Iring-iringan itu sempat terhenti ketika memasuki wilayah kuburan .... Para laki-laki yang membawa tenong-tenong berisi kue-kue dan makanan, sejenak melepas lelah. Para perempuan dan anak-anak yang membawa rantang-rantang berisi makanan juga rehat sebentar. Dalam hitungan menit, rombongan kembali bergerak perlahan menaiki bukit kecil, tempat peristirahatan para leluhur kedua Dusun yang menyelenggarakan Nyadran. Pas di pintu Makam Gletuk, Pak Kepala Dusun dan jajaran panitia sepertinya, menyalami satu per satu setiap orang yang masuk di area makam. Mereka mempersilahkan rombongan terus berjalan ke arah depan, agar bisa memenuhi sisi dalam dari area yang sudah disiapkan untuk nyadran. Yah...Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Tapi menurut orang lokal, ada juga nyadran sumber air dan nyadran panen, kesemuanya ditujukan untuk menunjukkan rasa nyukur kepada para leluhur yang telah berjasa pada kemakmuran desa.
Saya juga ada dalam rombongan tersebut. Begitu mendarat di Bandara Ahmad Yani Semarang, langsung dianter supir taxi menuju lokasi. Hanya membutuhkan waktu 1 jam saja. Untuk membunuh bosan, saya melakukan kerja-kerja kordinasi untuk persiapan Review RAN P3AKS, tapi akhirnya terhenti dan merasa mual-mual ketika taxi yang aku tumpangi mulai memasuki area Bandungan yang jalannya berliku dan naik turun. Mengapa saya pingin muntah? Ternyata aku salah pakai kacamata. Jadi dari keluar Bandara tadi, saya pakai kacamata hitam. Padahal untuk keperluan kerja di atas mobil dan kondisi moving...kaca mata minus atau plus sangat membantu menjaga stabilitas. By the way, saya memakai kacamata plus 1,5 dan kata dokter tidak bisa disembuhkan. Jadi dengan alat bantu kacamata plus ini, saya bisa kerja selama apapun di atas mobil. Yo wis...balik ke Nyadran.
Aku menghentikan langkah ketika kulihat sejumlah perempuan muda berpakaian adat, kebaya putih dan kain batik, melempar senyum dan melampaikan tangannya ke arahku, memberikan isyarat agar aku mendekat ke arahnya. "wah...riski anak sholeh".. kupikir. Pleg...akhirnya aku duduk di tengah mereka. Baru ngeh ternyata posisi tempat aku duduk adalah bisa dibilang sentral acara. Aku duduk pas berhadapan dengan rombongan dari perwakilan pemerintah. Ada Kadis Pariwisata dan Kebudayaan, perwakilan DPRD, perwakilan Puskesmas, dan tentu saja jajaran pemerintah Kecamatan, Desa dan Dusun. Maka jangan heran kalau acara seperti ini, kalian bakalan dengerin banyak sekali sambutan karena memang itu tradisi meng-orang kan setiap pihak. Rupanya memang aku mau sambutan, karena bagian dari acara. Kok aku gak nyadar ya ....ha ha ha.
Saya agak kaget, ketika namaku sebagai perwakilan AMAN Indonesia, diminta sambutan juga. sempat panik karena terus terang saja, saya gak bisa bahasa jawa yang halus. Juga, gak terlalu pede bicara di depan kerumunan dimana saya tidak mengerti apakah mereka akan paham dengan bahasa yang saya pakai. Tapi jadi senyum sendiri, karena setelah acara bubar, beberapa orang memberikan apreasiasi dengan sambutan saya. "makasih ibu, tadi pidatonya bagus, cocok dengan visi kami,'. Harusnya saya gak perlu kaget, karena acara Nyadran ini menjadi bagian dari rangkaian program Nyadran Perdamaian 2020, yang digagas oleh AMAN Indonesia bersama dengan Buddazine tentu bersinergi dengan agenda masyarakat di dua dusun ini.
Mendengarkan dengan seksama sambutan satu ke sambutan lainnya, dengan menggunakan bahasa jawa halus, dan konten tiap sambutan yang begitu yakin bahwa kerukunan adalah pondasi dari NKRI, membuat aku menangis di dalam hati. Kemarin aku masih merasakan riuh media sosial tentang pro dan kotra wacana lock down karena mitigasi penyebaran virus Covid 19. Bahkan sejumlah orang dengan sengaja menyebarkan pandangan-pandangan yang mengacaukan nalar manusia berusaha mempengaruhi publik untuk tidak patuh kepada keputusan pemerintah. Heboh di media sosial yang paling miris adalah pada masa Pilpres dan Pilkada Jakarta, dimana isu identitas politik dijadikan alat mencapai kemengangan. Hampir bisa dipastikan sampai sekarang pendukung 01 dan 02 belum pulih betul relasi mereka. Nah....pagi itu berada di tengah masa yang begitu banyak (mungkinkah sampai 1000), dengan balutan pakaian sederhana, wajah-wajah santun, dan attitude (prilaku) menghormati satu dengan yang lain. Ini tercermin jelas pada saat sambutan, saya melihat orang fokus mendengarkan, sesekali berbisik tapi kemudian kembali menyimak subtansi dari sambutan. Padahal acaranya di luar ruangan dan matahari pagipun udah bergeser ke tengah, saat MC memanggil satu per satu untuk sambutan.
Akhirnya tiba juga nama saya disebut. Ruby Kholifah, Sekjend AMAN. Saya lupa gimana si MC mempersilahkan saya, tapi tata cara MC yang begitu halus, membuat aku terkesan. Meskipun aku tidak punya niat buat ambil waktu banyak, tapi ternyata membeberkan empat poin penting mengapa tradisi nyadran perlu dilestarikan oleh generasi muda, maka aku bukan saja menjadi penyambut perempuan satu-satunya, tetapi juga kayanya yang memaparkan konten paling banyak. Ah...kalau itu memang gawan bayi (bawaan bayi).
Empat hal yang saya sampaikan dalam pidato pendek bahasa Indonesia (udah minta ijin sama para sesepuh) adalah; pertama, tradisi nyadran memperkuat spiritulitas koneksi dengan para leluhur yang sudah meninggal mendahului kita. Keyakinan warga dusun tentang pentingnya menjaga hubungan dengan para leluhur akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. "Orang sini takut kalau dikatakan tidak hormat leluhur", begitu saya dengar salah seorang peserta nyadran berbisik ke saya. Tapi logikanya adalah kalau mereka begitu menghargai orang yang sudah meninggal, tentu harusnya bisa menghargai orang yang masih hidup. leluhur adalah orang-orang tua mereka, maka dalam logika kita,mereka juga pasti mempratekkan budaya hormat pada yang tua.
Kedua, nyadaran memperkuat kerukunan dan persaudaraan, tidak diragukan lagi. Dusun Krecek ini mayoritas Buddhis, dan Dusun Gletuk mayoritas muslim, tapi mereka ada juga pemeluk agama lain. Baik pemeluk agama Buddha, Islam, Kristen maupun agama lokal, semua mempraktekkan tradisi nyadran. Jika semua agama masih memandang nyadran sebagai perekat persaudaraan dan kerukunan di desa tersebut, tentu saja kita bisa mengukur bahwa mereka penganut agama yang terbuka. Justru kalau ada penolakan trandisi nyadran, kita perlu waspada bahwa kemungkinan besar penetrasi fundamentalisme dan radikalisme beragama ada.
Ketiga, nyadran memperkuat pondasi NKRI. Karena di hampir semua sambutan ini disebut, tentu penting aku memberikan penekanan apa hubungannya antara nyadran dan NKRI. Negara Indonesia lahir karena kesepakatan dari para pendiri bangsa yang mereka berasal dari budaya dan agama yang berbeda. Mengapa para founding fathers kita menolak konsep negara Islam? Salah satunya adalah karena realitas keragaman Indonesia tidak bisa hanya diwakili oleh salah satu agama saja. Nah, menjaga keberagaman itu salah satunya adalah melestarikan ritual nyadran yang memang asli Indonesia. Mungkin saja di suku lain ada tradisi menghormati leluhur dengan nama yang berbeda.
Keempat, nyadran mendekatkan kita dengan alam. Esensi relasi manusia itu ada tiga yaitu relasi dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, dan dengan alam. Acara bersih-bersih makam selain memang bagian dari respek leluhur, juga secara alam kita bisa lihat pemakanan jadi bersih dan menyenangkan untuk dikunjungi. Karena ritual nyadran itu membawa banyak orang, tentu disiplin tidak membuat sampah sembarangan sangat penting. Maka, aku melihat sendiri setiap orang membersihkan tempatnya sendiri, lalu merapikan semua piring-piring dan makanan yang masih tersisa untuk dibawah pulang. Panitia menghimbau untuk tidak menggunakan plastik atau bahan-bahan disposal yang begitu mudah dibuang. Kecuali daun pisang sebagai alas makanan, semua makanan ditaruh di atas piring yang sudah disiapkan di rumah. Makanya mengapa tenong yang dipakai membawa makanan itu besar, karena karena berisi piring-piring bersama kue, makanan dan minuman.
Keragaman dalam Nyadran
Selain orang-orang yang mengikuti nyadran beragama agama, suku, gender, dan aliran politiknya, makanan dan kue-kue yang dibawa warga juga beragam. Semuanya khas dibuat sendiri oleh tangan-tangan trampil perempuan. Apakah ada bapak-bapak ikutan menyiapkan hidangan? Saya rasa ada, karena di konteks budaya disini laki-laki cukup nyaman di area dapur yang biasanya dalam tradisi suku tertentu adalah teritori perempuan. Saat aku numpang pipis di salah satu rumah penduduk di dekat pemakanan, justru tuan rumah menerima aku saat di dapur. Kulihat ada bapak yang sudah sepuh, dan dua orang perempuan sepuh ramah mempersilahkan aku menggunakan toilet mereka.
Setelah saya mengakhiri sambutan mewakili lembaga penyelenggara acara, maka MC mempersilahkan semua peserta untuk beristriahat menikmati kue-kue dan minum teh manis. Serentak....para bapak dan ibu membuka tenong masing-masing yang dibawah dari rumah. Asal kalian tahu saja bahwa semua makanan yang dibawah di acara nyadran adalah swadaya setiap rumah. Pemerintah dan organisasi yang membantu nyadran, memberikan dukunga pada penyiapan tempat dan segala peralatannya. Jangan ditanya berapa mereka mengeluarkan uang untuk menyiapkan makanan. Karena menurut mereka, uang tidak sebanding dengan segala bentuk immaterial berupa kebahagiaan yang mereka nikmati.
Piring berisi kue-kue tradisional dikeluarkan dari tenong pertama. Isinya jajanan khas sengkolon (kalau di google sebutnya sengkulun), yaitu kue jadul khas kampung ini yang keluar hanya pada saat nyadran katanya. Kue ini terbuat dari ketan putih, parutan kelapa, gula. Bagian atasnya berwarna merah atau hijau biasanya, dan kalau dimakan sedikit molor krena terbuat dari ketan. Enak, tapi aku gak bisa makan banyak karena masalah kolesterol he he he. Ada juga jenang atau bubur merah putih dan dodol yang juga khas Jawa Tengah. Jajanan lain yang juga ada adalah goreng sukun, tahu isi, keringan seperti peyek, rengginang, dan lain-lain. Termasuk juga dikombinasi dengan buah-buahan seperti pisang, jeruk, anggur dan lain-lain.
Berselang sekitar 20 menit orang menikmati kue-kue, baru kemudian tenong kedua dibuka. Tenong kedua isinya penuh dengan makanan, lauk dan sayuran. Segera setelah kue-kue ditarik mundur dan masuk tenong pertama, maka piring-piring berisi ayam ingkung, sambel goreng tempe atau krecek, tumis sayur, semur daging, mie goreng, dan yang khas adalah Nasi seperti tumpeng dengan bentuk piramida disebut Bucu, ditaruh di tengah-tengah, menandakan makan siang segera di mulai. Saking banyaknya makanan, aku sendiri lebih memilih ingkung ayam kampung, sambel goreng tempe favoritku, sayur, dan sedikit semur daging.
Kutebarkan pandanganku ke sebelah kira, menu beda-beda, tetapi keberadaan ayam ingkung sepertinya sangat khas di setiap tenong ada. Ayam ingkung adalah ayam kampung yang dimasak utuh, dibumbu opor. Secara filosofi ayam ingkung dalam budaya Jawa sangat penting. Ayam adalah lambang dari rasa syukur dan kenikmatan yang didapat di dunia karena kuasa Tuhan. Hanya ayam yang baik dan lezat saja yang menjadi persembahan, itulah mengapa ayam ingkung disajikan dalam bentuk utuh dan ditata dengan indah. Benar saja, saya tidak menemukan ayam ingkung yang kecil. Rata-rata ukuran ayam ingkung cukup besar. Ini karena di setiap tenong, diharapkan bisa memberi makan sekitar 5-6 orang.
Tidak ada batasan waktu untuk makan siang ini, karena inilah proses terakhir dari nyadran itu sendiri. Tetapi biasanya warga berdiri setelah doa dibacakan oleh sesepuh salah satu agama. Kali ini yang menutup doa adalah perwakilan dari Buddist, karena pada saat pembukaan tadi ada pembacaan tahlil yang sangat khas jawa (akses dan proses) untuk membuka acara sebelum sederet sambutan-sambutan. Bagi kelompok Wahabi, bukan saja ini bid'ah tapi juga dianggap tidak islami, karena logat yang dipakai Jawa bukan Arab. Bagi saya inilah Islam Nusantara. Khas Indonesia, dimana elemen Islam dan Budaya begitu kental membalut perayaan pesta leluhur.
Nah.. dalam tradisi jawa biasanya para tamu undangan dari perwakilan pemerintah yang pamit duluan, kemudian diikuti oleh orang-orang. Aku termasuk tamu yang pamit duluan, karena udah gak tahan pingin buat air. Padahal masih pingin banget berbincang dengan penduduk setempat.
Aku tadi melihat, panitia nyadran memberikan tas kresek putih kepada warga, itu fungsinya bukan untuk take away makanan atau kue-kue, tapi tempat sandal. Karena di acara kerumunan begitu, ada baiknya setiap individu bertanggungjawab kepada sandal atau sepatu masing-masing. Sepatu santai dan tidak berhak tinggi disarankan, untuk kenyamanan, krena area pemakanan jalannya tidak rata dan kalau abis hujan maka sering becek. Dalam hal ini, aku salah konstum, pakai sepatu berhak dan itu tidak nyaman. Alasannya lupa.
Perempuan dalam Nyadran, pentingkah?
Perempuan memainkan peran penting dalam nyadran, sama pentingnya dengan laki-laki. Sayangnya ketika di acara ritual di publik, pesta rakyat nyadran ini banyak didominasi oleh laki-laki. Menurut penutusan Maskur, kordinator AMAN Indonesia yang ada di Jawa Tengah dan Yogya, dulunya sebelum AMAN melakukan intervensi pentingnya keterwakilan perempuan dalam budaya nyadran, perempuan Dusun Gletuk dan Krecek sangat enggan mengikuti acara ritual nyadran. Mereka bilang 'kan kami sudah menyiapkan makanan sejak semalem, jadi buat apa lagi kami harus mengikuti ritualnya. Kami sebaiknya di rumah saja istirahat", begitu pengakuan warga perempuan.
Disinilah letak pentingnya sebuah intervensi dilakukan oleh lembaga seperti AMAN Indonesia, agar perempuan juga memiliki pengetahuan bahwa partisipasi dirinya dalam segala bentuk forum sangat strategis untuk perubahan yang lebih baik. Pada saat upacara nyadran dilakukan pada tanggal 13 Maret lalu, memang tidak ada satupun nara sumber yang diundang untuk memberikan materi, tetapi di setiap sambutan yang disampaikan oleh para sesepuh dan perwakilan pemerintah begitu kaya subtansi pentingnya menjaga kerukunan, toleransi dan perdamaian. Warga Dusun Krecek dan Gletuk wajiblah berbangga diri karena tradisi nyadran masih lestari dan dihidupi oleh semua warga. Tradisi ini masih ada karena para sesepuh kampung dan generasi muda di sana meyakini bahwa menjaga kerukunan dan kebersamaan, adalah pondasi hidup damai. Nyadran adalah mekanisme ampuh untuk merawat karakter damai masyarakat. Perempuan harus menjadi bagian penting dalam merawat perdamaian.
Tepatnya 13 bulan lalu, AMAN Indonesia memutuskan untuk membuka Sekolah Perempuan Perdamaian (biasanya kami cukup menyebut SP), adalah media inkubator kepemimpinan perempuan dimana perempuan akan ditempa untuk memiliki jati diri yang kuat sebagai perempuan Indonesia yang percaya diri dan mandiri dalam mengambil sikap. SP juga membekali para pesertanya dengan perspektif gender dan perdamaian, serta skill resolusi konflik sederhana yang bisa dijadikan bekal di masyarakat untuk menyelesaikan ketegangan dan konflik. Dengan pendekatan transformasi konflik, AMAN Indonesia meyakini bahwa mengubah para ibu menjadi sosok pemimpin handal, akan mempengaruhi dinamika di rumah tangga dan komunitas, disinilah perubahan ke arah yang lebih baik akan dimulai.
Kehadirian AMAN Indonesia di dusun Gletuk dan Krecek, selain ingin memperkuat partisipasi perempuan, juga ingin menjadikan dua dusun ini sebagai laboratorium toleransi krena kedua dusun ini melestarikan tradisi leluhur merawat kerukunan. Jadi, mereka rukun ini udah sejak lama. Sebelum kami hadir. Tetapi, hal baru yang kami perkenalkan dalam tradisi nyadran versi 2020 adalah keterlibatan perempuan di panggung publik, dimana para ibu merasa nyaman menjadi bagian dari ritual nyadran itu sendiri. Elemen baru lain yang juga diterima dengan senang hati oleh penduduk kedua kampung adalah program live in, yaitu program tinggal bersama dengan keluarga di Dusun Krecek, untuk belajar resep jitu membangun kerukunan. Yang bagian ini akan saya ceritakan pada bagian lain.
SP Catur Manunggal dan SP Gletuk akhirnya didirikan sebagai tempat belajar dan upaya mendorong partisipasi perempuan lebih menguat. Pada kelas reguler inilah, analisis gender diberikan untuk memberikan kacamata baru kepada para perempuan lintas iman yang tergabung ke dalam SP, untuk membongkar relasi kuasa dalam peran gender di kampungnya. Pembagian kerja yang umum berlaku di kampung, misalnya perempuan memasak, dan laki-laki membawa makanan pada ritual nyadran, berpotensi besar pada penghambatan akses informasi bagi perempuan. Meskipun tidak ada keputusan yang diambil di dalam ritual nyadran, tetapi mendengarkan konten sambutan-sambutan perwakilan pemerintah dan juga panitia dari luar kampung, seperti AMAN Indonesia, jelas menambah informasi dan referensi baru, serta meluaskan horison berpikir perempuan.
Kami senang ide menghadirkan perempuan dalam tradisi nyadran disambut baik oleh para sesepuh kedua dusun. Ini karena memang dari dulu, tidak ada aturan melarang perempuan menjadi bagian dari ritual. Sama dengan tidak ada larangan perempuan berziarah di kubur. Jadi, ketika usulan muncul dari kelompok perempuan, maka dengan serta merata langsung diterima. Walhasil, pada saat perayaan Nyadran 2020, banyak perempuan hadir dengan balutan pakaian adat dan pakaian sehari-hari dan dengan hikmad mengikuti seluruh proses.
Selain nyadran, ada tradisi Jumat Bersih di Dusun Krecek dimana perempuan yang mengorganisir dan menjadi pelaku utama menggerakkan warga. Dusun Krecek dengan mayoritas pengikut Buddha, cenderung lebih terbuka dalam hal perubahan. Bukan berarti desa tetangga lebih tertutup karena mereka mayoritas muslim. Karena belum ditemukan alasan mendasar mengapa dusun Gletuk lebih lambat merespon partisipasi perempuan dibandingk Dusun Krecek. Tetapi, pada kenyataanya ada tafsir agama tertentu yang kadang dipakai oleh sejumlah orang untuk menghalangi partisipasi perempuan lebih luas. Jadi, bisa saja agama apapun.
Apakah partisipasi perempuan dalam ritual nyadran bakalan akan membuka ruang-ruang partisipasi yang lainnya? Saya yakin betul iya. Ini masalah komunikasi saja. Dengan bekal toleransi yang sudah mengakar dalam tradisi masyarakat dudun Krecek dan Gletuk, maka ini merupakan pondasi berpikir terbuka, sehingga gagasan penguatan partisipasi perempuan seharusnya bisa mudah diterima. Alasan utamanya adalah karena pondasi berpikir terbukanya udah ada. Yang lain adalah fakta bahwa perempuan aktif terlibat dalam upaya kemakmuran kampung. Setelah diselidiki, tidak ada alasan fundamental yang menghalangi perempuan partisipasi, hanya faktor teknis turun temurun saja yang membuat perempuan melakukan peran-peran di dalam rumah.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menjawab pertanyaan apakah penting perempuan hadir dalam tradisi nyadran. Saya jawab penting. Pertama, tradisi berterima kasih kepada leluhur berlaku buat semua warga, tanpa kecuali. Maka partisipasi perempuan bisa meluas tidak hanya dalam rangka menyiapkan sesajen saja. Justru, penting dalam proses menyiapkan sesajen berupa makanan dan kue-kue, baiknya disiapkan oleh seluruh anggota keluarga, sehingga tidak menjadi beban dari perempuan.
Kedua, kehadiran perempuan akan semakin meneguhkan kepada leluhur bahwa tradisi nyadran akan dijaga dan dilestarikan oleh banyak pihak, termasuk perempuan. Perempuan penjaga tradisi yang handal lintas generasi. Ketiga, Perempuan memiliki hard dan soft power. Hard Power Perempuan sebagai ibu akan mampu mentransfer pengetahuan ini kepada anak dan memiliki "daya paksa" kepada anak agar bisa hormat kepada trandisi. Soft power perempuan sebagai makhluk komunal akan menggerakkan semua perempuan dengan alasan yang masuk akal untuk berpartisipasi dalam tradisi leluhur. Karena perempuan penjaga tradisi, maka perempuan sangat efektif memainkan peran-peran penjaga perdamaian. Mekanisme perdamaian seperti nyadran, wajib dilestarikan, bersama perempuan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar