Sabtu, 29 Oktober 2016

Security Sector Partnership: Learning from Mindanau


“Kita telah memiliki ketrampilan mempertahankan negara dari invansi negara lain. Peacebuilding adalah skill baru kita membaca acaman internal,” Jenderal Frere (ret). Dia juga menambahkan bahwa saat ini Militer telah kehilangan pekerjaan. Artinya banyak pekerjaan yang dilakukan oleh militer bukanlah tugas utama mereka untuk melindungi negara dari invansi asing. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh pimpinan batalyon  Alberto, yang sangat yakin bahwa pendekatan perang untuk menyelesaikan konflik di Mindanaw dianggap tidak akan membawa hasil. Bukan hanya militer yang harus mengubah paradigma berpikir tentang penyelesaian konflik, NGO juga harus mengubah cara pandang dalam mendorongkan perdamaian, dimana pelibatan aktor kunci yaitu sektor keamanan baik dari aktor negara maupun non negara sangat penting. Formula ini yang dipakai oleh Balay Mindanaw, sebuah NGO yang lahir pada tahun 1996 di kota Cagayan De Oro (CDO). Melalui program Security Sector Partnership (SSP), Balay meyakini bahwa hanya dengan mengintegrasikan pendekatan perdamaian ke dalam sektor keamanan, maka peace talks bisa dimulai.



Tiga hari training yang diselenggarakan di aula Balay Mindanaw pada tanggal 4-6 Oktober 2016, melibatkan sejumlah perwakilan masyarakat sipil dan sektor keamanan dari Philipina, Bangladesh dan Indonesia. Saya sendiri bersama dengan Komisoner Polisi Evie Mahrita, Ketua HRD Polri, mewakili Indonesia dalam training sekaligus merancang intervensi ke depan untuk sektor keamanan.

SSP not SSR; Elemen kunci
Secara sederhana Security Sector Reform (SSR) adalah serangkaian kebijakan, rencana, program dan aktifitas yang dijalankan oleh pemerintah untuk meningkatkan keselamatan, keamanan dan keadilan. Meskipun tidak ada satu framework untuk SSR, tetapi beberapa lembaga seperti UNDP, OECD dan pemerintah Amerika dan Uni Eropa dan beberapa lainnya telah menawarkan konsep SSR. Ini artinya bahwa formulasi SSR tidak tunggal. Setiap negara dengan konteks yang khusus memungkinkan menghasilkan sebuah formula SSR.

Pengalaman Balay Mindanaw bekerja dengan sektor keamanan Militer, dilandasi oleh sebuah kenyataan bahwa konflik Mindanaw yang melibatkan kelompok revolusioner bersenjata dan militer, tidak bisa didekati dengan cara-cara biasa. Melibatkan sektor keamanan adalah harus. Maka sejak tahun 2005, mulailah upaya menggandeng sektor keamanan dimulai dengan training managemen konflik. Pilihan mendekati sektor keamanan  tentu saja bukanlah pilihan yang mudah bagi Balay Mindanaw karena kecurigaan muncul dari pihak pemerintah dan juga masyarakat sipil. Tapi, dengan mempertimbangkan bahwa akar masalah dari konflik Mindanaw yang bukan masalah security, tetapi masalah kemiskinan, distribusi sumber daya yang tidak adil, tata kelolah pemerintahan yang tidak akuntabel, marginalisasi masyarakat adat, dan pengangguran yang tinggi. Jika dilihat kelima sebab tersebut, tak satupun relevan dengan keberadaan militer. Tapi mengapa penyelesaian konflik justru malah dijawab dengan pengerahan militer. Ada sesuatu yang tidak benar.

Olehkarenanya, memahamkan aktor militer tentang bagaimana membaca konflik dengan lebih jelas sangat krusial. Dari forum 3 hari belajar dengan Balay Mindanaw, saya mendapatkan komponen-komponen kunci dalam melakukan SSP sebagai berikut;

Pertama terkait dengan penggunaan istilah. SSP (Security Sector Partnership) bukan SSR (Security Sector Reform). Istilah sangat berpengaruh pada penerimaan kelompok kunci. Reformasi bukanlah kata yang dianggap bernuansa positif. Jika reformasi dibutuhkan artinya sebuah lembaga memang ada yang tidak beres. Tetapi kata partnership lebih menyiratkan positif, meskipun di dalamnya sendiri menuntut sebuah reformasi. Tetapi semua pihak merasa lebih setara dan menuju pada perubahan positif.

Kedua, Mengapa managemen konflik bukan peacebuilding? Framing isu penting dalam bekerja dengan sektor keamanan. Dalam konteks Mindanaw yang masih bergejolak, pintu masuk peacebuilding sangat tidak strategis. “Militer tidak mengenal kosa kata perdamaian, karena yang dia hadapi hanya perang dan konflik. Maka mengganti kata peacebuilding dengan conflict management lebih strategi, dimana dalam conflict management mencakup analisis konflik, analisis aktor-aktor, analisis trend isu, analisis potensi damai, dan skill resolusi konflik diantarnya adalah dialog, mediasi dan negosiasi.

Ketiga, menghubungkan antara akar masalah dengan relevansi peran militer dalam menghentikan konflik. Jika dilihat dari akar masalah konflik mindanaw dimana lebih mengacu pada ketimpangan sosial dan politik, maka penyelesaian yang paling relevan adalah dengan menggunakan pendekatan sosial dan politik. Bukan dengan senjata. Munculnya kelompok revolusioner karena ketimpangan ekonomi, politik dan sosial. Mereka mengangkat senjata karena suara mereka tidak terlalu nyaring untuk didengarkan sampai  ke Manila. Jika senjata dipakai untuk melawan senjata tanpa mengetahui akar penyebab perlawanan, maka pertumpahan darah terus terjadi. Membukakan mata aktor militer terhadap akar masalah konflik, akan membantu mereka untuk sedikit demi sedikit mengesampingkan senjata untuk menyelesaikan konflik.

Keempat, memahamkan tugas utama sektor keamanan. Ini juga bagian penting membantu membuka cara pandang yang lebih terbuka dari sektor keamanan. Di Philipina, tentara bertugas untuk mempertahankan teritori negara dari serangan asing yang ingin menguasai. Ini yang membuat Jenderal Frerrer mengalami dilema dan kemudian bersedia belajar langsung dari Balay Mindanaw. Melalui tangan dingin beliau dan keterbukaan dan kerendahan hati, training-training tentang menajemen konflik dimulai untuk semua prajurit yang ada dalam batalyon dibawah beliau. Kehadiran pemimpin batalyon dengan narasi yang sama menjelaskan tentang reformasi program-program militer, membuat saya kagum dan sangat yakin bahwa jika tidak ada political distraction maka program SSP ini akan bisa sustain. Karena pemimpin lapisan dua dan tiga sudah disiapkan untuk melanjutkan agenda reformasi dengan sangat baik. 
Kelima, institusionalisasi mekanisme monitoring multi stakeholders untuk memastikan bahwa agenda kemitraan sektor keamanan dijalankan dengan serius. NGO menjadi salah satu aktor penting yang memberikan laporan dan penilaian baik dan buruk implementasi program-program yang telah disepakati untuk mendorong proses perdamaian dan perubahan pendekatan dialog pada penyelesaian konflk Mindanaw. Laporan tahunan dirilis untuk melihat performa kerja militer. Yang baik diapresiasi dan yang kurang baik dikritisi. 
Framework of SSP

Tidak ada single model framework reformasi sektor keamanan. Balay Mindanaw mengembangkan model ini berangkat dari pengalaman konflik mindanaw. Model ini juga dipengaruhi oleh sejarah perlawanan di negeri ini. Ada 4 pilar utama dalam SSP diantaranya adalah Mengajarkan perdamaian, Menghormati HAM Internasional, dan Melibatkan diri dalam proses perdamaian, dan SSR dan pembangunan. Ke empat pilar ini dicangkokkan ke dalam rencana internal sektor keamanan yang disingkat IPSP (Internal Peace and Security Plan), sebuah Platfom baru yang menekankan tetang penegakan hukum HAM dan International Humanitarian Law, akuntabilitas dan keterlibatan sipil dalam reformasi sektor keamanan. (http://www.bantaybayanihan.org/who-we-are-main/manifesto/) 

Untuk memastikan IPSP bekerja dengan maksimal, sebuah jaringan bernama Bantay Bayanihan (BB), yaitu sebuah oversight body, yang bertugas melakukan monitoring implementasi IPSP. Ini merupakan sebuah jaringan 150 organisasi masyarakat sipil dari berbagai penjuru di Philipina yang dibentuk untuk memonitor implementasi IPSP Bayanihan yang menjalankan ketentuan dari international Humanitarian Law, melakukan validasi capaian kerja IPSP Bayanihan, dan membuat rekomendasi. Jaringan ini juga dipakai untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dengan aktor kunci di pemerintah dan sektor keamanan, seperti the Philippine National Police (PNP); policymakers from the Department of National Defense (DND), Department of the Interior and Local Government (DILG), Office of the Presidential Adviser on the Peace Process (OPAPP), and the National Security Council (NSC); and legislators from the House of Representatives and the Senate. BB juga dipakai untuk memfasilitasi institusionalisasi kemitraan aktif pemerintah dan masyarakat sipil. 

Yang unik dari model SSP ini adalah pada mekanisme oversight body  bernama Bantay Bayanihan (BB) dimana masyarakat sipil memerankan peran penting dalam memonitor implementasi agenda reformasi yang disepakati oleh sektor keamanan bernama IPSP. Di Indonesia, meskipun SSR telah lebih maju yaitu 1) Memisahkan Polisi dari institusi militer. Mengembalikan fungsi militer pada external security dan polisi untuk internal security; 2) Memaksa personel militer untuk memilih jalur karir sipil atau militer; 3) Dwi fungsi ABRI diganti asas tunggal TNI; 4) membuat monitoring body seperti Kompolnas untuk memonitor kerja-kerja polisi; 5) maintreaming gender dengan membentuk unit perlindungan perempuan dan anak; 6) Merekrut lebih banyak polwan untuk tackle unit PPA; 7) kebijakan-kebijakan mendukung arah reformasi TNI dan Polisi, dsb. Tetapi sebuah oversight body seperti Bantay Bayanihan tidak exist. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar