Senin, 16 Mei 2016

Women and CVE: Exploring and Integrated Approach that Bridges Security, Development and Human Rigths

Resolusi 2242 adalah resolusi terbaru Dewan Keamanan PBB yang diterbitkan pada tanggal 15 Oktober 2015, pada saat 15 tahun peringatan pelaksanaan Resolusi 1325. Ini adalah resolusi satu-satunya yang menghubungkan situasi perempuan dengan perubahan konteks global, dimana isu extrimisme yang juga berdampak serius pada gender-based violence. Kedua, resolusi ini juga menyerukan pada negara anggota PBB untuk mengintegrasikan agenda perempuan, perdamaain dan keamanan dengan counter-terrorism dan countering-violent extremism. Juga dibahas pentingnya mengintegrasikan gender sebagai cross-cutting issues dalam strategi counter terrorism. Untuk mengkonkritkan bagaimana pendekatan multilateral berkontribusi secara praktikal dalam pelaksanan perempuan, perdamaian dan keamanan dan PVE/CVE. Misi Permanen Australia bersama dengan the Global Center on Cooperative Security dan the Institute of Inclusive Security menyelenggarakan sehari workshop pada tanggal 28 April 2016, dengan tema “Womenand Countering Violent Extremism (CVE): Exploring and Integrated Aproach that Bridges Security, Development and Human Rigths” di kantor Misi Permanen Australia, New York. Pada tanggal 29 Mei 2016, Misi Permanen Lituania juga menyelenggarakan workshop serupa di kantor UN ruangan 6 dengan tema yang tidak terlalu berbeda. 

Laporan ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana debat terkait dengan perempuan, perdamaian dan keamanan dihubungkan dengan konteks global tentang PVE/CVE. Juga keinginan untuk mencari pendekatan praktikal memaintreamkan gender ke dalam Counter Terrorism (CT) maupun PVE/CVE.  

CVE/PVE: Berangkat dari Pengalaman Perempuan Akar Rumput
Bagaimana wajah integrasi perempuan perdaamain dan keamaan dengan PVE/CVE? Bagaimana CSO memainkan peran penting di negara dimana isu ini relevan? Bagaimana menyampaikan perbedaan peran anak laki-laki dan perempuan? Untuk membantu menjelaskan pertanyaan ini, tiga perwakilan CSO yang bekerja dalam bidang pemberdayana perempuan dan CVE/PVE dihadirkan, mereka adalah Sureya Roble-Hersi, dari Maendeleo Ya Wanawake di Kenya, Ruby Khalifah dari the Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Idayat Hassan, dari Centre for Democracy and development di Nigeria. 

Dalam pembukaannya, baik Inclusive security maupun Global Center memberikan penekanan pada pentingnya untuk tidak terjebak dalam instrumentalisme perempuan ketika membincang perempuan dalam extremisme/terrorisme. Ini seharusnya sudah bisa bergerak ke aksi bukan lagi wacana. ALison sendiri merasa terminologi dipakai seperti Countering Violent Extremism (CVE), Preventing Violent Extremism (PVE) dan Countering Terrorim (CT) buat beberapa orang agak membingungkan, tetapi pekerjaan di tingkat bawah tidak ada bedanya. Dan CSO telah melakukan proses countering pemikiran extrimist maupun teroris sejak lama. 

Sureya dari Kenya juga membenarkan statemen ini. Dalam presentasinya, Sureya memberikan penekanan bahwa CSO telah banyak memainkan peran strategis dalam hal countering extremism bahkan sejak bergabung dengan Sister Beyond Borders (SBB), yang beranggotakan jutaan orang, tiga strategi utama CVE telah dijalankan seperti penguatan kemandirian masyarakat, capacity building dan advokasi kebijakan. Kenya juga telah melaunching NAP 1325. Sayangnya pemerintah Kenya tidak menunjukkan keseriusan dalam upaya CVE. Padahal dampak yang terjadi luar biasa. Banyak ibu yang kehilangan anak-anak mereka karena direkrut oleh kelompok extrimist. Belum lagi kegagapan pemerintah untuk merespon anak-anak muda yang dikembalikan dari kelompok radikal atau extrimist. Mereka tidak mendapatkan program rehabilitasi dan para ibu juga tidak mendapatkan dukungan. Saat ini di Kenya 70% keluarga dipimpin oleh perempuan, dan  kebanyakan para pemuda yang direkrut oleh kelompk radikal/extrimist berasal dari keluarga ini. Saat ini tantangan terbesar adalah bagaimana mengontrol usia pernikahan dibawah umur karena jumlahnya banyak dan berdampak negatif pada perempuan. 

Di konteks Indonesia, Ruby Khalifah menjelaskan bahwa negara memberikan respon terhadap masalah security khususnya terorisme dengan UU No. 5 tahun 2003, tentang penghapusan Tindak Kriminal Terorisme, UU No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kriminal Pendanaan Terorisme, Pembentukan Densus 88, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan satu lagi produk nasional yang bisa dipakai untuk merespon keamanan perempuan yaitu RAN Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3AKS). Ruby juga menjelaskan bahwa kelompok-kelompok extrimis di Indonesia beragam dan memiliki karakter dan aksi sendiri. Yang membuat mereka mirip adalah tingkat soliditas dan upaya keras di tingkat basis untuk melakukan perekrutan. Kini di Indonesia, dua ruang perkontestasi adalah akar rumput dan media sosial paling menyita perhatian dimana kelompok-kelompok radikal melakukan proses perekrutan dan ideologisasi. 

Perempuan juga tidak hanya dijadikan target dalam konteks CVE/PVE, tetapi juga pelaku dengan berbagai peran diantaranya adalah rekruter, pendukung suami, agensi dan juga peace builder. Mengenali peran mereka masing-masing sangat penting untuk bisa melakukan proses intervensi. Pengalaman AMAN Indonesia sendiri di akar rumput untuk memperkuat communty resilience adalah dengan memperkuat para perempuan sebagai recruiter untuk perdamaain dan toleransi. Ajaran Islam sebagai rahmatanlilalamin, Islam respek HAM/HAP/HAN. Dengan sekolah perempuan perdamaian, 4 tahun pendidikan perdamaian berbasis komunitas yang diselenggarakan seminggu sekali, membekali para perempuan akar rumput untuk pengetahuan tentang Islam rahmatanlil’alamin, hak-hak perempuan, pembangunan perdamaian dsb. Di nasional, melakukan advokasi hak-hak minoritas dan penguatan jaringan CSO untuk advokasi kolektif di isu perempuan, perdamaian dan keamanan melalui instrumen global seperti Beijing Platform for Action, Resolusi 1325, dan Sustanable Development Goals (SDGs). Perempuan menjadi agent utama untuk perdamaian karena mereka memiliki kemampuan kolektif, dan mereka memiliki komitmen tinggi, serta tradisi berbagi ke suami dan anak tinggi, sehignga mempercepat proses transformasi sosial. Hanya dengan memperkuat perempuan akar rumput, maka kita bisa menandingi militansi kelompok extrimis. 

Idayat Hasan dari Nigeria membuka presentasinya dengan pertanyaan “apa yang berubah? orang atau karakter perdamaiannya? Kasus Bukoharam di Nigeria salah satu bentuk ancaman bagi gadis-gadis dan orang tua disana. Banyak orang mendukung kelompok extrimis karena menginginkan kekuasaan. Perempuan dijadikan instrumen perang untuk saling menunjukkan kekuasaan. Pihak pemerintah Nigeria, menekan Boko Haram dengan menculik perempuan-perempuan anggota keluarga orang-orang yang terlibat dalam kelompok Boko Haram. Dibalas dengan penculikan perempuan-perempuan dari kalangan kristen, dan istri-istri pejabat pemerintah. Sebagian gadis-gadis yang diculik juga dipakai untuk sicide bombing dan kegiatan terkait dengan terorisme. 

Asosiasi terorist dan Islam sangat kuat di Nigeria. Juga di negara-negara lain di dunia. Gender Based Violence sangat tinggi menimpa perempuan baik di posisi kelompok extrimist maupun di kelompok non extrimis. Para perempuan yang tergabung dalam masyarakat sipil anti teroris membuat semacam suport group untuk perempuan korban penculikan atau aktifitas extrimisme. Mereka juga membuat counter narative tentang ajaran Islam yang diasosiasikan denga jihad dan menggunakan kekerasan. Kini NAP 1325 telah disahkan dan juga Nigeria terlibat kampanye He for She, bagaimana ini bisa mendorong securitizing dan instrumentalizing perempuan. Belum lagi persoalan korupsi yang tidak bisa dilepaskan sendiri.

Apa yang harus PBB lakukan untuk merespon fenomena tersebut di atas? Pertama, terorisme dan extrimisme telah menjadi trend global, penting untuk diintegrasikan ke dalam pelaksanaan resolusi 1325. Karena ini menyangkut persoalan keamanan perempuan. Di tiga konteks seperti Kenya, Nigeria dan Indonesia, tampak jelas bahwa perempuan kalau tidak dijadikan instrumen terorisme, mereka dijadikan target keamanan. Kedua, dokumentasi tentang perempuan bekerja untuk CVE perlu dilakukan karena ini merupakan basis dari pengetahuan untuk menundukkan ekstrimisme dengan melibatkan peran perempuan secara signifikan. Ketiga, distribusi pendanaan untuk masyarakat sipil menjadi penting. Mengecilnya sumber-sumber pendanan masyarakat sipil terutama dalam context CVE. 

Tantangan yang ada yang muncul dari diskusi sebagai berikut; 1) terminologi yang dipakai saat ini diantaranya adalah CVE, PVE, terorisme, radikalisme dan fundamentalism. Semuanya mengarah pada satu kelompok yang mempromosikan kekerasan sebagai jalan untuk meng-address agenda politik negara Islam. 2) Mencari alternatif istilah yang bisa diterima oleh konteks lokal misalnya yang dipakai di Pakistan adalah Creating tolerance of diversities or tolerance and diversities. 3) Sistem pendidikan nasional juga seharusnya merespon ini dengan serius dimana kurikulum harus menjadi pilar penting menanamkan ideologi tanpa kekerasan . Juga pendidkan keluarga menjadi tombak paling penting untuk menanamkan ajaran agama yang lebih toleran dan mempromosikan non kekerasan. 4) Aliran dana dari kelompok wahabi dan juga kelompok extrimisme. Dengan mengetahui aliran dana meraka maka kita akan tahu seberapa besar usaha yang dijalankan dari model ini. 5) Pemerintah harus menyediakan dukungan untuk pembela HAM untuk melakukan pekerjaan-perkerjaan preventif dan pemberdayaan, serta untuk mempermudah pengurusan visa bagi perempuan untuk travel dalam rangka membagi pengalaman hidupnya. 

Pengalaman Pemerintah Nasional dalam CVE/PVE 

Sesi ini difokuskan pada pengalaman negara seperti Bosnia-Herzegovina, Norwaygia dan Pakistan dalam merepon trend global tentang extrimisme dan terorisme di tingkat nasional. lebih khusus lagi menggunakan kebijakan perempuan, perdamaian dan keamanan. 

Ankica Tomic, dari Head of Department for international cooperation, secrtor for internation and eupeacn internation, ministry of security Bosnia and Herzegovina memberikan penekanan dalam presentasinya sebagai berikut. Pertama, tentang pentingya resolusi 1325 yang telah diadopsi dalam kebijakan nasional di Bosnia pada tahun 2010.Ini karena resolusi 1325 tentang perempuan, perdamaian dan keamanan secara fokus membincang tentang konsep keamanan dalam perspektif manusia, dimana persoalan keamana tidak boleh dipisahkan dengan persoalan personality, lingkungan, radikalisasi pada perempuan. Saat ini, Bosnia telah mempersiapkan Local Action Plan (LAP) untuk lebih memfokuskan penurunan rencana aksi nasional dalam konteks konflik di tingkat lokal. Sayangnya, resolusi 1325 sendiri tidak memuat isu terorisme dan ekstrimisme sehingga tidak memiliki platform yang cukup untuk menjawab concern bersamaa ini. Tentu saja ini tidak cukup jika hanya memperbanyak posisi perempuan di sektor keamanan, tetapi juga penting memastikan minoritas dalam sektor keamana yang jumlahnya sudah mulai meningkat.

Marita Sorheim Rensvik , kordinator WPS dalam KEmenterian luar negeri Norway, memberikan update tentang komitmen Norwaygia terhadap implementasi resolusi 1325. Termasuk untuk integrasikan PVE/CVE ke dalam pelaksanaan NAP 1325, dimana Norway menjadi salah satu promotor. Pemerintah Norway juga mendukung sebuah kelompok bernama SANAM Network untuk memfokuskan pada pengumpulan informasi tentang perempuan dan CVE. Dengan komtimen penuh Norway mendorong agar trend global terkait  CVE/PVE dapat terintegrasikan ke dalam perempuan, perdamaian dan keamanan . Dukungan yang cukup besar adalah memberikan pendanaan pada research center untuk banyak melakukan penelitian atau studi tentang ekstrimisme, gender, islamophobia dan juga film dokumenter. Terkait dengan keuangan maka pendanaan program WPS bisa diperluas untuk mengcapture masalah PVE/CVE. Strategi CVE nroway juga dianggap kurang gender persepktif, tetapi meski demikian di dalam diskusi luasnya gender perspektif begitu kuat. Sederhananya, gender perpektif sudah jadi roh,meski tidak eksplisit dituliskan. Ini karena masyrakar Norway sejak 1960 telah berusaha untuk memainstremkannya, setelah penemuan minyak besar-besaran maka mempermudah mereka untuk tetap menjaga perspektif gender dalam semua aspek.


Sehar TAriq, Pakistan countri representaive, US Institute Peace, memberikan gambaran bagaimana program ini diimplementasikan di konteks Pakistan. Resolusi 1325 tentang WOmen, Peace and SEcurity (WPS) sendiri dianggap problematik dan ditolak oleh pemerintah Pakistan. Tetapi isu tentang PVE/CVE bisa menjadi entry point membincang tentang WPS di Pakistan. Strategi jitu lain adalah membuka ruang dialog terkait dengan hubungan antara PVE/CVE dengan WPS, karena pada kenyatanaanya adalah pelaksanaan pelaksanaan program terkait dengan terorisme sangat kecil melibatkan perempuan. Meskipun telah ada NAP Countering Terrorism (CT), tetapi tidak dibincangkan dalam perspektif perempuan. Untuk upaya membuka ruang-ruang dialog, US Institute of Peace memberikan grant sejumlah samai 10.000 untuk program inovatif. Ini diperuntukkan buat anak-anak muda yang memiliki kesulitan pendanaan tetapi memiliki ide-ide kreatif bagaimana membuka ruang dialog sesuatu yang dianggap kotroversial. 

Tantangannya meliputi; 1) bagaimana menempatkan hasil diskusi ini sebagai rekomendasi ke Sekjend PBB untuk memaintreamkan perspektif perempuan dalam CT dan membuat strategy intervention terkait dengan CVE/PVE. 2) memfasiltiasi dialog yang meaningful agar peningkatan pemahaman tentang konflik dan ketegangan yang sedang dirasakan bisa mendapatkan ruang untuk mendiskusikan dan mencari solusi bersama 3) HLP meeting harus memberikan mandat pada perempuan di UNSCR untuk mentacle isu ini. 4) dukungan dana untuk kelompok perempuan dalam menjalankan PVE/CVE, 5) menemukan strategy yang cerdas untuk menchallenge konstruksi patriakis. Misalnya Permainan Kriket dilakukan oleh anak-anak perempuan di Pakistan membongkar paksa pemahaman bahwa perempuant idak boleh di publik. Ini juga membuka ruang diskusi luas di masyarakat tetapi juga membuka cara berpikir baru meskipun tanpa melalui sebuah debat. 6) akses pendanaan juga seharusnya dibuat semudah mungkin agar lembaga CBO dan NGO yang dipimpin perempuan juga bisa akses dengan mudah.

Agensi PBB dalam merespon PVE/CVE 
Sesi ini memberikan klarifikasi pada agensi PBB tentang bagaimana strategi dan pendekatan yang dipakai oleh masing-masing agensi PBB yaitu UN Women, Kesehatan seksual dan reproduksi, NGO working Group, UNDP, dan Counter TErrorism Section itu sendiri. Bagaimana cross cutting CVE/PVE ke dalam program-program intervensi.



Nahla Valji, Deputy Chief on Peace security of UN Women, menjelaskan bahwa persoalan extrimisme dan terorisme tidak cukup hanya direspon menggunakan resolusi 1325 PBB tentang WPS, bahwa kenyataannya banyak perempuan dijadikan instrumen dalam radikalisasi baik sebagai bagian dari aksi teror maupun sebagai korban. Olehkarenanya, penerbitan resolusi 2242 pada Oktober 2015 memberikan guidance speficik tentang CT dan CVE yang dianggap tidak banyak melibatkan perempuan, sementara laporan dunia menunjukkan bahwa perempuan dijadikan instrumen oleh kelompok-kelompk teroris dan extrimism. Dalam dokumen UN resolusi 2242 juga dijelaskan bagaimana media dan teknologi menjadi bagian penting dipakai oleh kelompok ekstrimis. UN Women sendiri saat ini memfokuskan pada studi global tentang CVE/PVE untuk melakukan mapping global partner yang tepat. Saat ini studi dilakukan di Afrika, negara-negara arab. UN women juga memberikan dukungan pada pelaksanaan NAP 1325 dan mendorong membuat NAP untuk CVE yang lebih berperspektif gender. Disamping itu, juga penting melakukan penguatan tentang program prevention dan resolusi konflik . 

Manel Stambouli, Associate programme officer, ffce of the SRSG on sexual violence in conflict memberikan data-data konkrit tentang bagaimana extriisme dan terorisme berdampak pada gender based violence pada perempuan. Resolusi 2242 dan hubungannya dengan resolusi 2253 yang bicara tentang eksploitasi, dan perlakuakn apda anak-anak telah dibicarakan oleh UN secara terkordinasi. tetapi ketika di level negara, banyak kasus negara tidak memiliki expert yang secara langsung dealing dengan isu tersebut. Manel juga merekomendasikan bahwa bekerja dengan para pemimpin agama juga sangat penting dalam program CVE, termasuk akan membantu dealing dengan para pelaku. Dibutuhkan sebuah investasi serius perlindugnan korban dan dukungan jangka panjang terkait dengan masa depan korban dan anak-anak yang dilahirkan dari kasus extrimisme dan terorisme. 

Louise Allen, Executive ordinator, NGWO working group on WPS memberikan opini yang sama bahwa CVE tidak bisa dipisahkan sendiri. Perlu dicantolkan dengan konsep pencegahan konflik yang lebih luas, memberikan penekanan pada sebab-sebab dari konflik, mempromosikan hak-hak perempuan, freedom of religion, dan memberikan perhatian pada pembela HAM karena mereka dalam posisi yang serba dianggap bahaya, baik oleh teroris maupun oleh pemerintah sendiri. Banyak laporan menunjukkan bahwa pembela HAM dikriminalisasi oleh pemerintah sendiri dan mendapatkan perlakuan kasar. Olehkarenanya penting untuk membincang isu ini dalam kerangka yang lebih luas dimana CT dan VCE seharusnya secara sistematis bisa melibatkan perempuan dan anak perempuan dan sebuah strategy yang matang bisa diformulasikan oleh negara dengan melibatkan perempuan 

Jehangir Khan, perwakilan dari section CT PBB. Tidak ada sebuah pendekatan tunggal yang dipakai oleh PBB untuk merespon CT, yang ada adalah memaksimalkan segala bentuk approach untuk bisa secara efektif melakukan CT. Konsep global CT yang berjalan 10 tahun hanya memfokuskan pada pendekatan kemaanan, dan rencana aksi yang ada tidak sesuai dengan pelaksanaanya. Olehkarenanya aksi rencana CT itu sangat membosankan. Ada 78 rekomendasi salah satunya adalah stratey CT dan strategy prenventive. Tidak ada strategy yang bisa meng-address root causes. Sementara saat ini, terorisme generasi kedua, banyak menggunakan anak-anak sebagai target mereka. Khan juga menjelaskan bahwa secara nyata ISIS dan DAIS dianggap mampu memberikan alternatif realitas dimana mereka bisa terlibat. Ditambah dengan penggunaan internet, media dan teknologi membuat semakin strategis pola komunikasi dan rekrutment mereka. Tidak ada pilihan lain di UN saat ini kecuali melibatkan perempuan dalam meramu strategi terbaru untuk CVE. Harus ada sebuah perombakan yang serius dalam meng-address tentang persoalan CVE yaitu maintreaming gender di dalamnya, menggunakan pengalaman SDGs/MDGs, mengurangi retorika dan melakukan banyak aksi dengan memberikan dukungan konkrit pada aktor-aktor di lapangan yang sedang melakukan program preventive kepada terrisme. Perlu dipastian bahwa isu terorisme bukanlah dominasi negara-negara tertentu saja tetapi ini menjadi global trend yang harus direspon secara bersama.

Anne-Chris Visser, Legal Officer dari CT kembali memberikan penekanana bahwa strategi CVE yang ada sangat gender blind. Kita harus menyadari bahwa kelompok teroris selangkah lebih maju dimana mreka sudah melakukan aksi, kelompok progresif masih membicarakan isu ini. Tidak perlu harus semua program mengatasnamakan pada CVE, tetapi penting bahwa memastikan program pemberdayaan perempuan dan demokratisasi merespon akar masalah dari CVE. 

Nika SAeedi, dari UNDP memberikan sudut pandang berbeda melibat CVE dengan pendekatan pembangunan. Bahwa selama ini UNDP telah melakukan berbagai projek untuk meng-address root causes dari persoalan ekstrimisme. Sebagai Agensi PBB, kelebiahan UNDP adalah bisa mendekati pemerintah dan juga masyarakat. Apakah PVE/CVE mengharuskan sebuah pendekatan berbeda? Ini tidak cukup didekati dengan bicara pada leader negara saja, tetapi mengharuskan sebuah kolaborasi antar pemerintah. 

Lea Biason, policy gender officer dari Keamanan UN, memberikan penekanan pada pentingnya keterlibatan polisi dalam CVE dan maintreaming gender yang lebih kuat. Selama ini segala bentuk training utuk polisi telah dilakkan di berbagai negara dan termasuk di departmene kepolisian UN sendiri. Tetapi bagaiaman mengatur bahwa para polisi yang telah ditraining ini mendapatkan tugas di lapangan.Khususnya bagi perempuan masih sulit karena tidak cukup role model polisi perempuan yang memiliki kriteria yang diharapkan. Tetapi kini juga mulai ditemukan dengan pendekatan memberikan award pada polisi perempuan berprestasi. 

Tantangan terbesar adalah bagiamana forum multilateral akan melahirkan sebuah kebijakan operasional terkait dengan peran perempuan dalam CVE/PVE dan memastikan representative perempuan ada dalam forum pengambilan kebijakan. Di tingkat nasional, bagaimana memastikan bahwa upaya untuk meng-address CVE/PVE benar-benar mendapatkan dukungan banyak pihak, termasuk kemudahan akses bagi CSO. Ketiga adalah strategi konkrit untuk integrasi ke dalam 1325, dan akhirnya memastikan bahwa reframing CVE lebih ke arah gender equality daripada ke araah security, karena cakupan gender equality lebih luas sementara kalau masuk ke security saja akan didekati dengan securitisasi perempuan atau instrumentalisasi perempuan. Menjadikan CVE sebagai pintu masuk meng-address persoalan gender based violence pada situasi konflik karena GBV yang pelakukan personel militer sering berakhir dengan impunitas.

***
Pada workshop yang diselenggarakan oleh Permanent mission of Lithuania dimana tiga pembicara yaitu Suraya dari Kenya, Marita dari Norway dan Ruby Khalifah dari Indonesia membuka lebih jauh tentang program-program di basis dan memberikan peran yang lebih strategis pada permepuan untuk terlibat dalam program PVE/CVE. Workshop diselenggarakan pada tanggal 29 April 2016 di Ruang VI di kantor UN di New York. Diperkirakan 200 peserta hadir dalam workshop tersebut karena ini merupakan workshop pertama dalam membahas lebih khusus tentang peremuan dan CVE, belajar dari pengalaman lapangan. 

Duta besar Lituania membuka dengan pesan dimana tingginya angka anak-anak gadis yang diculik dan direkrut oleh para teroris, perbudakan seks, perempuan dipaksa dan disituasikan sebagai agent yang aktif untuk melakukan recrutment, mendukung dan termasuk suicide bomber. Workshop diharapkan bisa memberikan momen untuk refleksi tentang apa yang terjadi menimpa perempuan dalam trend global dunia ekstrimisme dan terorisme dan memikirkan solusi yang tepat. Workshop juga diharapkan bisa menjadi tempat konsolidasi sumber daya untuk mendukung upaya di akar rumput terkait dengan PVE/VCE, dan akhirnya mellaui workshop diharapkan bisa melakukan konsolidasi yang efektif antara agencies untuk merespon CVE secara bersama.

Suraiya Kenya sangat percaya diri bahwa meskipun pemerintah Kenya tidak banyak melakkan respon terhadap terorisme dan ekstrimisme, tetpai CSO di basis telah banyak melakukan kegiatna-kegiatna mengcounter keberadaan terorisme yang melakukan propanganda. Tidak ada perubahan ketika permepuan dibincangkan dalam berbagai framework, termasuk CVE dimana mereka tetap korban empuk dari para ekstirmist. Di kenya penyebab dari munculnya violent Extrimisme adalah politik yang tidak sehat, persepsi salah terhadap ajaran agama, dan radikalisasi dalam keluarga. Tantangan terbesar adalah bagaimana otorisasi tafsir agama bisa dimiliki oleh orang kebayakan bukan hanya ulama atau orang-orang tertentu. Perlu ada external push untuk mendorong keterbukaan ruang ijtihad. 

Marita Sorheim, perwakilan dari kementerian luar negeri Norway kali ini memberikan penekanana pada resolusi 2242 untuk mendorongkan integrasi CVE ke dalam WPS. Marita juga memberikan pembenaran bahwa pelibatan agamawan sangat penting. Dia juga mendorong agar NAP terkait degnan CVE atau deradikalisasi dibuat dengan membuka keterlibatna publik yang lebih luas dan tetap memberikan dukungan besar pada program penguatan leadership perempuan. Dokumen UN perlu diterjemahkan dalam bentuk praktis. 

Ruby Khalifah memberikan background tentang divesitas Indonesia dan diversitas pada kelopok radikal. Dalam kesemaptan ini, Ruby banyak membincang tentang best practice dari Indonesia bekerja dengan kelompok agamwan dan melahirkan banyak sekali referensi terkait dengan hak-hak perempuan dalam islam. Ruby juga mendorong agar intervensi CVE / PVE juga memperhatikan dua battle yaitu grass root dan media. Di sanalah kontestasi ideologi terjadi, sehingga penting membuat pasukan pioner perdamaian untuk membentengi masyarkat dari bujuk rayu para kelompok yang menyakini ajaran Islam yang mengarah ekstrimisme. 

Rekomendasi dari forum ini adalah 1) Bekerja di grassroot tidak bisa disangkal adalah penting dalam menjalankan program CVE/PVE, 2) Menghubungkan selalu program CVE/PVE dengan program pemberdayaan perempuan karena meskipun terlihat baru, tetapi akar persoalan sama. 3) memperbanyak dukungan untuk melakukan dokumentasi pada peran perempuan agar wacana CVE/PVE tidak maskulin. 4) Memastikan dukunga pada CSO. 5) Intevensi jangka panjang pada pendidikan, bagaimana memaintreamkan perspektif non violence dan agama yang humanis ke dalam kurikulum sekolah. 6) memastikan CSO dan pemerintah bisa bekerja secara bersama untuk CVE/PVE

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar