Minggu, 25 Maret 2018

Menebarkan Islam Indonesia, Mengukuhkan Peran Ulama Perempuan

Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Hubbul Wathon minal Iman Wala Takun minal Hirman Inhadlu Ahlal Wathon….(Pusaka hati wahai tanah airku Cintamu dalam imanku Jangan halangkan nasibmu. Bangkitlah, hai bangsaku!..)

Sepenggal syair di atas diambil dari salah satu Mars NU berjudul Syubbanul Wathon (Cinta Tanah Air) karya Abdul Wahab Hasbullah ini berkumandang di House of Lords, London, saat Faqihuddin Abdulqodir, salah satu delegasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) memperkenalkan tradisi Pesantren pada forum Rising Women Ulama, pada tanggal 15 Maret 2018. 

Syair berbahasa arab dengan hentakan nada patriotik itu menggema dalam ruang berbalut kayu dengan ukiran klasik ala Eropa yang menawan. Suara berat Faqih dalam nada sedikit datar menembus dinding berkarpet hijau dengan motif kerajaan yang indah. Sejumlah ornamen lukisan anggota parlemen dalam balutan pakaian kerajaan Inggris yang khas, seolah bangkit kembali dalam sikap patriotik bela negara. Hening…Kulihat para peserta tersenyum tipis dan retina mereka membesar karena kagum, saat mendengar makna dari lagu tersebut.


Belum sempat peserta menurunkan tensi kekagumannya, Faqihudin menyambungnya dengan lantunan Shalawat Mussawah yang mempromosikan kesetaraan pada perempuan dan laki-laki. Berikut cuplikan baitnya;

Huwa khalaqahumaa min nafsiw wahidah Innahuu lan nash-had hayaatan thoyyibah- Illa bi juhdinaa rijaalaw wan-nisaa Innahu lan na’ish hayaatan ‘aadilah- Illa bi ‘adlinaa rijaalaw wan-nisaa

(Allah telah menciptakan keduanya, laki-laki dan perempuan dari diri yang satu dan sama. Sungguh, kita tidak akan pernah bisa menyaksikan kehidupan sejahtera, tanpa kerja keras kita semua, laki-laki dan perempuan. Sungguh, kita tidak akan pernah bisa merasaka keadilan dalam hidup, jika tanpa keadilan untuk kita semua, laki-laki dan perempuan..)

Ada sekitar 40 orang dari berbagai latar belakang akademisi, NGO, filantropi, parlemen, duduk melingkar mengikuti desain meja rapat, sehingga kesan setara begitu kuat, karena tidak ada kesan pembeda antara nara sumber dan peserta. Dilengkapi dengan karpet bermotif kerajaan dominasi warna kuning, merah, biru dan hijau  menciptakan kehangatan melawan suhu 11 derajat yang sedang menyelimuti London saat itu. 

Kami, Prof. Azyumardi Azra, Kamala Chandrakirana, Badriyah Fayumi, Faqihuddin Abdul Kodir dan Ruby Kholifah, mendapatkan undangan spesial dari Prof. Mike Hardy, Executive Director, Centre for Trust, Peace and Social Relations, Coventry University. Forum kami ini dinamai Rising Women Ulama, bagian dari Global Rising Forum yang setiap tahun menyelenggarakan sejumlah event internasional dan menghadirkan orang-orang inspiratif. 

Seperti judulnya “Rising Women Ulama”, forum ini memang eksklusif berbicara tentang keulamaan perempuan Indonesia dan KUPI dari sudut pandang personal pada pembicara. Karena pembicara utama dari tim KUPI, maka kami harus membuat presentasi kami mengalir seperti cerita. Tidak tumpang tindih. Padat dan berisi. Disinilah kami dituntut untuk bersikap rendah hati dan memfokuskan pada bagian skenario masing-masing. Tidak gampang bagi saya pribadi melakukan itu, mungkin juga bagi yang lain, karena godaan untuk menceritakan kerja-kerja lembaga begitu kuat. Tapi tidak kali ini. Porsi kerja-kerja lembaga cukup sepertiga dari isi presentasi kami. Sisanya adalah cerita personal kami  dengan KUPI, konteks kekinian Indonesia, Islam Indonesia dan cerita perubahan pasca KUPI. 

Menjadi pembicara pertama tidak mudah. Meskipun ini bukan pertama kali presentasi di audien internasional, perasaan deg-degan masih ada. Dengan jatah 10 menit presentasi, saya benar-benar mengandalkan pada teks yang sudah dipersiapkan pada hari sebelumnya. Tugas saya adalah memberikan gambaran utuh tentang kondisi Indonesia dengan menekankan pada pencapaian gemilang pasca reformasi, khususnya pada kerja-kerja kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, tapi juga menjelaskan tantangan intoleransi yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Dan pada bagian akhir, saya menjelaskan tentang upaya AMAN Indonesia membangun ketahanan komunitas melalui peran perempuan interfaith. Presentasi dikunci dengan keterlibatan AMAN Indonesia dalam mendorong gerakan KUPI dan membangun jembatan ke dunia internasional. 

Berlatar-belakang santri dan studi Islam dari Syiria dan Malaysia, Faqihudin menekankan presentasinya pada pesantren yang meliputi kurikulum pesantren, sepak terjang pesantren dalam memproduksi wacana Islam dan kesetaraan gender, demokrasi dan kebangsaan. Kelahiran KUPI sarat dengan dinamika pesantren, disatu sisi menawarkan ruang demokrasi, di sisi lain menghadapi tantangan budaya patriaki yang kuat. KUPI dan pesantren tidak bisa dipisahkan. Melengkapi dua presentasi sebelumnya, Badriyah selaku pengasuh Pesantren Mahasina dan sekaligus ketua streering committee KUPI, memberikan penekanan pada isu keulamaan perempuan di Indonesia yang secara budaya dan sejarah mendapatkan tempat yang sama dengan ulama laki-laki. Mbak Bad, begitu panggilan akrabnya, merasa bahwa KUPI sebagai oasis dan jawaban akan frustasi dominasi ulama laki-laki pada otoritas teks keislaman dan juga fatwa yang cenderung merugikan perempuan. 

Mengikat tiga presentasi sebelumnya, Kamala Chandrakirana, aktifis perempuan yang aktif di dunia internasional, menemukan surga baru dalam kebersamaannya dengan KUPI, karena pandangan keagamaan (fatwa) yang dilahirkan oleh kongress April lalu bukan saja memberikan perlindungan pada perempuan, tapi juga menyuguhkan kedalaman khasanah dialetika pemikiran Islam yang mendalam melalui proses perumusan metodologinya. Berikut saya cuplikkan presentasinya: 

“….Through the national congress, Indonesian women ulama created a unique and unprecedented space for the production of religious opinions (fatwa), one based on deep conversations with women victims of violence and with their advocates in civil society, such as myself. For those of us whose efforts to attain equality and dignity for women have too often been dismissed as inconsistent with our religion, we found new haven among the women ulama who hold the conviction is that religious scripture must be interpreted in dialogue with the lived realities of women. “ 



KUPI memang fenomenal. Bukan saja karena fatwa yang dihasilkannya dari memblender suara korban perempuan, hukum positif nasional dan internasional, juga hukum Islam, tetapi juga sebagai wadah empowerment buat para ulama perempuan itu sendiri untuk secara kolektif. Dalam tanggapannya, Prof. Azyumardi Azra menunjukkan optimismenya bahwa Islam Indonesia bisa menjadi tauladan dunia muslim karena bangunan pondasi sejarah yang kuat untuk memberikan ruang berkarya ulama perempuan Indonesia. 

Saya sepakat dengan Prof Azra, karena jika dibandingkan dengan komunitas muslim di belahan dunia yang lain, dimana ruang ekspresi perempuan sangat kecil karena tafsir agama yang sempit serta peran para ulama (laki-laki) yang tidak mendukung kerja-kerja pemberdayaan perempuan. Professor Nishi Mitra vom Berg, Professor and Chair of the Advanced Centre for Women’s Studies, at the Tata Institute of Social Sciences, Mumbai, India, mengamini dengan menyuguhkan masih kuatnya pikiran ortodox berkembang di komunitas muslim India, dimana saat ini perempuan muslim India masih mengalami diskriminasi sebagai perempuan, muslim dan minoritas. Data Sensus 2011, populasi Muslim di India sekitar 71 juta, 60% perempuan yang banyak menikah di usia dibawah 18 tahun dan 50% perempuan muslim buta huruf. Prof. Nishi juga menambahkan bahwa perceraian terjadi hanya dengan pihak suami mengatakan “talak” tiga kali tanpa harus pergi ke pengadilan agama. 

Sebagai seorang aktifis perempuan yang mengenyam pengalamanan internasional, Saya semakin yakin bahwa Indonesia memiliki ruang demokrasi yang lebih baik. Ruang ekspresi perempuan muslim di Indonesia lebih luas. Contoh sederhana saja, perempuan Indonesia tidak memiliki halangan untuk beribadah atau sekedar masuk Masjid, sementara di banyak komunitas Muslim dilarang. Tanpa keterbukaan yang kita miliki, saya rasa juga sulit KUPI terjadi dan mendaptkan dukungan luar biasa dari berbagai pihak. Bahkan Kementerian Agama sendiri mendukung penyelenggaraan KUPI sekaligus menutup Kongress KUPI pertama. 

Tapi tentu saja berkembangnya fundamentalisme dan radikalisme di masyarakat tidak bisa dianggap remeh. Meningkatnya intoleransi yang ditunjukkan oleh berbagai lembaga survey dan maraknya hatespeech di media sosial, perlu diwaspadai karena berpotensi memecahbelah bangsa kita. 
Sayang sekali, forum sudah harus bubar pada pukul 13.00 waktu London. Rombongan KUPI dan para audien digiring ke ruang ramah tamah untuk makan siang sambil melanjutkan obrolan yang sempat terhenti karena ruangan akan digunakan untuk meeting berikutnya. Di acara ramah tamah inilah, kami memilki kesempatan untuk mengelaborasi lebih jauh lagi tentang KUPI dan juga lembaga masing-masing. 

Jangan dibayangkan makan siang seperti di Indonesia, dimana nasi dan lauk pauk tersedia lengkap. Tradisi makan siang di London dan kota-kota besar lain di Eropa dan Amerika, adalah makan cepat dan praktis. Nah…acara ramah tamah ini dimeriahkan dengan suguhan makanan koktails  yang lezat berbahan udang, ayam, daging sapi. Bagi yang belum pernah tahu bagaimana bentuk makanan cocktails, bisa digoogle saja. Intinya, makanan ini dibentuk kecil-kecil yang sekali kunyah dan telan. Meskipun bentuknya kecil-kecil, tapi karena berbahan padat sayuran, protein ikan dan daging, serta tepung, tentu saja mengenyangkan kalau mengkonsumsi sampai 20 biji. Saya menikmati model makan siang begini karena lebih fokus pada ngobrol pendalaman dengan berbagai pihak yang tertarik dengan kerja-kerja kita. Tanpa direpotkan dengan beratnya piring. 

Dari obrolan saya dengan para tamu, saya mendapatkan kesan bahwa KUPI menjadi harapan baru untuk membuka ruang dialog tentang otoritas keagamaan yang selama ini dikuasai oleh laki-laki. Pengalaman KUPI memberikan peluang bagi para pegiat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan untuk menciptakan ruang dialog antar negara. Saya optimis bahwa akan ada pergerakan ulama perempuan di belahan dunia lain, jika kerja-kerja KUPI disyiarkan lintas negara. 

Kira-kira 1 jam lebih ngobrol dengan para tamu, kamipun kemudian undur pamit dan melanjutkan untuk jalan-jalan mengunjungi spot-spot menarik yang ada di kota London. Ditemani Ibu Dubes, Hana Rizal Sukma (dulu waktu di Indonesia dipanggil Mbak Hana Satrio), pernah kerja di Asia Foundaiton sebagai direktur program, kami menyusuri kota London sambil bernostalgia tentang kerja-kerja pemberdayaan perempuan di Indonesia. Romantisme aktifis critanya. Saya sendiri ini kedua kalianya ditemani oleh Ibu Dubes menikmati London. Keramahan beliau luar biasa. Malamnya, Pak Dubes, Rizal Sukma mengundang semua delegasi untuk makan malam bersama dengan beberapa staf KBRI London. Makan malam keluarga yang luar biasa. Terima kasih Pak Dubes, Ibu Dubes dan kawan-kawan KBRI. Tetap menjaga budaya Indonesia di negeri Lady Diana. 

Kalian bisa membaca setiap presentasi yang kami buat pada link ini https://rising.org/rising-women-ulama/ .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar