Selasa, 13 Juni 2017

PENANGANAN RADIKALISME DI AUSTRALIA: SEBUAH REFLEKSI



(Refleksi Kecil Hasil Perjalanan Kunjungan Tingkat Tinggi ke Australia) 

Tulisan pendek ini merupakan hasil renungan selama menjadi bagian dari sebuah Kunjungan Tingkat Tinggi yang diselenggarakan oleh Kedutaan Australian untuk pemerintah dan CSO Indonesia. Sejumlah delegasi Indonesia yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil melakukan Kunjungan Tingkat Tinggi di Australian pada tanggal 27 Mei sampai 3 Juni 2017. Hadir dalam KTT tersebut adalah perwakilan dari Kantor Sekretariat Presiden, Kementerian Poliitk Hukum dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Bappenas, BNPT, Dirjend LAPAS, Kepolisian Republik Indonesia, PPIM UIN, Wahid Foundation dan AMAN Indonesia. Tujuan kunjungan ini secara umum adalah mempelajari kebijakan dan program penanganan terorisme dan radikalisme di Australia dari kaca mata pemerintah Australia dan masyarakat sipil yang bekerjasama menjalankan program pencegahan radikalisme. 
Pasca September 11 2001, sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB dikeluarkan diantaranya adalah Resolusi 1368 (2001) untuk memberantas segala bentuk ancaman perdamaian dan keamanan yang disebabkan terorisme, Resolusi 1373 (2001) tentang Counter Terorism Committee, Resolusi 1624 (2005) fokus ke media, CSO, sektor bisnis, pendidikan untuk perkuat dialog, promosi toleran untuk memperkuat lingkungan yang tidak kondusif untuk perkembangan terorisme, Resolusi 2122 (2013) pentingnya peran perempuan dalam CT, Resolusi 2178 (2014) penanganan pejuang asing dan perkuat pendekatan CVE, Resolusi 2242 (2015) leadership perempuan dan organisasi perempuan dalam mendesain CVE, Resolusi 2250 (2015) inklusifitas anak muda dalam pengambilan keputusan di semua level. Pada Januari 2016, Sidang Umum PBB mengadopsi a Plan of Action to Prevent Violent Extremism (PVE), yang mengadopsi pendekatan komprehensif bukan saja security based counter terorism measure tapi juga pencegahan yang mengintervensi drivers violent Extremism di semua level.

Meskipun PBB tidak pernah sepakat pada definisi CVE, tetapi perkembangan intervensi untuk memerangi terorisme begitu jelas tidak bisa dilakukan satu pendekatan saja. Kedua pendekatan untuk memerangi terorisme yaitu Countering Violent extrimism (CVE) maupun Preventing Violent Extrimism (PVE) diharapkan bisa melahirkan kebijakan dan program yang komprehensif dari merespon aksi teror sampai mencegah “condusives to condition” untuk berkembangnya terorisme, artinya pencegahan di segala lini akan dilakukan. Begitu uniknya nature of terorism dan akar masalah terorisme di sebuah negara, membuat PBB juga tidak membuat definisi yang paten untuk kedua pendekatan ini. Walhasil, kita bisa melihat kebijakan penanganan terorisme di berbagai negara beragam, baik pada pilihan strategi dan pendekatan, termasuk turunan intervensi teknis di lapangan. 

Indonesia sendiri mengeluarkan UU No. 15 tahun 2003 terkait Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setelah tragedi Bom Bali. Kemudian penanganan dilipatgandakan dengan membentuk agensi khusus bernama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memudahkan kordinasi antar semua aktor pemerintah yang merespon terorisme. Melalui Perpres No. 46 tauhn 2010 tentang pembentukan BNPT dan kemudian disempurnakan pada Perpres No. 12 tahun 2012. Ada tiga tugas pokok BNPT di Perpres No. 46 tahun 2010  pada pasal 2 yaitu:

Ayat 1: BNPT bertugas: 
a. menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; 
b. mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; 
c. melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk Satuan Tugas- Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. 
. Ayat 2 : Bidang penanggulangan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional. 
Dari ayat diatas kita bisa menarik tiga hal penting yaitu 1) kedudukan BNPT sebagai leading sektor untuk penanggulangan terorisme; 2) Peran kunci menyusun kebijakan, strategi dan program penangulangan terorisme dan 3) melakukan kordinasi dengan kementerian terkait untuk pelaksanan kebijakan dengan membentuk satuan tugas. Jika memang demikian, bagaimana kedua badan yaitu BNPT dan Satgas tidak overlapping tugas, apakah makna peran kordinatif itu seperti Menko? Kenyataan bahwa BNPT terdiri dari delegasi dari KL, maka apakah policy dan strategi yang dibuat oleh BNPT lantas juga akan dijalankan oleh KL? Lantas perlukah KL memiliki Desk khusus untuk CVE yang juga akan implementasi sejumlah kegiatan terkait dengan CVE sesuai tupoksi mereka? Saya harus berhenti disini karna ada banyak hal yang perlu diklarifikasi. 

Kunjungan ke Australia dimana saya mengikuti, bisa dijadikan momen untuk membandingkan model penanganan terorisme dengan pendekatan CVE. Saya tentu saya merasa beruntung dengan KTT ini karena bisa mendapatkan pembelajaran yang berbeda untuk bekal melakukan intervensi di lapangan. Berikut adalah beberapa hal kunci yang saya pelajari

PENDEKATAN CVE: BEHAVIORAL CHANGE V.S IDEOLOGICAL CHANGE

Violent extremism is the beliefs and actions of people who support or use violence to achieve ideological, religious or political goals. This includes terrorism and other forms of politically motivated and communal violence.  (Australian’s approach)


Behavioral change approach lebih condong dipilih oleh pemerintah Australia dibandingkan dengan ideological change. Behavioral change approach dipakai karena lebih muda didiagnosa, dan diarahkan pada pemahaman faktor-faktor psikologis, yang bisa menjelaskan atau memprediksi prilaku khusus seseorang. Konsekuensinya, kelompok-kelompok yang dikategorikan dalam “at risk” atau kelompok rentan memiliki kategori lebih ke rentan sosial. Mereka adalah yang memiliki persoalan mental illness dan memiliki kerentanan sosial seperti orang-orang yang merasa terisolasi, tidak merasa menjadi bagian dari masyarakat, pengangguran, terlibat dalam jaringan narkoba, anak-anak jalanan (bermasalah), dan berbagai kelompok tidak memiliki asosiasi kuat dengan masyarakat akan sangat rentan terhadap radikalisme. Ini bisa dihubungkan dengan banyaknya jumlah imigran tinggal di Australia yang memerlukan kemampuan beradaptasi dan lingkungan yang kondusif untuk memperkuat identitas seseorang sebagai bagian dari Australia tapi juga bagian dari pengikut sebuah agama tertentu. 

Australia melihat ada tiga area yang penting diintervensi kaitannya dengan violent extremisme yaitu pertama pada Kohesi Sosial, yaitu memperkuat dukungan pada social engagement, partisipasi di sekolah dan kerja, kebijakan kewarganegaraan, dan program-program mempromosikan budaya keberagaman. Kedua, Countering Violent Extrimism (CVE) yang mencakup upaya membangun faktor-faktor yang melindungi komunitas dan individu, menantang ideologi extrimisme, dan menyediakan program intervensi untuk individu. Ketiga adalah counter Terorisme yang meliputi, menggagalkan rencana bom, upaya fasilitasi, advokasi dan keuangan untuk terorisme, termasuk juga menghentikan orang pergi ke luar negeri terutama daerah konflik. 

Jika dilihat dari porsinya jelas porsi pencegahan jauh lebih besar. Sehingga ideological change hanya difokuskan pada program deradikalisasi. Saya rasa pertimbangan utama lebih pada karena Australia memiliki komitmen untuk melindungi freedom of ekspression, sehingga sejak awal, intervensi pada violent extrimism lebih diarahkan kepada hal-hal yang bisa diukur secara terukur. Maka mengapa mereka memilih pendekatan behavioral change, yang ukuran-ukuran psikologisnya bisa dibuat, misalnya perasaan membutuhkan atau dibutuhkan oleh keluarga dan lingkungan. 

PROGRAM INTERVENTION: TOWARDS COMMUNITY RESILIENCE AND SOCIAL COHESION 

Ketahanan Komunitas (community resilience) untuk menangkal radikalisme dan terorisme adalah jawaban jangka panjang. Sejak pertemuan dengan pemerintah Federal di Canbera pada hari pertama, dimana narasi social cohesion dan community resilience begitu kuat  muncul dalam percakapan. Gayung bersambung, narasi serupa juga begitu kuat oleh Pemerintah Lokal (New South Wales Goverment), Kantor Polisi Australia di daerah (AFP), dan Departemen Multikultural -termasuk The Point magazine, dan Islamic Council of Australia. Termasuk juga pertemuan dengan komunitas yaitu Youth off the Streets dan Banktown city Council, yang lebih konkrit lagi memberikan contoh bagaimana social cohesion dan community resilience diterjemahkan dalam program-program community safety net. Beberapa hal kunci yang dilakukan untuk mewujudkan community resilience dan social cohesion adalah;

Pertama, Baseline Data merupakan kunci dari intervensi Kebijakan dan program di Australia. Tampaknya negeri ini telah membudayakan menggunakan baseline data sebagai pondasi menetapkan kebijakan dan merumuskan intervensi program. Kerjasama dengan sejumlah universitas untuk membaca situasi awal terkait dengan terorisme dan akar masalahnya, dilakukan untuk memperkaya analisis pengambil kebijakan. Kerjasama dengan universitas juga dilakukan di tingkat pemerintah lokal. Dengan baseline data yang akurat, maka pemerintah lebih jernih untuk memutuskan kebijakan, strategi dan pendekatan penanggulangan violent extremisme. Termasuk membaca kapasitas komunitas yang harus dikembangkan untuk menekan “condusives to condition to terorisme” di setiap level. 

Kedua, Pendidikan merupakan tabungan jangka panjang untuk menghapuskan ekstrimisme keras. Hal yang pertama dilakukan adalah kontekstualisasi terminologi dengan kondisi lokal. Kerapkali, kita juga tidak harus menggunakan teriminologi CVE dan radikalisme jika ini menimbulkan resistensi di tingkat masyarakat akar rumput. Pemerintah lokal Sydney juga tidak memaksakan penggunaan terminologi ini. Istilah lain yang bisa dipakai adalah toleransi, meghormati yang berbeda, etc. Ada empat area kunci yang diintervensi oleh sekolah yaitu; 1) Strategi sekolah untuk membangun kohesi sosial. Ini berkaitan dengan bagaimana sekolah menanamkan nilai-nilai menghormati, merayakan hari-hari besar agama atau etnik, menimbulkan rasa "menjadi bagian" dari sekolah atau komunitas; 2) Performa nilai anak-anak; 3) mendukung program untuk anak-anak yang rentan. Misalnya anak-anak yang memiliki prilaku ekstrim, seperti berkawan dengan pengguna narkoba, masuk geng, dsb; 4) Rencana emergesi sekolah untuk memastikan bahwa anak-anak dilindungi oleh lingkungan yang sehat.

Reformasi sekolah juga melibatkan komite orang tua, serta memperkuat ketahanan komunitas. Program ini ditekankan pada mata pelajaran sejarah, dimana pembelajaran diversitas dan bagaimana menghormati yang berbeda menjadi agenda reformasi. Kurikulum juga diarahkan pada pembangunan cara berpikir kritis dan membentuk lingkungan kondusif untuk anak berpikir kritis. Memastikan seluruh kepala sekolah paham tentang bahaya terorisme dan radikalisme, maka mereka dibekali tentang pengetahuan CVE, diberikan Platform pemerintah, dan diberikan guidelines tentang indikator radikalisme. Dengan buku panduan tersebut maka diharapkan Jadi, membuat buku panduan tentang seputar isu radikalisme dan indiakatornya membantu sekali dalam hal 

Ketiga, Program Multikultural. Strategi yang dijalankan adalah membangun partnership dengan kelompok-kelompok di masyarakat melalui program COMPACT (community Partnership Action). Model yang dipakai adalah resilience based approach, dengan empat strategi yaitu kesiapsiagaan, pencegahan, response, dan pemulihan. Konsepnya mirip dengan disaster Risk reduction tapi dimodifikasi dalam konteks vulnerabilitas sosial. Secara operasional, pemerintah tidak kerja sendiri, mereka menggelontorkan sejumlah dana untuk membangun kerjasama dengan kelompok-kelompok di bawa dengan periode 1-4 tahun. Target mereka adalah antar kelompok ada trust dan komunikasi yang kuat satu dengan yang lain. Program ini meliputi kerjasama lintas sektor di masyarakat sipil diantaranya adalah;

  • Program youth sangat banyak sekali untuk mencegah youth memiliki perasaan "terisolasi", sehingga upaya membuka informasi tentang pekerjaan, termasuk asistensi new comer berpendidikan mendapatkan pekerjaan yang layak, serta menciptakan tempat bertanya bagi youth. Mreka juga membentuk youth think tank dan menggunakan soccer untuk menangkap narasi kegelisahan para anak muda di Australia, khususnya yang minoritas dimana mreka lebih rentan. 
  • Program community service. Pemerintah Australia juga memperkuat community services untuk anak-anak muda agar bisa memperbaiki bahasa (khususnya untuk imigrant), informasi tentang karir, dan hal-hal mendasar untuk bekal youth agar tidak merasa terisolasi atau tidak menjadi bagian dari komunitas. Disini sejak pagi aku mendengar bahasa community resiience terkonfirmasi dengan program-program mereka yang membumi.
  • Program kerjasama komunitas interfaith. Mendukung stabilitas nasional tanpa kehilangan identitas kelompok. Kami juga mengunjungi Islamic council of Australia. Mereka kumpulan dari berbagai organisasi muslim di Australia. Mereka menjalankan program-program di komunitas yang intinya memperkuat daya tahan anak-anak muda mulai bicara peluang pekerjaan, pemahaman agama, dan sebagainya. Intinya jangan sampai anak-anak muda kehilangan orientasi hidup mereka.
  • Program seni populer untuk memperkuat karakter anak muda. Tidak jauh berbeda dengan konsep yang dijalankan oleh Bankstown City Council (BCC), dimana pendekatan seni populer dianggap bisa menginternalisasi bahaya kekerasan yang terjadi pada anak-anak, sehingga menyelamatkan mereka dari kondisi rentan. Membangun safety net bagi komunitas khususnya memperkuat lingkungan yang kondusif bagi anak-anak muda imigran dianggap jauh lebih bisa menyelamatkan mereka dari pengaruh radikalisme. Saya terkesan dengan pendekatan seni yang mereka lakukan dimana anak-anak muda menggunakan pengalaman pribadi mereka terhadap kekerasan yang dihadapi sehari-hari di dalam rumah, lingkungan kampung dan sekolah, sebagai bahan materi untuk menciptakan puisi, lagu hip hop, dan berbagai karya seni. Ketika anak-anak menarsikan kembali cerita dan pengalaman mereka, disatu sisi mereka sedang internalisasi nilai pada dirinya sendiri, tapi juga sedang mengatakan pada dunia bahwa kekerasan membuka kerenanan pada anak-anak lebih mendalam.

Keempat, mengatasi backlash. Informasi di media atas penangkapan teroris sering menimbulkan backlash dimana komunitas melakukan protes. Pihak kepolisian biasanya menghubungi para pemangku kepentingan terutama tokoh-tokoh agama atau komunitas untuk memberikan penjelasan yang benar tentang penangkapan tersebut dan menjelaskan kemungkinan berita akan diplintir oleh media sangat tinggi. Sehingga tokoh agama2 bisa mengambil sikap positif yaitu menggelar press conference bersamaan untuk mengutuk tindakan terorisme dan mendukung kepolisian bekerja dengan profesional. Untuk itu, pihak kepolisian juga memiliki hubungn yang sangat baik dengan semua kelompok-kelompok di akar rumput. Termasuk mendukung penguatan kohesi sosial dan ketahanan masyarakat dengan banyak membuat program-program bersama yang promosi kekuatan multikulturalisme.

Media juga dioptimalkan untuk membangun empati publik dan meluruskan persepsi yang keliru. The Point magazine hadir dengan dukungan pendanaan dari pemerintah. Mreka mengangkat cerita dari para korban radikalisme dan terorisme untuk meluruskan persepsi publik tentang ideologi terorisme dan agenda mereka. Majalah ini juga dibaca oleh pemerintah sebagai pertimbangan kebijakan baru. Pendekatan mengangkat narasi cerita korban radikalisme mampu menyuguhkan alternatif narrative.

Kelima, disengagement v.s deradicalization.  Disengagement pada dasarnya bergelut dengan upaya untuk menghindarkan seseorang dari pengaruh radikalisme atau menghindarkan orang dari situasi yang kondusif ke arah radikalisme. Sementara deradikalization adalah menghilangkan derajat pemikiran seseorang dari pengaruh radikalisme. Disengagement sebagai program pencegahan dikerjakan dalam framework community resilience dan social cohesion. Tetapi dalam recovery dilakukan dengan memastikan akses pekerjaan, penerimaan masyarakat, partisipasi di komunitas, dll. Pada kenyataanya,  menghilangkan pikiran radikal dari diri seseorang sangat sulit, tetapi jika akses keadilan dirasakan oleh seseorang yang pernah terlibat, dan penegakan hukum dijalankan dengan konsisten, akar masalah terjawab, masyarakat menjadi tempat yang kondusif untuk perdamaian, maka kemungkinan besar seseorang bisa terhindarkan dari jangkauan radikalisme. 

Ke-enam, Penegakan hukum. Keterlibatan Kantor Jaksa Agung secara aktif dalam upaya CVE, mengindikasikan bahwa penegakan hukum adalah hal penting yang tidak bisa dihindarkan. Penegakan hukum ini termasuk juga berurusan dengan kenakalan remaja, yang dianggap pintu untuk masuk radikalisme. 

Ke-tujuh, Aktor Perempuan banyak terlibat. Mulai dari struktur pemerintah pusat sampai daerah, figur-figur perempuan begitu lekat dengan kerja-kerja CVE. Termasuk pada komunitas yang bersentuhan langsung dengan anak-anak muda. Agak berbeda dengan Indonesia, dimana BNPT didominasi oleh laki-laki. Hampir tidak ada perempuan pada  posisi strategi pengambil kebijakan. Bisa dibayangkan tentu tidak mudah melakukan maintreaming gender ke dalam kebijakan, stretegi dan program-program BNPT dan Kementerian terkait. 


FOLLOW UP 

Penanganan radikalisme setiap negara sangat bergantung dengan nature dari radikalisme itu sendiri. Kunjungan ke Australia memberikan kesempatan bagi pemerintah dan CSO Indonesia untuk melihat gab penanganan di tingkat Indonesia. Saya pribadi, ingin memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:


  1. Melakukan review (sejak kebijakan penanganan dijalankan) tentang sejauhmana kebijakan penanggulangan terorisme dan radikalisme bekerja dengan baik di tingkat lapangan. Review hendaknya dilakukan oleh universitas dengan metode penelitian standard agar diketahui objektifitasnya. Ini juga membuka ruang diskusi tentang studi-studi yang sudah banyak dijalankan oleh universitas dan masyarakat sipil untuk memotret proses radikalisasi di masyarakat, keluarga, sekolah, masjid, migrasi, dan lain-lain. Intervensi lain terkait dengan proses penindakan, program deradikalisasi di penjara, intervensi pasca penjara seperti reintegrasi, dis-engangement, dan rehabilitasi baik pada mantan terorist maupun pada keluarganya, termasuk dukungan long term program kepada korban radikalisme. 
  2. Memastikan RUU Terorisme yang sedang dibahas di parlemen benar-benar merefleksikan prinsip-prinisp penegakan HAM, maintreaming gender dalam semua aspek penanganan terorisme baik pada aspek penindakan, perlindungan dan pencegahan. Pemerintah seharunsya memastikan dukungan korban agar bisa dis-engage dengan jaringan radikal, memastikan korban bom mendapatkan akses rehabilitasi dan pekerjaan kembali (untuk mereka yang dalam kondisi disabilitas), memastikan penanganan deportan dengan mengkombinasikan pendekatan ideological change dan behavioral change terutama memastikan pemerintah menjawab akar masalah. Dukungan profesionalisme penanganan teroris di LAPAS serta keluarganya, termasuk memastikan kerjasama dengan CSO dalam mengawal proses reintegrasi, diengagement dan rehabilitasi keluarga ex-teroris ke masyarakat umum. RUU juga perlu secara eksplisit mendukung partisipasi CSO dalam penanganan terorisme dalam tingkat intevensi yang diperlukan. 
  3. Memperkuat dan memperjelas peran kordinatif BNPT sebagai leading sector untuk penanganan terorisme di Indonesia. Khususnya, membangun sinergi antara BNPT dengan Kementerian Lembaga dan Daerah untuk melakukan respon yang lebih transformatif.  
  4. Merumuskan Rencana Aksi Nasional (RAN) CVE/PVE sebagai wadah konsolidasi seluruh penanganan terorisme dan radikalisme di Indonesia, yang dikordinasikan oleh BNPT, dengan melibatkan CSO. Dalam perumusan ini, pemerintah penting untuk melihat seluruh dokumen global dan nasional terkait dengan penanganan terorisme. Terutama dokumen PBB a Plan of Action to Prevent Violent Extremism (PVE), yang mengadopsi pendekatan komprehensif bukan saja security based counter terorism measure tapi juga pencegahan yang mengintervensi drivers violent Extremism di semua level, dan resolusi terkait lainnya untuk memastikan semua komponen kunci dalam CVE terrefleksikan ke dalam RAN. Peting memberikan penekanan pada preventif jangka panjang dengan memastikan reformasi pendidikan berjalan di semua propinsi dengan platform dan guidance yang jelas oleh pemerintah pusat. Termasuk intervensi pada kerentanan sosial yang membuka pintu ke arah radikalisme.
  5. Mengeluarkan kebijakan kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil dalam penanganan terorisme dan radikalisme, agar kerja-kerja jangka panjang pada level penanganan deportan (deradikalisasi, diengagement, reintegrasi dan rehabilitasi), program pencegahan terutama menjawab kerentanan sosial dan kondisi intoleransi di Indonesia 
  6. Memaksimalkan peran Polisi untuk penanganan hatespeech, berita bohong dan backlash krena penanganan tindak terorisme dengan menggandeng tokoh-tokoh lintas agama untuk membangun wacana “terorisme itu kejahatan luar biasa”, sehingga menghindari munculnya sentimen negatif terhadap Islam. 

Saya juga ingin memberikan masukan kepada masyarakat sipil untuk melakukan beberapa langkah-langkah diantaranya adalah: 

  1. Melakukan review terhadap intervensi CSO terkait dengan isu radikalisme dengan melibatkan studi-studi yang telah ada untuk mendapatkan penjelasan. Membangun budaya membuat baseline intervensi berbasis pada studi atau riset, sehingga lebih mudah menentukan indikator sukses
  2. Memastikan RUU Terorisme mengunakan prinsip-prinsip HAM dan gender maintreaming, dan memperhatikan long term support untuk korban bom dan korban radikalisme yang lainnya, termasuk menciptakan situasi yang kondusif untuk toleransi terrefleksi ke dalam substansi dari RUU 
  3. Mengadvokasi kebijakan dan mekanisme partnership yang equal dan meaningful antara pemerintah dan CSO dalam penanganan terorisme dan radikalisme di Indonesia. CSO juga harus tetap menjaga dan memperkuat critical engagement CSO dengan pemerintah dalam segala level pengambilan kebijakan penanggulanangan terorisme 
  4. Mengadvokasi terbentuknya RAN terkait CVE sebagai satu konsolidasi dokumen terkait dengan penanganan CVE dalam konteks yang lebih komprehensif, termasuk merekognisi peran CSO dalam penanganan terorisme dan radikalisme 
  5. Bekerjasama dengan pemerintah lokal untuk memastikan transfer knowledge dari pusat ke daerah, terutama dalam hal membuat RAD yang fokus dan efektif untuk penanggulangan terorisme dan radikalisme di tingkat daerah 
  6. Mengembangkan Working Group on CVE sebagai platform bersama CSO untuk kerja-kerja di ranah CVE, bukan membuat lembaga baru, tapi lebih mengefektifkan WG sebagai forum bersama untuk melakukan update dan membangun pengetahuan terkait dengan CVE di Indonesia. Saat ini Working Group on Women and CVE telah dibentuk sebagai  forum bersama dimana perwakilan pemerintah dan non pemerintah yang menangani dampak radikalisme 

*** 
Disusun oleh Ruby Kholifah
dwiruby@amanindonesia.org 


1 komentar:

  1. Mungkin bisa dibikin peta idea, bagaimana perempuan khususnya dalam konteks Indonesia, yang masih dianggap sebagai korban, bisa terlibat dan atau dilibatkan dalam gerakan radikalisme dan terorisme di satu sisi, dan bagaimana perempuan juga bisa/harus dilibatkan dalam pencegahan dan konter radikalisme dan terorisme. Peta ini berguna untuk melihat dimana problemnya, apa tawaranya, apa yang sudah, apa yang belum, apa yang bolong perlu ditambal, dan apa yang jutru kedodoran.

    Pengalaman keterlibatan perempuan di Australia dalam segala level program preventif dan countering, untuk konteks Indonesia, masih perlu argumentasi keniscayaan di satu sisi, dan argumentasi efektifitas dan keberhasilan di sisi lain. Orang Indonesia, masih perlu diyakinkan dengan berbagai argumentasi, termasuk agama, untuk meniscayakan keterlibatan perempuan dalam kerja-kerja PVE dan CVE.

    Selamat Ruby, aku menikmati tulisanmu.

    BalasHapus