Pelibatan masyarakat sipil dalam penanganan ekstremisme kekerasan semakin meaningful. Artinya semakin sering masyarakat sipil dilibatkan dalam forum-forum membahas tentang PCVE. Meskipun hampir banyak forum masih menggunakan pendekatan konsultatif, artinya pihak pemerintah mengundang masyarakat sipil untuk mendapatkan perspektif yang berbeda, mendengarkan update baik informasi terkini maupun intervensi yang sudah dilakukan oleh masyarakat sipil. Apakah semua hasil konsultasi dipakai sebagai landasan menentukan keputusan? Satu-satunya media untuk memantau hasil konsultasi dengan masyarakat sipil adalah dokumen hasil meeting ataupun laporan yang dipublikasikan oleh pemerintah.
Saat ini tidak ada satu pihakpun yang menyangkal pentingnya pelibatan masyarakat sipil dalam pencegahan ekstrimisme. Di hampir semua dokumen penting yang menjadi rujukan pemerintah maupun masyarakat sipil, terasa ketinggalan jaman kalau tidak mencantumkan pentingnya peran masyarakat sipil, organisasi perempuan dan anak muda. Lantas, apakah dalam kenyataan keterlibatan masyarakat sipil sudah maksimal?
Artikel pendek ini bertujuan untuk membahas model keterlibatan masyarakat dalam forum regional dalam mekanisme pengambilan keputusan terkait dengan isu CT dan PCVE. Berbasis pada pengalaman penulis sebagai aktifis yang terlibat dalam forum-forum regional, artikel pendek ini ditulis untuk menawarkan bentuk ideal dari CSO Forum yang bisa diproyeksikan sebagai mekanisme formal keterlibatan CSO dalam forum SRM.
Tentang SRM
Ada beberapa mekanisme regional yang selama ini begitu intensif membahas perkembangan radikalisme dan terorisme, baik dalam pendekatan Counter Terorisme (CT) dan PCVE. Di tingkat global, ada Global Counter Terorism Forum (GCTF) yaitu forum internasional yang diikuti oleh 29 negara dan Uni Eropa, dengan misi mengurangi kerentanan pada masyarakat dari terorisme, melalui pencegahan, pengurangan dan pengurangan aksi-aksi teror. Indonesia dan Australia menginisiasi Sub Regional Meeting (SRM), sebuah forum sembilan negara yang membahas situasi terkini radikalisme dan terorisme di negara-negara seperti Indonesia, Australia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, Thailand, Myanmar dan New Zeland. Sementara di ASEAN, belum ada disepakati mekanisme pelibatan CSO di dalam pelaksanaan ASEAN Plan of Action to Prevent and Counter the Rise of Radicalization and Violent Extremism (PCRRVE).
Sub Regional Meeting (SRM) on Counter Terrorism adalah forum antar pemerintah yang digagas untuk membicarakan persoalan-persoalan terorisme di kawasan Asia dan Pasific. SRM didirikan untuk menjawab kegelisahan pemerintah Indonesia dan Australia, bersama dengan 6 negara lainnya, yang melihat persoalan keamanan kawasan yang semakin mengkhawatirkan, apalagi setelah kelompok extremis mulai membangun home ground di wilayah-wilayah tertentu, khususnya wilayah yang masih rentan karena pengalaman konflik bersenjata sebelumnya. Sebut saja Marawi-Filipina dan Poso-Indonesia, dua wilayah yang diduga mewadai mobilitas teroris antara negara, karena secara geogratif berdekatan.
Seperti banyak forum komunikasi yang diciptakan oleh pemerintah, SRM didesain menjadi forum bersama untuk mendengarkan pengalaman negara-negara di sub regional dalam melakukan penanganan terhadap radikalisme dan terorisme, sekaligus forum untuk mencari solusi-solusi alternatif atas tantangan yang dihadapi oleh masing-masing negara. Meskipun tidak melahirkan keputusan yang mengikat, SRM telah berhasil menimbulkan kesadaran bersama perlunya kerjasama antar negara dalam menyelesaikan persoalan terorisme lintas batas, berbagi informasi data untuk tujuan mencegah perpindahan teroris dari satu negara ke negara lain.
Saat ini tidak ada satu pihakpun yang menyangkal pentingnya pelibatan masyarakat sipil dalam pencegahan ekstrimisme. Di hampir semua dokumen penting yang menjadi rujukan pemerintah maupun masyarakat sipil, terasa ketinggalan jaman kalau tidak mencantumkan pentingnya peran masyarakat sipil, organisasi perempuan dan anak muda. Lantas, apakah dalam kenyataan keterlibatan masyarakat sipil sudah maksimal?
Artikel pendek ini bertujuan untuk membahas model keterlibatan masyarakat dalam forum regional dalam mekanisme pengambilan keputusan terkait dengan isu CT dan PCVE. Berbasis pada pengalaman penulis sebagai aktifis yang terlibat dalam forum-forum regional, artikel pendek ini ditulis untuk menawarkan bentuk ideal dari CSO Forum yang bisa diproyeksikan sebagai mekanisme formal keterlibatan CSO dalam forum SRM.
Tentang SRM
Ada beberapa mekanisme regional yang selama ini begitu intensif membahas perkembangan radikalisme dan terorisme, baik dalam pendekatan Counter Terorisme (CT) dan PCVE. Di tingkat global, ada Global Counter Terorism Forum (GCTF) yaitu forum internasional yang diikuti oleh 29 negara dan Uni Eropa, dengan misi mengurangi kerentanan pada masyarakat dari terorisme, melalui pencegahan, pengurangan dan pengurangan aksi-aksi teror. Indonesia dan Australia menginisiasi Sub Regional Meeting (SRM), sebuah forum sembilan negara yang membahas situasi terkini radikalisme dan terorisme di negara-negara seperti Indonesia, Australia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, Thailand, Myanmar dan New Zeland. Sementara di ASEAN, belum ada disepakati mekanisme pelibatan CSO di dalam pelaksanaan ASEAN Plan of Action to Prevent and Counter the Rise of Radicalization and Violent Extremism (PCRRVE).
Sub Regional Meeting (SRM) on Counter Terrorism adalah forum antar pemerintah yang digagas untuk membicarakan persoalan-persoalan terorisme di kawasan Asia dan Pasific. SRM didirikan untuk menjawab kegelisahan pemerintah Indonesia dan Australia, bersama dengan 6 negara lainnya, yang melihat persoalan keamanan kawasan yang semakin mengkhawatirkan, apalagi setelah kelompok extremis mulai membangun home ground di wilayah-wilayah tertentu, khususnya wilayah yang masih rentan karena pengalaman konflik bersenjata sebelumnya. Sebut saja Marawi-Filipina dan Poso-Indonesia, dua wilayah yang diduga mewadai mobilitas teroris antara negara, karena secara geogratif berdekatan.
Seperti banyak forum komunikasi yang diciptakan oleh pemerintah, SRM didesain menjadi forum bersama untuk mendengarkan pengalaman negara-negara di sub regional dalam melakukan penanganan terhadap radikalisme dan terorisme, sekaligus forum untuk mencari solusi-solusi alternatif atas tantangan yang dihadapi oleh masing-masing negara. Meskipun tidak melahirkan keputusan yang mengikat, SRM telah berhasil menimbulkan kesadaran bersama perlunya kerjasama antar negara dalam menyelesaikan persoalan terorisme lintas batas, berbagi informasi data untuk tujuan mencegah perpindahan teroris dari satu negara ke negara lain.
Pertemuan pertama SRM dilakukan di Menado, pada tanggal 27-29 July 2017 membahas tentang pentingnya kerjasama lintas negara dalam melakukan respon terhadap terorisme dan Foreign Terrorist fighters (FTF). Dihadiri oleh enam negara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Selandia Baru. Hasil pertemuan ini berupa joint statement yang mencakup diantaranya salah: peningkatan kerjasama dengan masyarakat madani, penguatan peran perempuan, pentingnya pendidikan, pembangunan ekonomi, pengelolaan penjara atau lapas, peningkatan program deradikalisasi, penyusunan narasi untuk menanggulangi propaganda dari kelompok atau pelaku terorisme, sebagai upaya penanggulangan akar permasalahan dan bahaya radikalisme yang mengarah kepada ektremisme dan terorisme.
Jika dilihat dari karakter forum yang berorientasi pada perspektif keamanan, joint statement pada SRM pertama ini cukup mengejutkan dimana kebutuhan kerjasama dengan masyarakat madani (re: sipil), termasuk menyebut secara eksplisit kelompok perempuan dan anak muda, bisa diterima sebagai komitmen bersama. Meskipun kabarnya agenda pelibatan masyarakat sipil adalah dorongan kuat dari delegasi Indonesia, tetapi dengan diterimanya agenda ini oleh delegasi dari negara-negara yang memiliki track record buruk terhadap keterlibatan masyarakat sipil dalam kerja-kerja PCVE, sebuah capaian yang tidak kecil.
Tampaknya niat melibatkan masyarakat sipil dalam kerja-kerja pemerintah bukan isapan jempol semata. Bahkan, sepertinya Indonesia dan Australia memikirkan mekanisme keterlibatan dimulai dari level SRM sendiri. CSO forum kemudian ditawarkan sebagai mekanisme penjaringan pengalaman dan pemikiran masyarakat sipil terhadap isu-isu yang menjadi perbincangan di SRM ke dua yang dilaksanakan pada tanggal 6 Agustus 2018 di Lombok. CSO Forumnya sendiri dilaksanakan pada 5 Agustus 2018, satu hari sebelum forum resmi SRM, sehingga rekomendasi dari CSO sudah mulai dibahas pada pertemuan persiapan.
Meskipun sempat tertunda karena gempa mengguncang Lombok pada tanggal 5 Agustus 2018 sore hari, pertemuan Sub Regional Meeting kedua, akhirnya bisa terselenggara di Jakarta pada tanggal 6 November 2018, dihadiri oleh 9 negara anggotanya. Pada pertemuan kedua inilah, statement perwakilan masyarakat sipil dibacakan oleh perwakilan masyarakat sipil (AMAN Indonesia dan CSAVE) di depan delegasi SRM. Hasilnya cukup menggembirakan, bukan saja pengakuan adanya CSO Forum tetapi juga dua subtansi penting dalam rekomendasi CSO Forum tentang partnership dan capacity building juga dipilih sebagai prioritas. Berikut kutipannya:
5. Ministers valued the presentation by representatives on behalf of the Countering Violent Extremism (CVE) Civil Society Organisation (CSO) event which took place on 5 August 2018 and was formally opened by the Hon. Peter Dutton MP and His Excellency General (Ret) Wiranto. Ministers noted the importance of inclusive and cross-sectoral partnerships to develop and deliver effective CVE-based policies and programs. Ministers acknowledged the important role of CSOs in partnering with governments to prevent radicalisation and violent extremism. Ministers recognised that women, youth and families play a critical role in preventing violent extremism in the region.
Tentang CSO Forum
CSO Forum dari Sub Regional Meeting merupakan gagasan yang cerdas yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia dan Australia untuk membuka saluran komunikasi pemerintah dengan masyarakat sipil. Sebagai komitmen menjalankan "the whole society approach", dimana pemain utama penanganan terhadap radikalisme dan terorisme bukanlah hanya pemerintah, tapi peran masyarakat sipil dipandang sangat penting. Ini juga sebagai wujud nyata dari join statement SRM pertama dimana kebutuhan melibatkan masyarakat sipil sendiri tidak bisa dielakkan.
Tanpa menunggu harus memiliki penjelasan yang panjang tentang CSO Forum itu sendiri, penunjukkan AMAN Indonesia sebagai partner SRM untuk menyelenggarakan CSO Forum pertama, dilakukan secara taktis saja. Namun penulis menduga penunjukan ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, pengalaman dan reputasi AMAN Indonesia sebagai lembaga jaringan yang bekerja untuk pembangunan perdamaian memiliki kaki-kaki di tingkat grassroot, pengelolah jaringan CSO dan terlibat aktif dalam kerja-kerja PCVE di Indonesia dan global. Kedua, sebagai organisasi yang memiliki basis jaringan di Asia, keberadaan AMAN Indonesia sebagai penyelenggara dianggap akan memudahkan untuk melakukan mobilisasi jaringan masyarakat sipil di tingkat Asia. Ketiga, AMAN Indonesia memiliki pengalaman menjadi bagian dari drafting committee dan fasilitator pelaksanaan PrePres No. 18 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Pokja yang berisi pemerintah dan CSO bersama-sama melakukan implementasi. Dan yang terakhir, panitia penyelenggara SRM kedua memiliki kebutuhan cepat untuk mempersiapkan CSO Forum karena ketersediaan waktu yang tidak banyak.
Dengan waktu yang hanya kurang dari satu bulan, CSO Forum diselenggarakan di Lombok pada tanggal 5 Augustus 2018 dihadiri oleh perwakilan masyarakat sipil dari negara-negara seperti Australia, Indonesia, Malaysia, Myanmar, New Zealand, the Philippines, Singapore, and Thailand. Tema yang diangkat saat itu adalah "Strengthening Partnerships for Countering Radicalism and Preventing Violent Extremism". Penulis menduga bahwa tema ini disepakati juga karena ada hubungannya dengan joint-statement SRM pertama, sehingga pihak SRM ingin mendapatkan masukan lebih komprehensif dari perspektif masyarakat sipil terkait dengan partnership yang ideal dalam upaya CT maupun PCVE dalam pendekatan keamanan.
Meskipun difokuskan dalam menggali gagasan partnership secara partisipatoris, CSO Forum juga menyoroti isu- isu penting dalam dua diskusi plenary yang diisi oleh nara sumber dari negara-negara sub regional. Dua plenary yang diangkat adalah yaitu "The shifting roles of women and families in extremist networks" dan "Civil society responses to Deradicalization, Rehabilitation and Reintegration", termasuk didalamnya menyoroti daerah konflik yang ditunggangi oleh ekstrimisme. Pembahasan tentang pentingnya melihat dinamika peran perempuan dan keluarga dalam jaringan kelompok ekstrimis ini sebagai respon kasus Bom Surabaya yang terjadi pada bulan Mei 2018 dimana tiga keluarga terlibat dalam aksi teror tersebut.
Framework yang diberikan oleh keynote speakers Prof. Dr. Ruhaini Zuhayatin, dengan mengambil metafor "from backyard to dining room" sebagai gambaran pergeseran trend terorisme di Indonesia, memberikan baseline yang kuat bagaiamana CSO Forum harus mendorongkan kembali pentingnya semua pihak memberikan perhatian pada semakin tingginya keterlibatan perempuan dan keluarga dalam aksi-aksi teror. Termasuk paparan Brigjen. Pol. Ir. Hamli, M.E., Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang juga memaparkan pentingnya membaca terorisme dengan kacamata yang lebih dinamis dengan tidak memandang sepele keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi teror.
Setelah berdiskusi secara kelompok, sepuluh rekomendasi disepakati oleh peserta CSO Forum diantaranya adalah :
Status CSO Forum
CSO Forum belum sepenuhnya menjadi mekanisme baku dari Sub Regional Meeting (SRM). Saat itu terlalu dini membincang tentang status CSO Forum, karena semua pihak hanya terfokus pada subtansi dari keterlibatan masyarakat sipil dalam forum antar menteri di SRM. Namun juga tidak bisa dikatakan bahwa CSO Forum sebagai gagasan yang abal-abal. Ini terbukti pada pelaksanaan CSO Forum yang pertama di Lombok beberapa indikator menunjukkan justru gagasan CSO Forum dianggap sebagai "baby project" dari SRM untuk kemudian dikembangkan lebih jauh menjadi forum yang lebih memiliki daya tawar politik yang kuat dalam proses pengambilan kesepakatan di dalam SRM itu sendiri.
Pertama, hadirnya dua menteri utama yang mengampu SRM membuka CSO Forum di Lombok yaitu Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan dari Indonesia, Bapak HE Wiranto dan Menteri Dalam Negeri Australia, the Hon Peter Dutton, membuka CSO Forum sudah mengisyaratkan bahwa pemerintah memiliki keseriusan terhadap wujud partnership dengan CSO di tingkat Sub Regional. Tentu ini diharapkan bisa mendorong upaya partnership di tingkat
Kedua, hadirnya perwakilan dari peserta CSO Forum untuk membacakan statement yang dihasilkan dari forum satu hari di Lombok, pada saat pertemuan SRM ke dua di Jakarta pada tanggal 6 November 2018. Bahkan setelah Ruby Kholifah (AMAN Indonesia) dan Mira Kusumarini (CSAVE) membacakan statement, Menteri Dutton memberikan beberapa tanggapan yang membuat suasana sedikit cair karena ada dialog.
Ketiga, rekomendasi-rekomendasi dari CSO Forum diadopsi di dalam Joint-Statement SRM kedua yang terkait dengan partnership maupun peran penting perempuan dan anak muda dalam PVE. Bahkan dalam poin khusus menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya partnership dan capacity building CSO.
Keempat, dipakainya Logo SRM pada surat undangan, banner kegiatan, dan statement resmi CSO Forum mengindikasikan bahwa CSO Forum SRM entiti yang melekat seperti C20 melekat dalam penyelenggaraan G20 atau APF melekat penyelenggaraan ASEAN Summit.
Sayangnya, pengakuan terhadap statement masyarakat sipil dari CSO Forum tidak dibarengi dengan pengakuan secara eksplisit keberadaan CSO Forum. Ini terbukti bahwa SRM menggunakan narasi "the Countering Violent Extremism (CVE) Civil Society Organisation (CSO) event" dan bukan CSO Forum, meskipun di dalam Statement CSO Forum dan semua identitas dari event tersebut, menyebutkan secara eksplisit dengan narasi jelas CSO Forum. Berikut cuplikan dari paragraph ke 5 rekomendasi dari SRM:
5. Ministers valued the presentation by representatives on behalf of the Countering Violent Extremism (CVE) Civil Society Organisation (CSO) event which took place on 5 August 2018 and was formally opened by the Hon. Peter Dutton MP and His Excellency General (Ret) Wiranto. Ministers noted the importance of inclusive and cross-sectoral partnerships to develop and deliver effective CVE-based policies and programs. Ministers acknowledged the important role of CSOs in partnering with governments to prevent radicalisation and violent extremism. Ministers recognised that women, youth and families play a critical role in preventing violent extremism in the region.
Dengan demikian, masyarakat sipil masih memiliki pekerjaan rumah untuk mendorongkan agar CSO Forum bisa diterima sebagai mekanisme baku keterlibatan masyarakat sipil di Sub Regional Meeting. Mekanisme baku yang dimaksud disini adalah mekanisme secara resmi dari SRM, dimana keberadaan CSO Forum dan penyelenggaraannya menjadi tanggungjawab bersama baik penyelenggara SRM maupun masyarakat sipil. Secara detail tentang bagaimana tawaran CSO forum ke depan ada di bagian selanjutnya kedua tulisan ini.
Masa Depan CSO Forum SRM
Seperti yang penulis sampaikan pada bagian sebelumnya bahwa pemerintah SRM memiliki niat baik untuk membangun mekanisme keterlibatan masyarakat sipil dalam SRM. Setidaknya ini terlihat dari salah satu pengampu SRM, KemenkoPolhukam tertarik untuk melanjutkan perbincangan tentang keterlibatan masyarakat sipil yang lebih tersistematis dalam SRM. Polhukam menggandeng AMAN Indonesia sebagai partner untuk menyelenggarakan Konsultasi Publik Persipan CSO Forum SRM yang ketiga. Menurut informasi dari Polhukam, CSO Forum disepakati untuk diselenggarakan oleh masyarakat sipil dengan dukungan dari SRM.
Untuk memaksimalkan input dari Indonesia, KemenkoPolhukam bekerjasama dengan AMAN Indonesia menyelenggarakan persiapan CSO Forum yang kedua dengan mengundang perwakilan masyarakat sipil di Jakarta dan sekitarnya. Dihadiri oleh 87 perwakilan masyarakat sipil dari berbagai latar belakang pengalaman bekerja di PCVE, forum dibagi menjadi dua yaitu membahas isu-isu penting yang diharapkan bisa dibahas dalam SRM dan platform CSO forum.
Workshop sehari yang diberi nama "Preparatory Meeting of CSO Forum on SRM" ini dibuka oleh Asdep Forum satu hari ini dibuka oleh Asdep Kerjasama Asia Pasifik dan Afrika, Dr. Pribadi Sutiono, dan Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, menekankan pentingnya kordinasi di kalangan CSO sendiri sebelum memasuki forum regional. Hasilnya diharapkan bisa dipresentasikan pada penyelenggaraan CSO Forum yang diharapkan terjadi satu hari sebelum pertemuan SRM ketiga pada tahun 2020. Secara detail tentang Preparatory Meeting of CSO Forum on SRM bisa dibaca pada bagian kedua artikel ini.
Meskipun sampai saat ini belum ada pembicaraan tentang penyelenggaraan CSO Forum kedua, penulis ingin memberikan argumentasi tentang keuntungan-keuntungan yang dirasakan oleh pemerintah SRM maupun masyarakat sipil, apabila CSO Forum SRM dijadikan mekanisme resmi SRM. Berikut analisisnya:
Bagi masyarakat sipil, keberadaan CSO Forum memberikan sejumlah keuntungan diantaranya adalah:
Menyongsong SRM 2020
Sub Regional Meeting ke tiga akan diselenggarakan pada awal tahun 2020 dengan rencana topik yang mau diangkat adalah Foreign Terrorist Fighters (FTF). Meskipun tidak ada tanda-tanda apakah akan ada CSO Forum sehari sebelum rapat SRM digelar. Pihak Australia melalui AIPJ bekerjasama SEAN-CSO menggelar Strategic Dialogue pada tanggal 13 Desember 2019 di Bali. Workshop sehari ini mengambil topik khusus terkait dengan penanganan FTF, termasuk mencakup pembahasan rehabilitasi dan reintegrasi.
Apakah Forum Strategic Dialogue sama dengan CSO Forum SRM?
Pertama, kalau dianalisis secara tujuan, forum Strategic Dialogue diselenggarakan untuk update informasi, praktek terbaik, dan tantangan terkait dengan kebijakan dan program terkait dengan rehabilitasi dan reintegrasi FTF termasuk returni dan deportan.
Sementara CSO Forum Lombok fokus pada partnership pemerintah dan CSO, serta memberikan perhatian pada dinamita baru terorisme dimana perempuan dan anak menjadi modus terorisme selanjutnya. Juga dalam forum dibicarakan tentang peran tokoh agama dalam PVE.
Kedua, Keterwakilan peserta yang terlibat dalam Strategic Dialogue berasal dari Australia, New Zeland, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Sayangnya, peserta dari Thailand dan Malaysia meninggalkan forum sebelum dialog berakhir, sehingga forum didominasi oleh peserta dari Australia dan Indonsia sangat doniman. CSO Forum Lombok dihadiri perwakilan masyarakat sipil dari negara-negara seperti Australia, New Zeland, Singapore, Filipina, Indonesia, Myanmar, Malaysia, Thailand yang mengikuti forum mulai dari pembukaan sampai penutupan.
Ketiga, pembukaan forum dilakukan oleh perwakilan pemerintah selevel staf kementerian dari DFAT dan Kemenkopolhukam. Sementara pada CSO Forum Lombok, forum dibuka oleh dua Menteri yang mengampu SRM yaitu Menteri Dalam Negeri Australia dan Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Hasil dari CSO Forum dipresentasikan di Forum SRM yang dihadiri oleh perwakilan menteri dari negara-negara sub regional dan mendapatkan tanggapan serius.
Keempat, Statement atau rekomendasi dari Strategic Dialogue dirumuskan dalam diskusi kelompok dalam wake 30 menit saja, sehingga tidak memiliki kecukupan waktu membahas formulasi rekomendasi sampai final.
Pada CSO Forum Lombok, draft rekomendasi dibahas secara partisipatoris dengan semua peserta dan diadopsi secara aklamasi oleh semua peserta CSO Forum, sehingga memiliki ownership yang sangat tinggi dan genuinitas gagasan CSO Forum terjaga dengan baik.
Kelima, tidak ada logo SRM dalam surat undangan, banner maupun produk lainnya bersama dengan CSO Forum, yang membuat forum Strategic Dialogue terasa seperti forum konsultasi CSO biasa dibandingkan dengan forum CSO yang diniatkan sebagai mekanisme engagement SRM.
Dengan demikian agak sayang kalau Strategic Dialogue disamakan dengan CSO Forum. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan mendapatkan perspektif dari masyarakat sipil tetap tercapai meskipun dengan management forum kurang efektif, jika menggunakan standard regional.
Penyamaan forum Strategic Dialogue sebagai CSO Forum SRM, hanya akan secara sistematis downgrading kualitas dan legitimasi politik CSO Forum Lombok. Pada fase saat ini, seharusnya pemerintah Australia dan Indonesia memikirkan bagaimanan meningkatkan status CSO Forum menjadi menjadi mekanisme formal SRM, penulis sangat khawatir ada upaya penenggelaman gagasan CSO Forum yang sebenarnya dilahirkan oleh pemerintah host SRM sendiri.
Untuk mengembalikan genuinitas CSO Forum SRM, penting ada perbincangan tentang status CSO Forum dalam SRM dan peran yang lebih jelas yang akan dimainkan oleh CSO Forum, sehingga implementasi joint statement maupun statement dari CSO Forum, bisa dilaksanakan dengan partnership yang kuat antara pemerintah dan masyarakat sipil.
Penulis berharap pemerintah Australia dan Indonesia akan mendukung penyelenggaraan CSO Forum pada meeting SRM yang ketiga yang rencananya akan dilaksanakan pada bulan Februari atau Maret 2020. Penulis masih optimis pendekatan terhadap kedua kementerian bisa dilakukan untuk mendorongkan penyelenggaraan CSO Forum pada SRM ke tiga. Juga masyarakat sipil dari negara-negara sub regional bisa memberikan dukungan gagasan penyelenggaraan CSO Forum selanjutnya.
Jikapun terlalu mepet, maka ini sangat strategis jika proposal kebutuhan CSO forum bisa menjadi salah satu diskusi di dalam SRM dan mendapatkan endorsement dari berbagai negara. Sehingga pelaksanaan CSO Forum berikutnya, lebih bisa tertangani dengan maksimal dengan kapasitas kolektif CSO di Sub regional. Amin.
Tampaknya niat melibatkan masyarakat sipil dalam kerja-kerja pemerintah bukan isapan jempol semata. Bahkan, sepertinya Indonesia dan Australia memikirkan mekanisme keterlibatan dimulai dari level SRM sendiri. CSO forum kemudian ditawarkan sebagai mekanisme penjaringan pengalaman dan pemikiran masyarakat sipil terhadap isu-isu yang menjadi perbincangan di SRM ke dua yang dilaksanakan pada tanggal 6 Agustus 2018 di Lombok. CSO Forumnya sendiri dilaksanakan pada 5 Agustus 2018, satu hari sebelum forum resmi SRM, sehingga rekomendasi dari CSO sudah mulai dibahas pada pertemuan persiapan.
Meskipun sempat tertunda karena gempa mengguncang Lombok pada tanggal 5 Agustus 2018 sore hari, pertemuan Sub Regional Meeting kedua, akhirnya bisa terselenggara di Jakarta pada tanggal 6 November 2018, dihadiri oleh 9 negara anggotanya. Pada pertemuan kedua inilah, statement perwakilan masyarakat sipil dibacakan oleh perwakilan masyarakat sipil (AMAN Indonesia dan CSAVE) di depan delegasi SRM. Hasilnya cukup menggembirakan, bukan saja pengakuan adanya CSO Forum tetapi juga dua subtansi penting dalam rekomendasi CSO Forum tentang partnership dan capacity building juga dipilih sebagai prioritas. Berikut kutipannya:
5. Ministers valued the presentation by representatives on behalf of the Countering Violent Extremism (CVE) Civil Society Organisation (CSO) event which took place on 5 August 2018 and was formally opened by the Hon. Peter Dutton MP and His Excellency General (Ret) Wiranto. Ministers noted the importance of inclusive and cross-sectoral partnerships to develop and deliver effective CVE-based policies and programs. Ministers acknowledged the important role of CSOs in partnering with governments to prevent radicalisation and violent extremism. Ministers recognised that women, youth and families play a critical role in preventing violent extremism in the region.
- Ministers agreed to support strengthened partnerships between women-led and youthled CSOs in the region, and to workshops focused on advancing women’s and youth empowerment and inclusion in addressing violent extremism in the region.
- Ministers agreed to support the provision of technical assistance and capacity building for CSOs to prevent radicalisation, including through the South East Asia Network of Civil Society Organisations.
- Ministers welcomed delivery of counter terrorism training by Australian border security officials, to enhance detection of suspected foreign terrorist fighters in the region.
- Ministers agreed to a regional study group meeting focused on strengthening legislative responses to combat the threat of foreign terrorist fighters in the region, co-led by Australia and Indonesia.
- Ministers supported the delivery of the 2018 Regional Counter Terrorism Financing Summit in Thailand, co-led by the financial intelligence units of Australia, Indonesia and Thailand.
Menurut keterangan tim Polhukam, poin-poin yang ada di dalam joint-statement diimplementasikan oleh negara-negara yang bersangkutan, diantaranya adalah terkait dengan money loundering, cyber security, trafficking in person dan lain-lain. Sayangnya perkembangan tentang penguatan kemitraan dengan masyarakat sipil baik itu di tingkat negara masing-masing, penulis belum mendapatkan informasi yang akurat. Tetapi di internal Indonesia, Kemenkopolhukam bekerjasama dengan AMAN Indonesia membuat Preparatory Meeting of CSO Forum yang dilaksanakan pada tangal 30 Oktober 2019. Forum ini bertujuan untuk mempersiapkan CSO Indonesia dalam mengawal penguatan mekanisme keterlibatan CSO di SRM, termasuk menjaring solusi-solusi dari perspektif masyarakat sipil Indonesia.
Tentang CSO Forum
CSO Forum dari Sub Regional Meeting merupakan gagasan yang cerdas yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia dan Australia untuk membuka saluran komunikasi pemerintah dengan masyarakat sipil. Sebagai komitmen menjalankan "the whole society approach", dimana pemain utama penanganan terhadap radikalisme dan terorisme bukanlah hanya pemerintah, tapi peran masyarakat sipil dipandang sangat penting. Ini juga sebagai wujud nyata dari join statement SRM pertama dimana kebutuhan melibatkan masyarakat sipil sendiri tidak bisa dielakkan.
Tanpa menunggu harus memiliki penjelasan yang panjang tentang CSO Forum itu sendiri, penunjukkan AMAN Indonesia sebagai partner SRM untuk menyelenggarakan CSO Forum pertama, dilakukan secara taktis saja. Namun penulis menduga penunjukan ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, pengalaman dan reputasi AMAN Indonesia sebagai lembaga jaringan yang bekerja untuk pembangunan perdamaian memiliki kaki-kaki di tingkat grassroot, pengelolah jaringan CSO dan terlibat aktif dalam kerja-kerja PCVE di Indonesia dan global. Kedua, sebagai organisasi yang memiliki basis jaringan di Asia, keberadaan AMAN Indonesia sebagai penyelenggara dianggap akan memudahkan untuk melakukan mobilisasi jaringan masyarakat sipil di tingkat Asia. Ketiga, AMAN Indonesia memiliki pengalaman menjadi bagian dari drafting committee dan fasilitator pelaksanaan PrePres No. 18 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Pokja yang berisi pemerintah dan CSO bersama-sama melakukan implementasi. Dan yang terakhir, panitia penyelenggara SRM kedua memiliki kebutuhan cepat untuk mempersiapkan CSO Forum karena ketersediaan waktu yang tidak banyak.
Dengan waktu yang hanya kurang dari satu bulan, CSO Forum diselenggarakan di Lombok pada tanggal 5 Augustus 2018 dihadiri oleh perwakilan masyarakat sipil dari negara-negara seperti Australia, Indonesia, Malaysia, Myanmar, New Zealand, the Philippines, Singapore, and Thailand. Tema yang diangkat saat itu adalah "Strengthening Partnerships for Countering Radicalism and Preventing Violent Extremism". Penulis menduga bahwa tema ini disepakati juga karena ada hubungannya dengan joint-statement SRM pertama, sehingga pihak SRM ingin mendapatkan masukan lebih komprehensif dari perspektif masyarakat sipil terkait dengan partnership yang ideal dalam upaya CT maupun PCVE dalam pendekatan keamanan.
Meskipun difokuskan dalam menggali gagasan partnership secara partisipatoris, CSO Forum juga menyoroti isu- isu penting dalam dua diskusi plenary yang diisi oleh nara sumber dari negara-negara sub regional. Dua plenary yang diangkat adalah yaitu "The shifting roles of women and families in extremist networks" dan "Civil society responses to Deradicalization, Rehabilitation and Reintegration", termasuk didalamnya menyoroti daerah konflik yang ditunggangi oleh ekstrimisme. Pembahasan tentang pentingnya melihat dinamika peran perempuan dan keluarga dalam jaringan kelompok ekstrimis ini sebagai respon kasus Bom Surabaya yang terjadi pada bulan Mei 2018 dimana tiga keluarga terlibat dalam aksi teror tersebut.
Framework yang diberikan oleh keynote speakers Prof. Dr. Ruhaini Zuhayatin, dengan mengambil metafor "from backyard to dining room" sebagai gambaran pergeseran trend terorisme di Indonesia, memberikan baseline yang kuat bagaiamana CSO Forum harus mendorongkan kembali pentingnya semua pihak memberikan perhatian pada semakin tingginya keterlibatan perempuan dan keluarga dalam aksi-aksi teror. Termasuk paparan Brigjen. Pol. Ir. Hamli, M.E., Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang juga memaparkan pentingnya membaca terorisme dengan kacamata yang lebih dinamis dengan tidak memandang sepele keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi teror.
Setelah berdiskusi secara kelompok, sepuluh rekomendasi disepakati oleh peserta CSO Forum diantaranya adalah :
- Adopt local approaches and languages for countering violent extremism.
- Empower women and families in all attempts to counter violent extremism.
- Incorporate gender-inclusive approaches to all P/CVE policy and programming
- Recognise the potential of youth and consider specific policies and programs for youth across the region
- Support local religious community engagement programs, which play an important role in countering violent extremism
- Provide platforms for interfaith dialogue between religious leaders and communities
- Establish formal mechanism for partnerships between government and civil society for knowledge sharing and effective policy-making.
- Make government and civil society partnerships accountable and transparent.
- Promote greater collaboration across the region in countering violent extremism.
- Ensure the rights of religious and ethnic minorities across the region are protected meticulously.
Secara lengkap Statement Civil Society Forum bisa diunduh disini
CSO Forum belum sepenuhnya menjadi mekanisme baku dari Sub Regional Meeting (SRM). Saat itu terlalu dini membincang tentang status CSO Forum, karena semua pihak hanya terfokus pada subtansi dari keterlibatan masyarakat sipil dalam forum antar menteri di SRM. Namun juga tidak bisa dikatakan bahwa CSO Forum sebagai gagasan yang abal-abal. Ini terbukti pada pelaksanaan CSO Forum yang pertama di Lombok beberapa indikator menunjukkan justru gagasan CSO Forum dianggap sebagai "baby project" dari SRM untuk kemudian dikembangkan lebih jauh menjadi forum yang lebih memiliki daya tawar politik yang kuat dalam proses pengambilan kesepakatan di dalam SRM itu sendiri.
Pertama, hadirnya dua menteri utama yang mengampu SRM membuka CSO Forum di Lombok yaitu Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan dari Indonesia, Bapak HE Wiranto dan Menteri Dalam Negeri Australia, the Hon Peter Dutton, membuka CSO Forum sudah mengisyaratkan bahwa pemerintah memiliki keseriusan terhadap wujud partnership dengan CSO di tingkat Sub Regional. Tentu ini diharapkan bisa mendorong upaya partnership di tingkat
Kedua, hadirnya perwakilan dari peserta CSO Forum untuk membacakan statement yang dihasilkan dari forum satu hari di Lombok, pada saat pertemuan SRM ke dua di Jakarta pada tanggal 6 November 2018. Bahkan setelah Ruby Kholifah (AMAN Indonesia) dan Mira Kusumarini (CSAVE) membacakan statement, Menteri Dutton memberikan beberapa tanggapan yang membuat suasana sedikit cair karena ada dialog.
Ketiga, rekomendasi-rekomendasi dari CSO Forum diadopsi di dalam Joint-Statement SRM kedua yang terkait dengan partnership maupun peran penting perempuan dan anak muda dalam PVE. Bahkan dalam poin khusus menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya partnership dan capacity building CSO.
Keempat, dipakainya Logo SRM pada surat undangan, banner kegiatan, dan statement resmi CSO Forum mengindikasikan bahwa CSO Forum SRM entiti yang melekat seperti C20 melekat dalam penyelenggaraan G20 atau APF melekat penyelenggaraan ASEAN Summit.
Sayangnya, pengakuan terhadap statement masyarakat sipil dari CSO Forum tidak dibarengi dengan pengakuan secara eksplisit keberadaan CSO Forum. Ini terbukti bahwa SRM menggunakan narasi "the Countering Violent Extremism (CVE) Civil Society Organisation (CSO) event" dan bukan CSO Forum, meskipun di dalam Statement CSO Forum dan semua identitas dari event tersebut, menyebutkan secara eksplisit dengan narasi jelas CSO Forum. Berikut cuplikan dari paragraph ke 5 rekomendasi dari SRM:
5. Ministers valued the presentation by representatives on behalf of the Countering Violent Extremism (CVE) Civil Society Organisation (CSO) event which took place on 5 August 2018 and was formally opened by the Hon. Peter Dutton MP and His Excellency General (Ret) Wiranto. Ministers noted the importance of inclusive and cross-sectoral partnerships to develop and deliver effective CVE-based policies and programs. Ministers acknowledged the important role of CSOs in partnering with governments to prevent radicalisation and violent extremism. Ministers recognised that women, youth and families play a critical role in preventing violent extremism in the region.
Dengan demikian, masyarakat sipil masih memiliki pekerjaan rumah untuk mendorongkan agar CSO Forum bisa diterima sebagai mekanisme baku keterlibatan masyarakat sipil di Sub Regional Meeting. Mekanisme baku yang dimaksud disini adalah mekanisme secara resmi dari SRM, dimana keberadaan CSO Forum dan penyelenggaraannya menjadi tanggungjawab bersama baik penyelenggara SRM maupun masyarakat sipil. Secara detail tentang bagaimana tawaran CSO forum ke depan ada di bagian selanjutnya kedua tulisan ini.
Masa Depan CSO Forum SRM
Seperti yang penulis sampaikan pada bagian sebelumnya bahwa pemerintah SRM memiliki niat baik untuk membangun mekanisme keterlibatan masyarakat sipil dalam SRM. Setidaknya ini terlihat dari salah satu pengampu SRM, KemenkoPolhukam tertarik untuk melanjutkan perbincangan tentang keterlibatan masyarakat sipil yang lebih tersistematis dalam SRM. Polhukam menggandeng AMAN Indonesia sebagai partner untuk menyelenggarakan Konsultasi Publik Persipan CSO Forum SRM yang ketiga. Menurut informasi dari Polhukam, CSO Forum disepakati untuk diselenggarakan oleh masyarakat sipil dengan dukungan dari SRM.
Untuk memaksimalkan input dari Indonesia, KemenkoPolhukam bekerjasama dengan AMAN Indonesia menyelenggarakan persiapan CSO Forum yang kedua dengan mengundang perwakilan masyarakat sipil di Jakarta dan sekitarnya. Dihadiri oleh 87 perwakilan masyarakat sipil dari berbagai latar belakang pengalaman bekerja di PCVE, forum dibagi menjadi dua yaitu membahas isu-isu penting yang diharapkan bisa dibahas dalam SRM dan platform CSO forum.
Workshop sehari yang diberi nama "Preparatory Meeting of CSO Forum on SRM" ini dibuka oleh Asdep Forum satu hari ini dibuka oleh Asdep Kerjasama Asia Pasifik dan Afrika, Dr. Pribadi Sutiono, dan Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, menekankan pentingnya kordinasi di kalangan CSO sendiri sebelum memasuki forum regional. Hasilnya diharapkan bisa dipresentasikan pada penyelenggaraan CSO Forum yang diharapkan terjadi satu hari sebelum pertemuan SRM ketiga pada tahun 2020. Secara detail tentang Preparatory Meeting of CSO Forum on SRM bisa dibaca pada bagian kedua artikel ini.
Meskipun sampai saat ini belum ada pembicaraan tentang penyelenggaraan CSO Forum kedua, penulis ingin memberikan argumentasi tentang keuntungan-keuntungan yang dirasakan oleh pemerintah SRM maupun masyarakat sipil, apabila CSO Forum SRM dijadikan mekanisme resmi SRM. Berikut analisisnya:
Bagi masyarakat sipil, keberadaan CSO Forum memberikan sejumlah keuntungan diantaranya adalah:
- CSO memiliki medium untuk melakukan kordinasi dan konsolidasi pengetahuan, pengalaman dan perspektif masyarakat sipil dalam kerja-kerja merespon PCVE dari berbagai negara di sub regional dalam bentuk satu dokumen rekomendasi yang bisa diadvokasikan dalam mekanisme pemerintah bernama SRM
- CSO yang bekerja di isu PCVE memiliki medium untuk merefleksikan kerja-kerja PCVE sekaligus membangun kerangka kerja bersama satu tahun ke depan, serta menemukan organisasi masyarakat sipil yang bekerja terisolasi
- CSO memiliki medium strategis membangun komunikasi dengan pemerintah, dan untuk membagi praktek-praktek terbaik dalam melakukan pencegahan, penanganan FTF, deportan dan returni, yang scale nya kecil, untuk dijadikan baseline respon pemerintah yang lebih luas jangkauannya
- CSO bisa merumuskan dan menyepakati langkah-langkah strategis dan praktis kerjasama lintas negara untuk memperkuat partnership pemerintah dan CSO di tingkat nasional
- CSO bisa terlibat dalam realisasi joint-statement SRM ditingkat nasional, sekaligus mendorong agar kesepakatan membangun partnership pemerintah dan CSO bisa sedikit demi sedikit diperbaiki
Bagi pemerintah SRM, memperjuangkan CSO Forum menjadi mekanisme baku (resmi) keterlibatan CSO, akan mendatangkan sejumlah keuntungan diantaranya adalah:
- Pemerintah mendapatkan analisis trend terkini terorisme di kawasan sub regional dari studi-studi yang dilakukan oleh lembaga penelitian, dan hasil pendampingan masyarakat sipil pada komunitas yang terpapar radikalisme dan terorisme. Termasuk mendapatkan pendalaman analisis gender untuk membedah keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi-aksi teror di masa mendatang
- Pemerintah mendapatkan contoh praktek-praktek terbaik yang dilakukan oleh masyarakat sipil dalam melakukan program pencegahan, penanganan kelompok risiko tinggi (FTF, Terorist group dll), dinamika isu terorisme di migrasi, sehingga dalam setiap solusi yang akan diputuskan telah mempertimbangkan kondisi real lapangan. Juga sebagai pertimbangan agar pemerintah bisa meningkatkan scale up program-program yang sudah dijalankan oleh CSO di tingkat komunitas maupun nasional.
- Pemerintah memiliki mekanime komunikasi dengan CSO yang bergerak pada isu yang sama guna memperdalam solusi atau testing solusi yang akan diambil negara dalam pertemuan SRM, sehingga pemerintah mendapatkan kedalaman analisis dari berbagai sudut pandang, termasuk dari perspektif CSO
- Pemerintah bisa mengunakan CSO Forum untuk membantu merealisasikan joint-statement di tingkat regional maupun nasional, agar upaya penanganan VE lebih partisipatoris
- Pemerintah bisa menggunakan CSO Forum untuk mengurai ketegangan atau isu-isu sensitif terkait dengan prinsip-prinsip partnership, agar penerjemahan dari the whole society approach bisa terwujudkan
Dengan melihat sejumlah keuntungan-keuntungan yang akan dinikmati baik oleh CSO maupun pemerintah, sudah seharusnya keberadaan CSO Forum SRM sebagai mekanisme resmi disetujui dan diberikan dukungan oleh pemerintah yang mengikuti SRM. Keuntungan keduanya akan semakin besar, jika ada space perwakilan CSO yang bisa menjadi observer di dalam pertemuan SRM, sehingga CSO bisa mendapatkan insight yang lebih jelas terkait peran negara.
Menyongsong SRM 2020
Sub Regional Meeting ke tiga akan diselenggarakan pada awal tahun 2020 dengan rencana topik yang mau diangkat adalah Foreign Terrorist Fighters (FTF). Meskipun tidak ada tanda-tanda apakah akan ada CSO Forum sehari sebelum rapat SRM digelar. Pihak Australia melalui AIPJ bekerjasama SEAN-CSO menggelar Strategic Dialogue pada tanggal 13 Desember 2019 di Bali. Workshop sehari ini mengambil topik khusus terkait dengan penanganan FTF, termasuk mencakup pembahasan rehabilitasi dan reintegrasi.
Apakah Forum Strategic Dialogue sama dengan CSO Forum SRM?
Pertama, kalau dianalisis secara tujuan, forum Strategic Dialogue diselenggarakan untuk update informasi, praktek terbaik, dan tantangan terkait dengan kebijakan dan program terkait dengan rehabilitasi dan reintegrasi FTF termasuk returni dan deportan.
Sementara CSO Forum Lombok fokus pada partnership pemerintah dan CSO, serta memberikan perhatian pada dinamita baru terorisme dimana perempuan dan anak menjadi modus terorisme selanjutnya. Juga dalam forum dibicarakan tentang peran tokoh agama dalam PVE.
Kedua, Keterwakilan peserta yang terlibat dalam Strategic Dialogue berasal dari Australia, New Zeland, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Sayangnya, peserta dari Thailand dan Malaysia meninggalkan forum sebelum dialog berakhir, sehingga forum didominasi oleh peserta dari Australia dan Indonsia sangat doniman. CSO Forum Lombok dihadiri perwakilan masyarakat sipil dari negara-negara seperti Australia, New Zeland, Singapore, Filipina, Indonesia, Myanmar, Malaysia, Thailand yang mengikuti forum mulai dari pembukaan sampai penutupan.
Ketiga, pembukaan forum dilakukan oleh perwakilan pemerintah selevel staf kementerian dari DFAT dan Kemenkopolhukam. Sementara pada CSO Forum Lombok, forum dibuka oleh dua Menteri yang mengampu SRM yaitu Menteri Dalam Negeri Australia dan Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Hasil dari CSO Forum dipresentasikan di Forum SRM yang dihadiri oleh perwakilan menteri dari negara-negara sub regional dan mendapatkan tanggapan serius.
Keempat, Statement atau rekomendasi dari Strategic Dialogue dirumuskan dalam diskusi kelompok dalam wake 30 menit saja, sehingga tidak memiliki kecukupan waktu membahas formulasi rekomendasi sampai final.
Pada CSO Forum Lombok, draft rekomendasi dibahas secara partisipatoris dengan semua peserta dan diadopsi secara aklamasi oleh semua peserta CSO Forum, sehingga memiliki ownership yang sangat tinggi dan genuinitas gagasan CSO Forum terjaga dengan baik.
Kelima, tidak ada logo SRM dalam surat undangan, banner maupun produk lainnya bersama dengan CSO Forum, yang membuat forum Strategic Dialogue terasa seperti forum konsultasi CSO biasa dibandingkan dengan forum CSO yang diniatkan sebagai mekanisme engagement SRM.
Dengan demikian agak sayang kalau Strategic Dialogue disamakan dengan CSO Forum. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan mendapatkan perspektif dari masyarakat sipil tetap tercapai meskipun dengan management forum kurang efektif, jika menggunakan standard regional.
Penyamaan forum Strategic Dialogue sebagai CSO Forum SRM, hanya akan secara sistematis downgrading kualitas dan legitimasi politik CSO Forum Lombok. Pada fase saat ini, seharusnya pemerintah Australia dan Indonesia memikirkan bagaimanan meningkatkan status CSO Forum menjadi menjadi mekanisme formal SRM, penulis sangat khawatir ada upaya penenggelaman gagasan CSO Forum yang sebenarnya dilahirkan oleh pemerintah host SRM sendiri.
Untuk mengembalikan genuinitas CSO Forum SRM, penting ada perbincangan tentang status CSO Forum dalam SRM dan peran yang lebih jelas yang akan dimainkan oleh CSO Forum, sehingga implementasi joint statement maupun statement dari CSO Forum, bisa dilaksanakan dengan partnership yang kuat antara pemerintah dan masyarakat sipil.
Penulis berharap pemerintah Australia dan Indonesia akan mendukung penyelenggaraan CSO Forum pada meeting SRM yang ketiga yang rencananya akan dilaksanakan pada bulan Februari atau Maret 2020. Penulis masih optimis pendekatan terhadap kedua kementerian bisa dilakukan untuk mendorongkan penyelenggaraan CSO Forum pada SRM ke tiga. Juga masyarakat sipil dari negara-negara sub regional bisa memberikan dukungan gagasan penyelenggaraan CSO Forum selanjutnya.
Jikapun terlalu mepet, maka ini sangat strategis jika proposal kebutuhan CSO forum bisa menjadi salah satu diskusi di dalam SRM dan mendapatkan endorsement dari berbagai negara. Sehingga pelaksanaan CSO Forum berikutnya, lebih bisa tertangani dengan maksimal dengan kapasitas kolektif CSO di Sub regional. Amin.
Bagaimana operasionalisasi CSO Forum agar secara demokratis bisa berfungsi? Untuk menjawab ini, penulis akan memberikan paparan pada bagian kedua artikel ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar