Pada 15 Januari 2016, Sekjend PBB merilis laporan tentang Plan of Action on Preventing Violent Extremism (PVE) yaitu kerangka kerja bersama pemerintah untuk merespon isu violent extrimism dan juga condusive to terrorism (yaitu situasi yang mendorong pada tumbuhnya terorisme). PoA PVE ini dikeluarkan karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok teroris seperti ISIL, Al-Qaedah, Buko Haram dan kelompok-kelompok yang lainnya telah sedemikian rupa menyebarkan peamahaman intoleransi, kekerasan, dan propaganda kebencian, yang berakibat pada krisis kemanusiaan yang meluas.
Sebelum PBB meluncurkan Plan of Action on PVE, telah ada sejumlah Resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB menyikapi terorisme dan extremisme. Setelah serangan 11 September 2011, PBB mengadopsi Resolusi 1373 tentang the Counter Terrorism Committee (CTC). Lima tahun kemudian, (2006), Ada konsensus untuk mengubah dari aksi reaktif ke arah pencegahan dan lebih komprehensif dalam mendekati terorisme dengan bekerja pada wilayah “conditions conducive to the spread of violent extremism”, (kondisi subur penyebar extrimisme), termasuk perkuat negara, dan penegakan hukum dan HAM sebagai basis menolak terorisme. Resolusi lain yang dikeluarkan adalah Resolusi DK 2122 tentang pentingnya meningkatkan perhatian pada perempuan, perdamaain dan keamanan, yang menjadi area relevan . Resolusi 2129 Pembentukan Counter-Terrorism Committee Executive Directorate (CTED). Resolusi 2178 mendorong negara-negara untuk perkuat komunitas lokal, aktor non negara membuat counter narasi, termasuk pemberdayaan anak-anak muda, keluarga, perempuan, kel agama, budaya dan pendidikan.
Disamping resolusi yang secara langsung menjawab terorisme dan ekstremisme, PBB juga mengeluarkan resolusi lain yang lebih khusus untuk menyikapi kondisi perempuan di wilayah konflik yang dikenal dengan Resolusi 1325, tentang perempuan, perdamaian dan keamanan. Pada Oktober 2015, PBB menyelenggarakan global study implementasi resolusi 1325 di berbagai belahan dunia. Selain mendapatkan bahwa lebih dari 100 negara telah mengimplementasikan resolusi ini dalam bentuk Rencana Aksi Nasional (RAN), dan meningkatnya komitmen dari banyak negara terkait dengan agenda perempuan, perdamaian dan keamanan. Ada juga temuan sangat serius terkait dengan berkembangnya fundamentalisme dan ekstrimisme di negara-negara yang sedang mengalami konflik maupun negara pasca konflik.
Selain itu, PBB juga melakukan global study terkait dengan Gender Based Violence di 19 negara-negara yang sedang mengalami konflik. Hasil study ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual menjadi senjata selama perang, termasuk ketika elemen ekstrimisme memperparah GBV di beberapa negara. Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Buko Haram, ISIL dan Taliban adalah contoh konkrit bagaimana ekstremisme begitu memperparah kondisi GBV. Olekarenanya, sebuah resolusi baru juga dikeluarkan yaitu resolusi 2242 yang berisi tentang integrated framework on women, peace and security and PVE. Ini memberikan kerangka besar konsep kunci dalam memaintreamkan gender di PVE.
Indonesia Context on CVE
Pasca Bomb Bali 2002, Indonesia mengesahkan UU No. 15 tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai pijakan hukum untuk melakukan intervensi terhadap terorisme. Kemudian melalui Perpres No. 46 tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pada tahun 2012 diubah dengan Perpres No. 12 Tahun 2012. Tugas BNPT sebagai leading sector (yg bertanggungjawab), menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. Meskipun belum ada kebijakan nasional khusus tentang merespon violent extremisme, tetapi BNPT telah membuat Blue Print Strategi penanggulangan terorisme, yang dijadikan guidance untuk diturunkan dalam bentuk program. Sayangnya Blue Print ini hanya menjadi konsumsi internal BNPT, sehingga masyarakat sipil tidak memiliki kecukupan informasi tentang program-program prioritas yang dijalankan BNPT. Bukan hanya itu, masyarakat sipil juga mengalami kesulitan untuk mensinergikan kerja-kerja terkait dengan pencegahan terorisme dan ekstrimisme/radikalisme.
Adanya Plan of Action on PVE yang digagas oleh Sekjend PBB, mendorong negara-negara untuk membuat kebijakan nasional terkait dengan PVE, termasuk Indonesia. Plan of Action sendiri memfokuskan pada 7 pilar yaitu: 1) Dialog dan Pencegahan konflik; 2) Penguatan tata kelolah, HAM dan rule of law; 3) Penguatan Keterlibatan Komunitas; 4) Pemberdayaan Anak muda; 5) Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan; 6) Pendidikan, Ketrampilan dan Fasilitas Kerja ; 7) Komunikasi Strategis, Internet dan Media Sosial.
Dibawah kepemimpinan BNPT, saat ini Indonesia sedang menjalani proses pembuatan National Action Plan on PVE (NAP PVE) dengan melibatkan 32 kementerian lembaga dan masyarakat sipil. Ada empat kali FGD yang diselenggarakan oleh BNPT untuk menggali isu kunci dalam pilar pencegahan, penegakan hukum dan kerangka legislasi, deradikalisasi dan counter radikalisme, dan kemitraan. BNPT juga membuka diri untuk menerima masukan dari masyarakat sipil terkait dengan isu kunci dan intervensi yang strategis untuk PVE di Indonesia.
Jika sebelumnya kita tidak pernah tahu proses pembuatan bahwa dokumen blue print BNPT, kali ini proses pembuatan RAN PVE dilakukan dengan keterlibatan masyarakat sipil. Ini sebuah tanda positif bahwa institusi BNPT sudah mulai menyadari pentingnya peran masyarakat sipil dalam upaya PCVE di Indonesia. Pemerintah menjadualkan draft pertama akan dilaunching tahun depan, sehingga saat ini ada kecukupan waktu buat masyarakat sipil memberikan masukan kepada BNPT melalui kedeputian hubungan internasional, yang saat ini mendapatkan mandat untuk menyelesaikan RAN PVE.
Jika tahun depan bisa selesai, Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki NAP PVE. Ini artinya bahwa Indonesia sedang memposisikan sebagai tauladan bagi negara-negara ASEAN untuk juga mendorong pembentukan regional Action Plan, jika mekanisme ini dipandang akan lebih mudah memasifkan intervensi di negara-negara ASEAN. Meskipun saya sendiri agak ragu, melihat pengalaman pada Regional Action Plan on Women Peace and SEcurity di kalangan negara-negara Pasific, tidak kemudian berujung pada tumbuhnya NAP di tingkat negara-negara Pasific. Sebailknya tanpa RAP on WPS di tingkat ASEAN, tetapi secara nasional Philipines, Indonesia telah mengimplementasikannya, kemudian disusul oleh Thailand, dan Myanmar yang sedang dalam proses perumusan.
Maintreaming Gender dan "stand alone" Gender Equality dalam NAP PVE
Dalam upaya memastikan pemenuhan HAM perempuan dan menciptakan kesetaraan gender, masyarakat global mengenal dua istilah yaitu Mainstreaming Gender (Pengarusutamaan Gender /PUG), dan "stand alone" gender equality. Apa makna dari kedua istilah ini dan apa konsekuensi praktikal dalam kita menyusun kebijakan dan program terkait dengan CVE?
Pertama, maintreaming gender atau PUG. Ini artinya bahwa gender dipakai sebagai perspektif atau kaca mata analisis. Dengan demikian, kita akan meletakkan semua indikator gender ke dalam semua pilar yang ada yaitu pencegahan, penegakan hukum dan kerangka legislasi, deradikalisasi-counter radikalisme dan partnership.
Misalnya dalam konteks deradikalisasi, bagaimana gender perspektif akan memberikan kekayaan kita melihat lebih detil ketika perempuan dari kelompok radikal yang kita hadapi, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
- Keberadaan petugas perempuan akan sangat membantu dibandingkan dengan laki-laki. Ini karena ada konstruksi "muhrim", perempuan radikal tidak nyaman didekati dengan petugas laki-laki dan kemungkinan tidak akan terbuka memberikan informasi
- Subtansi dialogue; Isu peran perempuan dalam Islam akan menjadi bagian dialogue, dimana selama ini konstruksi "kepatuhan" istri terhadap suami, membuat banyak perempuan kelompok ekstrimis menerima mentah-mentah perintah suami, termasuk untuk menjadi bagian dari ekstrimisme.
- Karena perempuan kelompok radikal lebih nyaman berdialog dengan perempuan maka keberadaan ulama perempuan menjadi penting dalam konteks program deradikalisasi
- Perempuan dari kelompok radikal banyak yang menjadi "pencari nafkah" ketika suami dipenjara, maka penting menggali secara detil apa harapan dan langkah-langkah untuk bertahan hidup selama suami di penjara, agar tidak terlibat kembali ke dalam jaringan radikal
Kedua, "stand alone" gender equality artinya gender equality sebagai affirmative action, yaitu intervensi khusus untuk merespon persoalan perempuan, karena dalam masih sulitnya menjadikan gender sebagai perspektif, sehingga perlu secara eksplisit . Dalam konteks CVE, ranah ini banyak dipakai untuk membahas tentang kekerasan berbasis gender (gender based violence-GBV). Dalam konteks masyarakat patriakis, ekstrimisme berdampak berbeda pada perempuan dan laki-laki. Dengan memanipulasi konsep "jihad" dibalut dengan propaganda maskulinitas, laki-laki banyak menjadi korban sebagai pelaku ekstrimisme baik atas nama agama, membuktikan maskulinitas ataupun mencari eksistensi diri. Sementara konstruksi pada perempuan sebagai "second class" berkonsekuensi pada instrumentalisasi dan sekuritisasi perempuan. Bentuk kekerasan yang dialami perempuan dan tidak banyak dialami laki-laki adalah kekerasan seksual. Konteks Bukoharam, dimana para gadis dan perempuan diculik dan dibawa camp kelompok ekstrimis untuk melayani kebutuhan seksual ekstrimist, kemudian dikembalikan ke kampung masing-masing setelah beberapa bulan atau tahun. Kita bisa melihat irisan sangat jelas antara ekstirmisme dan GBV dalam bentuk yang ekstrim.
Jika kita melihat tujuh pilar dari Plan of Action Sekjend PBB, yaitu 1) Dialog dan Pencegahan konflik; 2) Penguatan tata kelolah, HAM dan rule of law; 3) Penguatan Keterlibatan Komunitas; 4) Pemberdayaan Anak muda; 5) Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan; 6) Pendidikan, Ketrampilan dan Fasilitas Kerja ; 7) Komunikasi Strategis, Internet dan Media Sosial. Maka gender maintreaming akan terjadi di pilar ke 1,2,3,4,6,7, dimana indikator gender harus dirumuskan untuk memperkuat intervensi pada perempuan. Sementara juga penting membuat rumusan terpisah dalam bentuk "stand alone" gender equality dan pemberdayaan perempuan.
Apakah tidak overlapping? Bisa saja ketika kita tidak memberikan batasan. Tapi jikapun overlapping, maka adjustment akhir selalu bisa dilakukan, apakah kebijakan dan program tersebut lebih pas diletakkan dalam "payung apa".
Keterhubungan (Intersectionality) Kebijakan Lainnya
Sebagai global framework, Plan of Action on PVE tidak bisa dipisahkan dari instrumen global yang lainnya seperti Charter of United Nations, Deklarasi HAM, Global Counter Terrorism Strategy, General Assembly Resolution, Security Council Resolution. Ini artinya bahwa Plan of Action itu sebuah komitmen dan kewajiban dibawah nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah disepakati di dalam dokumen-dokumen yang disebutkan diatas.
Bahwa upaya merespon violent extrimisme telah disepakati oleh General Assembly dan the Security Council untuk mempertimbangkan pentingnya rule of law, mencabut aturan diskriminatif, dan menjalankan keijakan dan hukum-hukum yang memerangi diskriminasi, marginalisasi, dan ekslusi hukum dan praktek-prakteknya.
Bahwa respon terhadap violent extrimism, negara-negara dibawa PBB diharuskan menjalankan subtansi dari the Charter of the united nations dan the universal declartion of human rigths, khususnya yang menyangkut HAM Internasional, Pengungsi, Bantuan Kemanusiaan.
Bagaimana di tingkat nasional? Intersectionality tentu saja sangat relevan dan bahkan harus. Karena NAP PVE seharusnya tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi dokumen yang secara fleksible bisa berkomunikasi dengan kebijakan dan produk hukum yang lainnya. Intersectionality bisa terjadi dalam beberapa yaitu;
Pertama, UU No. 39 tahun 2009 tentang HAM, yang diturunkan dalam bentuk RAN HAM, harus dipastikan menjadi roh dari pelaksanaan kebijakan merespon violent extremism di Indonesia. Harus dipastikan bahwa access to justice bagi aktor-aktor yang terlibat dalam violent extremism baik dari pihak pelaku maupun korban mendapatkan perhatian. Termasuk pemenuhan HAM Perempuan dan anak-anak.
Kedua, UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS). Pada tahun 2014 melalui Prepres No. 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3AKS), kemudian diterbitkan pula dua Permenko No. 7 dan No. 8 tahun 2014 tentang RAN P3AKS dan Pokja RAN P3AKS. Secara empirik telah terbukti bahwa situasi konflik akan menjadi pintu masuk berkembangnya ekstrimisme. Olehkarenanya menyelesaikan konflik secara cepat dan mencegah persilisihan tidak mengarah ke konflik kekerasan akan membantu secara cepat akan membantu menghindari relevan karena situasi konflik memudahkan dijadikan pintu masuk penyebaran ekstrimisme
Kunci keterhubungan ada pada pelanggaran HAM perempuan dan Gender Based Violence (GBV) yang semakin memburuk dalam konteks ekstrimisme. Sebuah study global implementasi RAN 1325 di lebih dari 100 negara memberikan gambaran berkembangnya ekstrimisme di wilayah-wilayah yang pernah mengalami konflik atau daerah yang sedang berkonflik. RAN P3AKS sebagai instrumen perlindungan korban GBV, membangun upaya pencegahan konflik, dan memastikan tingkat partisipasi perempuan dalam resolusi konflik, sangat memungkinkan diintegrasikan dengan strategi PVE.
Ketiga, implementasi SDGs. Megapa penting. Hasil review sebuah jaringan perempuan bernama Working Group on Women and PCVE, yang dibentuk untuk mewadahi kordinasi informal antara para pekerja yang bergerak di isu perempuan dan radikalisme menemukan bahwa "injustice", inequality, feeling not belonging to community, dan solidaritas sesama muslim adalah faktor mendorong seseorang melakukan tindakan radikalisme. Olehkarena, memastikan indikator CVE ke dalam intervensi SDGs juga penting. Kritik terbesar dari pembanguna pasca konflik adalah tidak terintegrasikannya secara baik elemen rekonsiliasi ke dalam agenda pembangunan, sehingga tidak heran, pertama kali kami, AMAN Indonesia masuk ke Poso, tahun 2008, dan memulai program di sebuah desa bernama Male Lage, warga Muslim dan Kristen hidup berdampingan tanpa interaksi, prasangka masih kuat, distrust juga masih kuat.
Nah dalam konteks integrasi antisipasi symptom radikalisme tumbuh, maka penting elemen CVE dipastikan juga masuk dalam pelaksanan SDGs, ia harus jelas masuk menjadi indikator. Sehingga sejak awal pemerintah sudah sadar bahwa daerah-daerah yang memang rawan terhadap radikalisme maka penting untuk dipastikan pendekatan pembangunan tidak memperparah kesenjangan tapi memastikan kohesi sosial tercipta dimana akses pembangunan bisa diakses oleh semua orang.
Belajar dari RAN P3AKS: Dos and Dont
Sebagai drafer RAN P3AKS (Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial), yang terlibat pada penyusunan sampai implementasi program di daerah, saya merasa penting untuk memberikan refleksi dalam konteks bagaimana membuat RAN berjalan secara efektif, dimana semua aktor penting terlibat, pola kordinasi jalan, dan ada mekanisme review yang jelas sehingga capaian bisa dijastifikasi secara lebih fair. Berikut beberapa hal yang penting saya sampaikan yaitu:
1. NAP bukan tempat sampah; Ini terkait dengan kecenderungan untuk memasukkan apa saja dalam NAP akan membuat kita tersesat. Jika memang kita ingin mengacu pada Plan of Action dari Sekjed PBB, maka 7 pilar yang disuguhkan itu adalah kerangka mudah membantu mereframe program. Tetapi, tentu kebijaksanaan kita semua untuk mencari mana yang PRIORITAS untuk dikerjakan dimana sumber daya manusia dan finansial terbatas.
Tidak semua program perlu dimasukkan ke dalam NAP karena masih ada wadah-wadah lain yang bisa dipakai untuk menjalankan program-program yang bisa mendukung capaian NAP. Nah, ini yang saya bilang pada bagian sebelumnya intersectionality, dimana kita bisa meletakkan program-program yang menjadi rutinitas dijalankan oleh KL atau institusi lainnya.
Lalu apa yang ada di NAP PVE, saya rasa penting untuk menentukan PRIORITAS, yang bisa ditentukan dengan membaca trend study atau melihat tingkat urgensi dari sebuah intervensi.
Saya harus menjalankan peran "devil facilitator" setiap kali perumusan RAD P3AKS di daerah untuk secara sadar memilih prioritas yang bisa dikerjakan dan meletakkan yang lainnya pada wadah-wadah program pemberdayaan perempuan yang lain diluar agenda Women Peace and Security. Tidak mudah. Ini karena orang punya kecenderungan untuk tidak mau memilih prioritas dan atau tidak paham mana yang prioritas. Maka dari itu melihat kembali diskripsi yang diberikan PBB terhadap agenda women peace and security menjadi penting.
2. Fokus KL kunci; Ketika 24 KL berkomitmen untuk menjadi bagian dari RAN P3AKS, tim drafter senang sekali. Ini artinya ada komitmen kuat dan dukungan dari banyak KL. Tapi setelah berjalan implementasi, mulai terlihat tantangan besar dalam hal konsistensi. Terlihat bahwa tidak mudah memastikan KL melakukan tugasnya, terutama konsisten menjalan planning yang sudah disepakati. Maka dari itu, Saya merasa dari RAN CVE, tidak memerlukan partisipasi banyak KL. Cukup KL kunci saja yang bisa secara intensif akan menjalankan implementasi RAN CVE, sesuai dengan pilar yang ada. Jikapun melibatkan 32 KL, maka penting membuat sebuah aplikasi input setiap kegiatan yang sudah dilakukan untuk memudahkan tracking kegiatan yang sudah dijalankan. Saya rasa dalam konteks ini, tidak bisa dihindari menggunkan teknologi.
Jadi, saya pribadi lebih sepakat fokus pada agenda tertentu, libatkan KL kunci, dan jalankan program dengan konsiten sampai daerah. Toh..nanti yang diukur itu bukan seberapa komprehensif planning yang dimiliki, tetapi seberapa konsisten antara planning dan implementasi.
3. Kordinasi ; ini satu kata magic yang sulit diurai. Jika dilihat dari struktur pemerintah alur kordinasi harusnya jelas. Tetapi sering tidak menjadi jelas ketika masuk pada ranah implementasi. Kasus RAN P3AKS, dimana KPPPA merasa tidak percaya diri menagih komitmen KL, maka KEmenko PMK dan Kemenko Polhukam yang sebagai KEtua dan wakil ketua memainkan fungsinya untuk memastikan KL menghadiri rapat kordinasi melakuan update. Ini krena, ada kulturPe di birokrasi bahwa KL hanya akan bergerak ketika dikordinasikan oleh Kemenko.
Bagaimana kordinasi dengan masyarakat sipil? RAN P3AKS memiliki model struktur dimana masyarakat sipil masuk di dalamnya, sehingga setiap kali rapat kordiansi KL, akan melibatkan masyarakat sipil. Disinilah secara terbuka setiap insitusi yang terlibat akan melakukan update dan membagi kendala implementasi. Pemerintah dan masyarakat sipil sepakat untuk membuat laporan progress bersama dan sudah berjalan 2 semester. Sayangnya tradisi ini tidak dilanjutkan ketika berganti personel dalam kementerian.
Dalam konteks RAN CVE, saya membayangkan akan ada layers kordinasi di dalam kementerian sendiri, karena baik MenkoPolhukam dan BNPT sama-sama memiliki wewenang kordinasi. Penting dipikirkan agar pekerjaan-pekerjaan kordinasi tidak tumpang tindih, tapi justru karena keduanya memiliki weweanng kordinasi, akan bisa menemukan model kordinasi berlapis yang lebih efektif. Misalnya BNPT melakukan kordinasi di internal kedeputian sendiri dan KL kunci yang terlibat dalam RAN CVE. MenkoPolhukam membantu kordinasi lintas Menko dan KL dibawahnya agar bisa memaksimalkan maintreaming PVE di dalam program KL.
KemenkoPolhukam juga bisa melakukan kordinasi dengan Menko PMK terkait dengan interseksi implementasi PVE dalam RAN P3AKS. Ini sangat masuk akal karena dalam struktur RAN P3AKS sendiri, KemenkoPolhukam adalah wakil ketua. Bukan hanya itu, proses mensinergikan Menko ini akan membantu percepatan program pencegahan ekstrimisme yang digerakkan dengan mesin RAN P3AKS. Apalagi saat ini proses penurunan di tingkat lokal sudah dimulai. Sulteng selangkah lebih maju mengintegrasikannya ke dalam RAD.
3. RAD ; Pembentukan Rencana Aksi DAerah (RAD) adalah tahapan implementasi membutuhkan strategi matang. Ini karena apa yang menjadi agenda di nasional belum tentu menjadi prioritas lokal. Untuk menghindari polemik RAD, maka BNPT bisa mengambil daereah2 yang dianggap rawan PVE dan yang pernah mengalami konflik sebelumnya menjadi daerah prioritas untuk PVE.
Jika harus dalam bentuk RAD yang dipilih, maka saya sangat menganjurkan untuk mencari isu kunci di daerah masing-masing, memfokuskan pada SKPD terkait dan menjalankan dengan pola kordinasi ketat. Termasuk menggunakan program aplikasi untuk tracking setiap implementasi program SKPD dan KL dalam satu aplikasi. Jika CSO dimungkinkan terlibat dalam sharing sistem ini, akan sagnat baik. Karena baik CSO maupun pemerintah sama-sama bisa memantau sejauhmana program-program PCVE diimplementasikan.
4. Review: Acapkali penyusunan menyerap banyak sekali energi dan perhatian. Bahkan RAN P3AKS saja memakan 7 tahun untuk memperdebatkan identitas Indonesia apakah sebagai negara konflik atau tidak. Belum lagi positioning terkait isu security, dimana sektor keamanan memiliki definisi kaku tentang keamanan dan wilayahnya. Padahal yang sdang dibahas adalah human security. Saya berharap RAN PCVE tidak perlu ada proses bertahun-tahun untuk perdebatan tidak perlu.
Justru yang paling penting adalah pada proses implementasi programnya, dan kordinasi memastikan KL atau SKPD yang sudah komitmen menjadi bagian RAN, menjalankan fungsinya. Tingginya rotasi jabatan harus bisa diantisipasi sedemikian rupa, sehingga orang baru yang menggantikan yang lama, tetap bisa melanjutkan dengan ketersediaan informasi yang cukup. Sekali lagi harus dipikirkan menggunakan teknologi agar data-data catatan bisa ditracking dengan mudah.
REview sebaiknya dilakukan oleh pihak universitas, selain memberikan ruang obyektif melihat kondisi sesungguhnya implementasi program, juga memberikan kesempatan kepada universitas untuk memberikan makna pada perubahan dari dampak yang ditimbulkan oleh intervensi RAN CVE. Kita perlu mengambil lesson learnt atau best practices untuk memperbaiki RAN ke dua nanti. Juga penting menangkap perubahan dengan pendekatan impact oriented approach, agar cerita perubahan bisa dikerangkai dengan sebuah konsep yang tepat untuk direplikasi di tempat lain.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar