Hari Minggu, 15 September 2013, saya berkesempatan mengisi sesi Gender dan Pembangunan Perdamaian di sebuah Women Leadership Course yang diselenggarakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak pada perempuan dan pembangunan perdamaian di Indonesia. Saya sering mendengar orang berbicara bahwa peremuan itu sumber damai dan laki-laki itu sumber konflik. Cara pandang hitam putih dan dikotomi ini juga menimbulkan salah sangka dan cukup berbahaya dalam upaya membangun perdamaian. Karena secara tidak langsung dikontomi tersebut, menempatkan salah satu gender pada sisi gelap dan menghakimi mereka sebagai biang kerok dari konflik. Ini tentu saja tidak diperbolehkan, karena jika konstruksi berpikir ini selalu dikembangkan maka kita akan kesulitan untuk mengajak laki-laki untuk terlibat dalam perdamaian. Akibat lain yang mungkin ditimbulkan adalah withdrawal kaum laki-laki dari proses pemberdayaan perempuan.
Kali ini saya tentu saja tertarik untuk berbagi bagaimana cara-cara unik yang dipakai perempuan dalam menyelesaikan konflik. Oh ya..saya juga ingin tekankan bahwa konflik itu sesuatu yang natural. Jadi tidak perlu harus dihindari, tetapi harus dimanage agar tidak terjatuh pada fase kekerasan. Sengaja saya pancing para peserta training d yang berasal dari beberapa kelurahan di tiga kota yaitu dua kelurahan di Jakarta yaitu Cakung Barat dan Pondok Bambu, Kelurahan Loji di Bogor dan kelurahan Pamona dan Malei Lage di kabupaten Poso, dengan pertanyan kunci "Apa bedanya cara penyelesaian perselisihan di masyarakat?" Sebenarnya, pertanyaan ini saya ingin sandingkan dengan model resolusi konflik yang ada, dengan menganalisanya menggunakan perspektif gender.
Menurut penuturan beberapa peserta, biasanya laki-laki cenderung menyelesaikan masalah dengan cara yang langsung atau terbuka dengan menggunakan mekanisme formal dialog. Yang dimaksud dengan cara langsung disini adalah persoalan diselesaikan dengan cara terbuka tanpa memikirkan kemungkinan dampak yang akan terjadi. Sebaliknya, kecenderungan perempuan, mereka menyelesaikan konflik dengan cara "silent" (diam-diam) artinya bahwa perempuan lebih memilih strategi melingkar keluar. Dengan kata lain, proses penyelesaian konflik dengan melihat dampak konflik pada orang terdekat yaitu anggota keluarga, misalnya anak-anak.Kemudian perempuan cenderung bicara pada teman dekat dan orang tua untuk mendapatkan perspektif yang berbeda. Saya jadi penasaran dengan cara-cara ini. Lantas saya tanya "mengapa perempuan membutuhkan pendekatan pada beberapa orang dekat dia seperti anak-anak, ortu dan teman dekat?. Salah seorang peserta dari Cakung bilang kalau strategi melingkar ini sebenarnya dilakukan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi-informasi yang terkait dengan sebab dan akibat sebelum dia menghadapi dialog langsung dengan suami. Mengapa demikian? Pengalaman banyak perempuan menjelaskan kalau mereka langsung dihadapkan pada dialog langsung tanpa memiliki amunisi, maka mereka seringkali kesulitan dalam menata argumentasi untuk menjelaskan duduk persoalan.
Kemudian saya ingin menyoroti media dialog formal yang sering dipakai oleh laki-laki. Dalam konteks penyelesaian konflik di beberapa wilayah, maka perempuan juga memiliki kecenderungan menggunakan cara-cara informal untuk menjajaki kemungkinan penyelesaian konflik. Cara-cara yang telah terdokumentasikan yaitu "door to door" yaitu proses rekonsiliasi yang dijalankan dengan cara-cara menjual sayur atau ikan sambil menjahit gagasan rekonsiliasi. Ini sudah dibuktikan di daerah Poso dan Ambon.
Dari indentifikasi di atas, jika kita tarik pada ranah rekonsiliasi dan resolusi konflik maka sangat bisa dijelaskan kalau hanya dengan menggunakan analisis gender, maka keunikan kecenderungan perempuan dan laki-laki dapat ditangkap. Juga, ini semakin jelas kalau hilangnya peran perempuan dalam resolusi atau rekonsiliasi konflik sering tidak dianggap. Ini karena perempuan banyak sekali melakukan "peran pinggiran" dan informal, yang kemudian dianggap sebagai peran gender. Karena car-cara yang dipakai memang menggunakan peran reproduksi dan produksi gender mereka. Tapi "peran pinggiran" ini justru telah menorehkan banyak cerita sukses. Lantas, mengapa strategi pinggiran ini masih saja tidak diakui? ***
Kali ini saya tentu saja tertarik untuk berbagi bagaimana cara-cara unik yang dipakai perempuan dalam menyelesaikan konflik. Oh ya..saya juga ingin tekankan bahwa konflik itu sesuatu yang natural. Jadi tidak perlu harus dihindari, tetapi harus dimanage agar tidak terjatuh pada fase kekerasan. Sengaja saya pancing para peserta training d yang berasal dari beberapa kelurahan di tiga kota yaitu dua kelurahan di Jakarta yaitu Cakung Barat dan Pondok Bambu, Kelurahan Loji di Bogor dan kelurahan Pamona dan Malei Lage di kabupaten Poso, dengan pertanyan kunci "Apa bedanya cara penyelesaian perselisihan di masyarakat?" Sebenarnya, pertanyaan ini saya ingin sandingkan dengan model resolusi konflik yang ada, dengan menganalisanya menggunakan perspektif gender.
Menurut penuturan beberapa peserta, biasanya laki-laki cenderung menyelesaikan masalah dengan cara yang langsung atau terbuka dengan menggunakan mekanisme formal dialog. Yang dimaksud dengan cara langsung disini adalah persoalan diselesaikan dengan cara terbuka tanpa memikirkan kemungkinan dampak yang akan terjadi. Sebaliknya, kecenderungan perempuan, mereka menyelesaikan konflik dengan cara "silent" (diam-diam) artinya bahwa perempuan lebih memilih strategi melingkar keluar. Dengan kata lain, proses penyelesaian konflik dengan melihat dampak konflik pada orang terdekat yaitu anggota keluarga, misalnya anak-anak.Kemudian perempuan cenderung bicara pada teman dekat dan orang tua untuk mendapatkan perspektif yang berbeda. Saya jadi penasaran dengan cara-cara ini. Lantas saya tanya "mengapa perempuan membutuhkan pendekatan pada beberapa orang dekat dia seperti anak-anak, ortu dan teman dekat?. Salah seorang peserta dari Cakung bilang kalau strategi melingkar ini sebenarnya dilakukan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi-informasi yang terkait dengan sebab dan akibat sebelum dia menghadapi dialog langsung dengan suami. Mengapa demikian? Pengalaman banyak perempuan menjelaskan kalau mereka langsung dihadapkan pada dialog langsung tanpa memiliki amunisi, maka mereka seringkali kesulitan dalam menata argumentasi untuk menjelaskan duduk persoalan.
Kemudian saya ingin menyoroti media dialog formal yang sering dipakai oleh laki-laki. Dalam konteks penyelesaian konflik di beberapa wilayah, maka perempuan juga memiliki kecenderungan menggunakan cara-cara informal untuk menjajaki kemungkinan penyelesaian konflik. Cara-cara yang telah terdokumentasikan yaitu "door to door" yaitu proses rekonsiliasi yang dijalankan dengan cara-cara menjual sayur atau ikan sambil menjahit gagasan rekonsiliasi. Ini sudah dibuktikan di daerah Poso dan Ambon.
Dari indentifikasi di atas, jika kita tarik pada ranah rekonsiliasi dan resolusi konflik maka sangat bisa dijelaskan kalau hanya dengan menggunakan analisis gender, maka keunikan kecenderungan perempuan dan laki-laki dapat ditangkap. Juga, ini semakin jelas kalau hilangnya peran perempuan dalam resolusi atau rekonsiliasi konflik sering tidak dianggap. Ini karena perempuan banyak sekali melakukan "peran pinggiran" dan informal, yang kemudian dianggap sebagai peran gender. Karena car-cara yang dipakai memang menggunakan peran reproduksi dan produksi gender mereka. Tapi "peran pinggiran" ini justru telah menorehkan banyak cerita sukses. Lantas, mengapa strategi pinggiran ini masih saja tidak diakui? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar