“Yang
terpenting dalam dialog itu adalah munculnya pertanyaan kritis dari kedua belah
pihak sebagai refleksi dari realitas…” Kata Dr. Suwanna Santha Anand melihat
tajam ke dalam bola mata saya kemarin siang. Perjumpaan saya dengan beliau
untuk pertama kali sejak tamat dari Universitas Mahidol Thailand memberikan
kesan mendalam dengan paparan tajam pendekatan filsafat tentang dialog. Jadi,
saya wajib berterima kasih pada CENAS yang mengundang saya untuk memoderatori
salah satu sesi di Seminar Nasional yang bertajuk Love and Forgiveness pada
tanggal 17-18 Juli 2012.
Mengapa
dialog penting? Setidaknya ada tiga alasan yang belia tawarkan mengapa dialog
perlu untuk dilakukan yaitu membongkar identitas diri (who you are?), melihat
moralitas dalam diri sendiri, dan berbagi ambisi tentang hidup. Untuk
menjelaskan ketiga hal tersebut, saya juga ingin memaparkan dengan beberapa
percakapan yang saya rekonstruksi secara imaginer berbasis pada presentasi Dr.
Suwanna dan juga laporan projek AMAN di Poso. Percakapan dari ketiga kisah
dibawah ini hanya sebagai media membantu analsis saya, jadi pembaca bisa
berfokus pada text yang ada dan analisisnya.
Kisah Pertama:
Dibawah
ini adalah dialog antara Budha dengan seorang Biksu muda tentang Kasta.
Buddha : Menurut anda Biksu itu masuk kasta
apa?
Biksu
Muda: Saya rasa masuk kasta Brahma.
Buddha : bagaimana anda menyimpulkan hal itu?
Biksu
Muda; ilustrasi saya, setiap manusia diciptakan dari bagian tubuh Dewa Rama
yang berbeda. Biksu terlahir dari kepala, karena kedudukannya yang tinggi di
masyarakat sebagai orang suci. Maka kastanya Brahmin. Orang-orang prajurit dan
pemimpin Negara dilahirkan dari bagian tubuh Rama yaitu lengan dan tangan, ini
disebut Kasta Kshatriya. Lalu ada kasta
vaisya yang dilahirkan dari perut Rama. Dan Kasta Sudra dari kaki Rama.
Semua sudah ditentukan dari sang penciptanya. Jadi Biksu itu Kasta paling
tinggi.
Buddha : Kasta itu hanya ditentukan oleh
perbuatan seseorang.
Dari
cerita diatas, kita bisa melihat sangat jelas cara pandang “siapa saya” sangat
dipengaruhi oleh kedudukan seseorang. Bagaimana cara kita memandang diri kita
akan berpengaruh sekali pada cara kita memandang orang lain. Ketika Budha
memberikan argumentasi yang berbeda dengan cara pandang Biksu Muda, maka disitulah
turning point sebuah transformasi
terjadi. Mengapa? Pernyataan Budha bahwa kasta seseorang hanya diukur dari
perbuatan baik seseorang meruntuhkan bangunan pemahaman tentang sistem kasta
yang dipahami banyak orang. Sistem kasta seringkali mewujud dalam prilaku yang
diskriminatif berdasarkan pada darimana kasta seseorang dilihat. Implikasi yang
jauh pada akses dan kontrol seseorang yang dibatasi oleh asal kasta mereka. Kekerasan
terhadap perempuan banyak terjadi karena sistem kasta. Percakapan di atas bukan
hanya sekedar percakapan, karena ada proses transformasi cara berpikir yang
mendalam yang terjadi pada Biksu Muda. Pernyataan Budha juga memberikan harapan
pada setiap orang bahwa siapa saja bisa dan berhak berada di kasta tertinggi
secara setara dan terbuka karena kompetisi pada berbuat kebaikan.
Kisah kedua:
Di
dalam Al-Kitab Yohanes diceritakan tentang seorang perempuan yang melakukan
perzinahan yang nyaris dihakimi oleh orang-orang dengan hukuman rajam, tapi
kemudian Jesus bisa menyelamatkan dengan meminta orang yang tidak berdosa yang
berhak untuk merajamnya. Berikut kisah lengkapnya.
8:6 Mereka
mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu
untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.
8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: /"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."*
8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.
8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: /"Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"*
8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: /"Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."*
8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: /"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."*
8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.
8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: /"Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"*
8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: /"Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."*
Moralitas
diri. Ini yang disentuh oleh Jesus ketika menghadapi kerumuman orang yang marah
dan bernafsu merajam si perempuan. Dialog antara Jesus dengan kerumunan
orang-orang yang menginginkan hukuman rajam memaksa orang-orang untuk melihat
keterbatasan sebagai manusia yang sangat mungkin melakukan kesalahan. Dengan
bahasa lain, tidak satupun orang yang luput dari dosa, maka ketika pintu taubat
dibuka, maka harus diberikan ampunan. Perkataan Jesus "Barangsiapa di
antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu adalah momen krusial dialog yang memberikan kesempatan pada
setiap orang yang hadir pada kerumunan tersebut untuk berani bertanya pada diri
sendiri “ apakah diri saya suci dari dosa?”. Ketika orang-orang tersebut
“bertanya”, maka mereka akan mulai menyadari bahwa setiap orang memiliki
keterbatasan. Keterbatasan menjaga moralitas diri. Jesus ingin memberikan
kesempatan pada setiap orang untuk menyadari ini. Dialog hendaknya
mengedepankan pada refleksi pada moralitas diri, sehingga menuntut kita untuk
selalu berhati-hati dalam melihat keterbatasan moralitas orang lain secara
lebih arif.
Kisah ketiga:
Ini percakapan
imaginer dari kisah yang saya tangkap selama menjalankan projek di Poso.
Percakapan initerjadi pada dua orang ibu (Muslim dan Kristian) yang sudah
saling kenal
Si A: Mengapa setiap
giliran saya menyuguhkan kue-kue, selalu masih tersisa banyak, berbeda dengan
ketika kue disiapkan oleh ibu-ibu Muslim?
Si B: Mengapa tidak
anda ceritakan terlebih dahulu bagaimana perasaan anda ketika dalam kedurian,
makanan anda tidak disentuh sama sekali oleh rombongan muslim?
Si A: Baik…..Saya
merasa tertolak. Saya merasa sudah mempersiapkan hidangan dengan mengundang para
juru masak dari muslim agar semua orang bisa makan. Saya merasa tidak dihargai
dan saya jadi malas terlibat di dalam proses belajar…
Sekilas percakapan
diatas terlihat biasa saja. Tetapi coba kita perhatikan ketika si B meminta si
A untuk berbagi terlebih dahulu tentang perasaannya ketika hidangan kue yang
disiapkannya tidak dimakan oleh rombongan muslim, disitulah sebuah pertarungan trust (kepercayaan) terjadi. Ini momen
kritis baik bagi keduanya. Bagi si A, ini adalah momen mendalam untuk
mengungkapkan perasaan dia yang sesungguhnya, dan mungkin saja mencederai
hubungannya dengan si B. Sebaliknya bagi Si B, pengakuan si A terhadap sikap
dan prilaku kelompoknya yang mungkin “tidak hormat” menimbulkan salah paham dan
bisa berakibat pada ketegangan. Namun, trust
dan ambition for life yang menuntun
keduanya untuk memulai bicara. Jika di keduanya tidak ada kepercayaan, maka
sharing tidak akan terjadi. Jika dikeduanya tidak ada ambisi memperbaiki
kehidupan masyarakat agar hidup harmonis, maka niscaya tidak ada dialog. Dua
syarat ini yang membaca dialog pada perwujudan kondisi harmoni di masyarakat.
---------------
Tulisan ini pernah juga saya publish di wall facebook saya pada tahun 2012. Mohon maaf jika mengulang. Tetapi saya rasa ini masih relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar