Senin, 10 Oktober 2016

Update NAP 1325 (P3AKS): Progress and Challenges

Tidak seperti forum kementerian sebelumnya. Kali ini, rapat tiga hari membahas tentang pematangan pembentukan Pokja RAN Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3AKS) begitu diwarnai dengan momen bernyanyi dan menarik bersama partisipan dan perwakilan kementerian. Sangat akrab dan serius karena forum diselenggarakan mulai jam 8.30 pagi sampai jam 10 malam hari.  Tidak pernah dalam hidup saya bekerja dengan kementerian melihat begitu anthusiasnya peserta yang tidak berkurang jumlahnya mulai dari hari pertama sampai penutupan. Workshop yang diselenggarakan pada tanggal 28-30 Sept 2016 mampu menjadi tonggak kebangkita kembali NAP 1325 di Indonesia, yang sekarang kita kenal dengan RAN P3AKS.

Ada tiga hal penting yang perlu dihighlight dari pidato penutupan Deputi Perlindungan Perempuan dan Anak, Prof. Venesa tentang komitmen KPPPA ke depan yaitu; Pertama, terkait dengan program, dimana forum merekomendasikan untuk memperkuat program RAN P3AKS pada reformasi pendidikan, penguatan Early Warning System berperspektif gender, audit kebijakan berpotensi konflik, dan pedoman penanganan konflik sosial berperspektif HAM dan mendukung berfungsinya kembali SNPK sebagai data base terintegrasi. Ibu Venne juga menekankan pentingnya mengintegrasikan Pokja RAN P3AKS menjadi bagian dari Tim Terpadu, agar kordinasi KL terkait dengan penanganan konflik sosial bisa lebih terkonsolidasikan secara baik. Dan yang terakhir adalah perbaikan perbaikan kebijakan penanganan konflik sosial lintas kementerian. 

Ketiga hal penting diatas memang menjadi diskusi intensif selama tiga hari workshop. Sebagai lembaga yang secara intensif menjadi teman diskusi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, AMAN Indonesia melihat bahwa tidak ada kemajuan yang significant pada implementasi RAN P3AKS. Target 10 RAD yang dicanangkan pada tahun 2015, pesimis bisa dicapai. Hanya Sulawesi Tengah yang secara optimis melaporkan capaian draft RAD dengan proses partisipatoris melibatkan kelompok perempuan dalam pembuatannya. Aceh yang memiliki draft paling awal dengan dukungan Balay Syura juga tidak memberikan komen apapun terhadap draft yang sekarang ada di Biro Hukum dan belum mendapatkan restu dari Badan PPA itu sendiri. Bengkulu tidak juga ada laporan, padahal pada tahun sebelumnya mereka klaim bahwa draft sudah jadi, meski diragukan apakah pembuatan draftnya melibatkan masyarakat sipil. 

Yang progress dari pertemuan ini adalah keseriusan dari tim Asdep Perlindungan Perempuan dan Anak yang dimotori oleh Ibu Nyimas Aliyah dan Asdep PMK, Ponco Respati membuat forum sangat berbobot. Kombinasi antara peran kementerian dan masyarakat sipil dalam proses fasilitasi, membuat peserta forum secara aktif terlibat dalam diskusi bahkan sampai malam hari. Semangat ini patut dipertahankan untuk ke depan menjadi spirit rapat kordinasi di Kementerian. Laporan ini tidak disusun secara runtut sesuai dengan Rundown acara workshop, tetapi lebih ingin menangkap dinamika diskusi selama proses dan kemudian menutupnya dengan rekomendasi. 

Dinamika Proses

Satu kunci sukses forum ini bisa diukur dengan dinamika forum yang tetap stabil mulai dari pertama sampai terakhir. Ini karena kehadiran Kementerian Lembaga, perwakilan BPPPA, Kesbangpol, Dinas Sosial, Bappeda, Satgas Perlindugan Perempuan dan Anak, KOMNAS HAM, KPAI, PMI , BNPB, dan LSM yang bekerja pada konflik sosial. Kehadiran elemen-elemen yang sangat terkait dengan implementasi RAN P3AKS inilah yang membuat diskusi dalam forum berkembang dan mampu mengerucut pada sebuah kesepakatan bersama. Terutama pada kelembagaan Pokja P3AKS yang akan diintegrasikan ke dalam TImDu yang saat ini telah ada di nasional dan propinsi. 

Berikut adalah dinamika workshop selama tiga hari yang saya bisa rangkumkan selama proses diskusi. 
Pertama, komitmen nasional dan daerah untuk menurunkan RAN dalam bentuk RAD yang lebih praktikal dan kontekstual, pola kordinasi yang lebih efektif lintas kementerian dan sektor, dan terakhir adalah memastikan focal point di tiap lembaga yang terlibat untuk memudahkan monitoring dan evaluasi program. Akan lebih mudah jika komitmen bisa dilihat dari program matrix yang sudah disahkan pada Permenko No. 7 tahun 2016 tentang Program RAN P3AKS
Kedua, Absennya focal point yang tetap di Kementerian dan lembaga-lembaga lain menyulitkan pola kordinasi dan tracking program-program yang telah atau belum dijalankan. Setiap orang yang didelegasikan ke forum kordinasi selalu baru. Bukan hanya itu, alasan tidak ada kordinasi atau tidak ada pemberitahuan sering dijadikan alasan, sehingga sangat sulit mendapatkan berita akurat tentang pelaksanaan RAN P3AKS di dalam kementerian terkait. Implikasi dari tidak ada focal point adalah keberadaan program terkait RAN P3AKS tidak bisa dilacak. Dengan demikian, KPPPA akan kesulitan untuk membuat laporan sesuai dengan matrix program yang telah disepakati. 
Ketiga, pergeseran prioritas program di Kementerian sangat mungkin menggeser RAN P3AKS sebagai non priority. Ini terjadi karena tidak semua aktor yang terlibat menjadikan dokumen program matrix RAN P3AKS sebagai dokumen rencana strategis yang harus dijalankan dan dimonitor. Atau program yang sudah ada dikontekstualisasikan dalam menjawab tantangan terkini. Rencana yang ada sebenarnya dibuat se-fleksible mungkin, sehingga sangat bisa dikontekskan dalam menjawab konflik di daerah berbeda. Karena sifatnya sangat operasional, kegiatan yang ada di program matrix sangat mudah bisa diambil dan dilintegrasikan. Pertanyaannya apakah Kementerian benar-benar melihat program matrix yang sudah ada di Permenko saat merumuskan program prioritas di Kementrian? 
Kelima, concern lain yang muncul dari forum ini adalah keberadaan Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak. Sebuah lembaga volunteer yang dibentuk oleh KPPPA untuk mendukung kerja-kerja P2TP2A di tingkat basis. Lemahnya dukungan finansial pada Satgas membuat relasi pemerintah daerah, khususnya badan PP dengan Satgas kurang harmonis. Padaahal ini bisa disiasati dengan menjadikan Satgas salah satu elemen penting yang harus ada dalam perlindungan korban konflik sosial. Isu recognisi Satgas sangat kuat. Ini karena keberadaan Satgas disahkan oleh SK Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sehingga seharusnya memiliki kekuatan dan daya dorong yang cepat untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Realitasnya, masih perlu sebuah kordinasi internsif dengan lembaga P2TP2A dan juga Badan PP di daerah. 
Keenam, terkait dengan program yang ada di program matrix dianggap kurang kontekstual.  Program lebih banyak menjawab kebutuhan praktis dibandingkan dengan kebutuhan strategis. Ini artinya bahwa program yang bersifat mampu mengubah secara budaya dan struktural sangat sedikit. Olehkarenanya usulan untuk mengakomodasi program reformasi pendidikan, audit kebijakan diskriminatif atau tidak sensitif konflik, Early Warning System, Pedoman Pemerintah dan Polisi dalam penanganan konflik sosial, Pengintegrasian data dll. Meskipun kebutuhan daerah sangat menentukan, tetapi penting melihat secara proporsional program P3AKS, terutama karena keterbatasan sumber daya.
Ketujuh, definisi konflik sosial penting untuk ditegaskan lagi. Ini karena kecenderungan peserta workshop memberikan tafsir yang tidak sesuai dengan semangat UU PKS tentang konflik sosial. Mempertegas definisi dan skup RAN P3AKS menjadi penting. Isu-isu seperti narkoba, pornografi, bencana alam dsb hendaknya diletakkan dalam program yang lain.
Kedelapan, kelembagaan RAN P3AKS. Mandat Perpre dan permko adalah adanya Pokja di tingkat nasional dan daerah sebagai pelaksana program. Sementara pada kenyataannya UU PKS telah memberikan mandat kepada Menteri DAlam Negeri untuk membuat sebuah kelembagaan yang bisa mengkordinasikan penanganan konflik sosial. Tim Terpadu atau TimDu merupakan pusat kordinasi lintas kementerian untuk merespon konflik sosial. Dengan dicangkokkannya Pokja P3AKS ke dalam TimDu sebagai lembaga otonom yang akan menjalankan kerja-kerja P3AKS akan efektif dan lebih terkordinasi. Gagasan ini muncul karena refleksi selama ini, bahwa kesulitan untuk menggerakkan semua elemen  yang bekerja untuk konflik sosial, dan juga tumpang tindih kewenangan. Maka, hanya dengan merapatkan diri kepada TimDu, kerja-kerja P3AKs akan tetap dijalankan. Sebaliknya, keberadaan Pokja P3AKS dijaga untuk tidak melebur, karena akan hanyut dan kehilangan kemandirian. Badan Pemberdayan Perempuan dan Anak di daerah akan tetap menjadi leading sector untuk pelaksanaan P3AKS. Bagaimana dengan bentuk yang lain? Workshop tidak membuka pembahasan model kelembagaan Pokja P3AKS, tetapi kasus Jakarta yang akan mengintegrasikan agenda P3AKS ke dalam RAD SDGs mungkin bisa menjadi contoh menarik untuk dipelajari. Sulitnya adalah memastikan bahwa agenda perlindugnan dan pemberdayan perempuan dan anak dalam konteks konflik sosial benar-benar bisa diintegrasikan ke dalam kebijakan lokal. Jika tidak explisit maka akan sulit untuk dimonitor pelaksanaannya. 
Kesembilan, data base dirasakan sangat penting. Apresiasi tinggi pada keberadaan SNPK seolah mendorong pada konsensus untuk menghidupkan kembali data base yang pernah menjadi data base terbaik ini. Bukan hanya tugas PMK untuk mempertahankan SNPK, tetapi juga tugas semua kementerian terkait untuk memastikan bahwa mekanisme sharing budget untuk menghidupkan SNPK bisa benar-benar terjadi. 

Kesepuluh, sekretariat RAN P3AKS. Perbedabatan keberadaan sekretariat sudah lama. Kali ini sepertinya ada willingness dari Asdep PPA untuk mewujudkan gagasan sekretariat tersebut. Ini juga sangat didukung oleh Pak Ponco dari PMK yang juga memiliki irama yang sama. Keberadaan sekretariat akan banyak menolong pada perapian data-data terkait dengan RAN P3AKS. Sekretariat akan membantu melakukan kordinasi internsif dengan KL yang sudah melakukan komitmen, juga akan menolong kerja-kerja KPPPA secara intensif mempersiapkan laporan pelaksanaan RAN di tingkat nasional maupun daerah. 

Kesimpulan Forum 
Dinamika forum yang tinggi melahirkan kesimpulan sebagai berikut:
  1. RAN P3AKS merupakan bagian yang tidak terpisah dan melengkapi pelaksanaan UU Penanganan Konflik Sosial di Indonesia dengan tetap mengacu pada substansi yang ada dalam Resolusi DK-PBB 1325;
  2. RAN P3AKS harus dipahami tidak hanya sekedar memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak sebagai korban konflik, tapi mendorong peran dan partisipasi perempuan sebagai agen perdamaian;
  3. Hasil Evaluasi menunjukkan bahwa, 2 tahun penerapan kebijakan P3AKS masih dirasa belum optimal, terutama disebabkan 2 faktor : 
  • Lemahnya Komitmen aktor di tingkat pusat
  • Belum tersedianya Kebijakan operasional di tingkat daerah;
  • Belum operasionalnya Sistem dan mekanisme kerja Kelembagaan P3AKS;
  1. Diperlukan sinergi antar-komponen Pembangunan (pemerintah dan non pemerintah) dalam pelaksanaan RAN P3AKS;
  2. Untuk menjaga sinergitas antar-K/L dan memperkuat mainstreeming Isu Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Penanganan Konflik Sosil, Pokja RAN P3AKS didorong menjadi bagian (struktur otonom) dalam Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial (pusat dan daerah);

Rekomendasi 
Ada tiga aspek penting yang ingin disoroti dalam rekomendasi workshop kali ini yaitu aspek kebijakan, kelembagaan dan program. 
Beberapa rekomendasi dari aspek kebijakan diantaranya adalah;
  1. Perlu disusun kebijakan bersama lintas K/L dalam rangka percepatan pelaksanaan RAN/RAD di tingkat daerah (SKB, SEB atau Mou);
  2. Melakukan revisi Permenko PMK terkait perubahan-perubahan nomenklatur dan atau substansi RAN P3AKS.
  3. Melakukan advokasi dilakukannya revisi kebijakan tentang Tim Terpadu (Permen, SK) dengan memasukkan Pokja P3AKS sebagai bagian dari Tim Terpadu PKS
  4. Harus dilakukan advokasi penerapan RAN/RAD P3AKS dalam dokumen perencanaan pembangunan;
Dari aspek kordinasi Kelembagaan, beberapa rekomendasi penting dilakukan sebagai berikut;
  1. KPPA menunjuk Badan Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan (BPPA) sebagai Leading sector untuk mengawal pelaksanaan RAN P3AKS di daerah (Prov dan Kab/Kota);
  2. Melakukan koordinasi rutin antar K/L, SKPD dalam rangka Monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN P3AKS
Dari Aspek Program, beberapa program yang menjawab kebutuhan strategis perlu dijalankan seperti:
  1. Perlu disusun Pedoman Penanganan Konflik Sosial berbasis HAM/HAN/HAP
  2. Audit kebijakan yang sensitive konflik
  3. Memperkuat Kapasitas Aparatur Negara (non-diskriminatif dan sensitive Gender)
  4. Mengembangkan instrumen Early Warning and Early Response System berbasis komunitas (peran perempuan sbg agen perdamaian);
  5. Melakukan reformasi pendidikan karakter bangsa yang menekankan pada Budi Pekerti
  6. Mengembangkan strategi media komunikasi informasi edukasi utk isu perlindungan perempuan dan anak di daerah konflik;
  7. Memperbanyak ruang-ruang perjumpaan bagi perempuan;
  8. Pelibatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik
  9. Mengembangkan sistem data dan informasi terintegrasi melalui Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK)
*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar