. Harus disadari bahwa dalam konteks perang atau konflik, prilaku kekerasan sangat mudah diprovokasi karena dibakar sentimen tertentu.
Rekonsiliasi secara sederhana dimaknai pertemuan dan penyatuan tekat damai pada pihak-pihak yang bertikai atau berkonflik. Rekonsiliasi biasanya ditandai dengan pemaafan dan pengampunan kemudian membuat komitmen bersama untuk membangun perdamaian. Untuk menandai proses ini, di Poso orang membuat simbol Pasar rekonsiliasi. Di Halmahera, rekonsiliasi diadakan di lapangan dekat bangunan adat untuk mengikat para pihak yang berkonflik dengan adat mreka.
Peran Perempuan dalam Rekonsiliasi
Hal lain yang menarik perhatian peserta dari Myanmar adalah peran perempuan dalam mendorong perdamaian. Mungkinkah ini dilakukan di Rakhine State mengingat perempuan memiliki keterbatasan mobilitas di publik. Bagaimana mungkin ini akan mendorong proses perdamaian?
Jika kita melihat proses-proses senyap rekonsiliasi yang dilakukan oleh perempuan, tidak semua menggunakan ruang publik. Saya masih ingat cerita Hilda Rolobesy, salah satu aktor perempuan di Ambon yang menceritakan bahwa proses dialog antara tokoh perempuan terjadi di kamar-kamar hotel karena untuk menjaga rasa aman dan saat itu trust juga belum kuat. Cerita di Poso, bahwa pasar merupakan tempat "senyap' untuk menyambung kembali trust yang terkoyak diantara para pedagang ikan dan sayur di pasar. Juga dialog untuk mendorong pada perdamaian terjadi di door to door sebelum kemudian digiring ke publik untuk menjadi proses bersama.
Di pengalaman AMAN indonesia, proses penguatan leadership perempuan tidak dilakukan jauh dari jangkauan perempuan. Kelas Sekolah Perempuan Perdamaian sengaja tidak dipisahkan dari domain perempuan. Konsep community-based learning sengaja diciptakan untuk memberikan kesempatan yang setara pada berbagai latar belakang perempuan. Ini juga sebagai bagian mendekatkan akses kepada perempuan yang memiliki kesulitan untuk mobilitas ke luar komunitasnya karena urusan rumah tangga.
Justru pembelajaran yang didekatkan ini membuat space baru bagi perempuan untuk mendapatkan akses memperkuat kapasitas leadership untuk mendorong perubahan. Jadi, model pendidikan kritis yang ditawarkan oleh Sekolah Perempuan sangat relevan untuk perempuan yang terkendala mobilitas seperti yang digambarkan oleh peserta dari Rakhine State.
Elemen kunci yang penting dalam kelas belajar adalah kehadiran perempuan yang berbeda. Dengan menghadirkan perempuan yang berbeda akan membuka perjumpaan pada hal-hal baru bukan saja pada isu identitas, tradisi, tapi juga keseharian hidup sebagai sesama perempuan yang saya sendiri menyakini akan ditemukan banyak kesamaan. Rasa senasib sebagai perempuan akan mendorong pada common sense untuk membangun solidaritas. Pengalaman pada perbedaan harus sengaja diciptakan, agar tumbuh empati dan solidaritas untuk sama-sama mendorong pada rekonsiliasi dan resolusi konflik.
Dari pengalaman banyak negara, pemberdayaan perempuan adalah kunci untuk penyelesaian konflik yang lebih sustainable. Olehkarenanya tidak perlu ragu lagi. Karena jika perempuan berdaya, maka keluarga akan mengalami transformasi, dan komunitas akan pula bergerak ke arah perubahan karena bukan saja kelompok laki-laki yang siap melakukan perubahan tapi juga kelompok-kelompok marginal yang lainnya.
Move Beyond Exchange
Nah...sekarang pekerjaan rumah selanjutnya setelah kunjungan adalah membumikan dialog di tanah Rakhine sendiri. Ini bisa dilakukan secara mandiri maupun dengan kerja-kerja kolaborasi. Dilakukan mandiri maksudnya adalah menggunakan segala pengalaman terbaik dan pengetahuan dari Indonesia untuk mendorong pada proses perdamaian di tingkat lokal Myanmar. Artinya kawan-kawan CSO dan perwakilan pemerintah yang telah mendapatkan pengetahuan dari program exchange bisa menata strategi untuk mulai menggulirkan dialog di berbagai kelompok.
Kedua, dengan membangun kolaborasi dengan CSO Indonesia untuk membuat misi perdamaian bersama. Artinya pihak Indonesia sebagai pihak ketiga untuk memfasilitasi proses dialog untuk mendapatkan kesepahaman akan pentingnya perdamaian.
Untuk proses ini, keterlibatan pemerintah sangat penting baik dari pemerintah Myanmar dan Indonesia dalam membuka forum-forum dialog di dalam negeri sendiri. Namun, jika kondisi tidak memungkinkan maka dialog-dialog dengan pihak yang berseteru atau dialog untuk meluruskan pemahaman yang salah dan memperkuat empati harus dilakukan di tempat yang lebih aman.
Bagi penyelenggara program-program exchange, penting untuk melihat dampak dari program yaitu dengan memastikan bahwa output dari program benar-benar dimonitor untuk dipakai pada segala upaya yang mengarah pada rekonsiliasi.
Saya percaya bahwa model dialog, apalagi dimulai dari people to people akan berdampak lebih sustainable karena bangunan pondasi kepercayaan di tingkat bawah menjadi lebih kuat. People to People Dialogue akan mengkonsolidasi kekuatan berbagai kelompok yang berbeda yang selama ini cenderung terpecahbelah. Dialog akan mempersatukan yang berbeda. Dialog akan memperkuat rasa menjadi orang Myanmar. Dialog akan membawa pada rasa persatuan untuk masa depan Myanmar yang lebih baik.
Dialog di level lain juga bisa secara simultan harus terjadi, yaitu dialog diantara para elit. Sudah saatnya pada elit memikirkan nasib rakyat yang semakin terpuruk dalam kemiskinan jika konflik dibiarkan berkepanjangan. Konflik yang dibiarkan juga rawan untuk ditunggangi oleh kelompok-kelompok ekstrimis yang ini akan memperburuk kondisi negara. Olehkarnanya, hanya dengan meletakkan persatuan dan kesatuan etnik dan agama untuk mendukung kedaulatan Myanmar, maka perdamaian niscaya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar