Jumat, 09 Agustus 2013

Perdamaian itu Bukan Konflik

Kita sering tidak sadar membincang perdamaian dari sudut pandang konflik. Ini bisa dibuktikan setiap seminar/ workshop/ atau short course yang digelar dengan judul peacebuilding (pembangunan perdamaian) selalu digiring untuk memahami definisi konflik terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan sharing cerita  masing-masing orang tentang konflik yang dialami di desanya masing-masing, dampak yang dirasakan oleh warga sipil, perempuan dan anak-anak. Fasilitator juga cukup sukses memberikan ketrampilan untuk analisis konflik yang mencakup aktor-aktor konflik, sebab-sebab munculnya konflik, faktor yang mendorong eskalasi konflik dan sebagainya. Lalu dimana perdamaian?

Kita lupa bahwa membicarakan konflik bukan secara otomatis membincang perdamaian. Karena perdamaian itu bukanlah kondisi dimana konflik tidak eksis. Perdamaian secara garis besar dimaknai sebuah situasi dan kondisi dimana seseorang dapat hidup secara aman dan sejahtera. Aman artinya seseorang terbebas dari rasa takut akan dicederai, didiskriminasi, diserang, dikucilkan, dan diabaikan oleh sistem dan individu di masyarakat. Sedangkan sejahtera mengacu pada kondisi ketercukupan kebutuhan hidup manusia baik untuk kesehatan fisik maupun non fisik. Olehkarenanya, perdamaian juga sangat ada hubungannya dengan persoalan kebutuhan hidup manusia. Abraham Maslow menjelaskan kebutuhan manusia mencakup lima hal yaitu kebutuhan fisiologis termasuk hal-hal yang terkait dengan biologis, kebutuhan keamanan dan keselamatan, kebutuhan sosial seperti memiliki kawan, kebutuhan cinta, kebutuhan penghargaan terkait dengan pujian dan penghargaan dari orang lain, dan yang terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri yaitu kesempatan untuk mengekspresikan kemampuan diri dalam lingkungan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. 
Asumsi yang dibangun adalah bahwa ketidakkecukupan kebutuhan dasar manusia akan berakibat retaknya damai di masyarakat. 

Dari kaca mata yang berbeda, para feminist, melihat persoalan perdamaian ini sangat dekat dengan "hidup". Kehidupan menjadi sentral dari wacana perdamaian, dimana ketegangan dan peperangan sangat mengancam kehidupan, baik itu kehidupan manusia maupun alam semesta. Sara Ruddick, seorang feminist filosof mendekatkan perdamaian dengan mothering (keibuan). Tetapi ini bukan analisis membabi buta, dimana perdamaian diasosiasikan dengan perempuan. Wacana yang diusung oleh Ruddick lebih mengarahkan pada insting keibuan yang lebih menghindari konflik dan perang, menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara nir kekerasan, dan memiliki perspektif yang unik untuk memikirkan keamanan yang berbeda dengan cara berpikir militer. Peace as mothering, menuntun kita untuk menggali kembali sifat-sifat keibuan yang dekat dengan perdamaian. Sifat melindungi, mencintai, menolong, empati, welas asih (compassion), menuntun, telaten dan sebagainya, akan sangat berarti jika digerakkan dalam sebuah irama sosial yang membasis. 

Sifat-sifat mothering itu dalam konsep Peace and Develpment Analisis disebut sebagai kapasitas perdamaian. Sebuah basis nilai dan karakter yang dapat digerakkan untuk menuntun umat manusia pada upaya membangun perdamaian. *** 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar