Selasa, 29 Maret 2016

Countering Extremism is Eliminating VAW?

Ketika saya mengikuti kelas tentang Islam di luar kampus, disanalah saya ditunjukkan film dokumenter tentnag kondisi orang muslim di negara-negara lainnya. Setelah itu saya menjadi sangat gelisah dan tidak tahu harus bicara pada siapa tentang kemarahan dan kegelisahan saya. Tidak mungkin diskusi dengan orang tua. Sementara dorongan untuk pergi jihad juga begitu besar.” 
Sebuah testimoni meluncur deras dari mulut seorang perempuan muda lulusan salah satu universitas terbaik di Birmingham. Aminah, saya menyebutnya, tentu saja bukan nama sesungguhnya, salah satu perempuan muslim di UK yang sangat terinspirsi untuk melakukan jihad. Artinya masih banyak perempuan-perempuan lain yang baik secara sadar maupun dipengaruhi cukup keras oleh pasangan mereka untuk melakukan jihad ke syiria, bergabung dengan ISIS. Hidup di sebuah negara yang memiliki penegakan hukum yang kuat dan komitmen jelas negara untuk melindungi warga negaranya, termasuk jaminan sosial dan pendidikan yang baik, tidak menjamin seseorang untuk tidak tergerak hatinya untuk menerima panggilan “jihad” kelompok ISIS. 

Mengacu pada testimoni Aminah yang kami lihat dalam kunjungan ke sebuah jaringan perempuan muslim ternama, Muslim Women Network (MWN) di Birmingham, UK pada tanggal 15 Maret 2016, membuka mata kita secara jelas bahwa penyebab extremisme tidak bisa dijastifikasi dengan satu single faktor saja. Apalagi kalau itu dikerucutkan pada aspek agama. Kasus Aminah begitu jelas menggambarkan bahwa ruang kritis dan reflektif sangat diperlukan bagi setiap orang yang sedang mencari identitas diri. Terbukanya informasi saat ini dan terbukanya akses media, satu sisi dapat mempercepat akses informasi termasuk ajaran agama. Namun juga mengandung risiko jika informasi tidak jalan. 
Di UK, perekrutan di kampus-kampus juga marak dilakukan oleh Hisbuth Tahrir, yang masuk dalam kategori non violent extrimism, dimana pemerintah juga masih bingung memposisikan diri. Meskipun telah jelas-jelas kelompok ini menyebarkan paham konservatif dan bahkan dalam AD/ART mereka begitu jelas menyebutkan tujuan mereka adalah pembentukan khilafah. Namun tak jua ini cukup dijadikan alasan untuk melarang organisasi ini. Ini karena pemerintah sendiri sangat hati-hati untuk tidak terjebak menggunakan secara sembarangan Hate Crime Law dan juga tidak ingin membatasi freedom of expression.
Program hotline berjudul “Domestic Violence Kills” yang dilaunching MWN cukup efektif bisa menangkap fenomena ini. Meskipun hotline ini tidak diperuntukkan sama sekali untuk kepentingan deteksi dini extremisme, tetapi tanpa sengaja pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan ini memberikan clue pada MWN untuk melacak lebih jauh tentang keterlibatan perempuan dalam extremisme, terutama yang dipaksa oleh suami. Shaista, salah satu anggota board MWN, sedang melakukan penelusuran dan pendataan pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya yang memiliki hubungan dengan extremisme. Jika dilhat dari data statistik dimana pada tahun…  300 orang bergabung jihad ke syiria, tentu saja ini perlu menjadi concern bersama. Terutama gerakan perempuan yang belum cukup menyiapkan stategi counter untuk masalah ini. Sementara kecenderungan jihad ini dilakukan bersama dengan keluarga. Perempuan dan anak dipaksa untuk mengikuti “mimpi surga” ini.  
Pendekatan personal, menciptakan ruang yang aman dan nyaman buat perempuan untuk berbagi, tidak menghakimi, menjadi kawan yang terbuka tapi tetap kritis, bisa menggoyahkan keputusan “jihad” Aminah. Menurut Shaisa dalam kondisi gamang Aminah merasa bahwa pertemanan dengan MWN membuatnya merasa nyaman. Terutama dalam hal respek dan kritis terhadap pandangan-pandangan konservatifnya, tetapi dalam bingkai pertemanan konstruktif bukan permusuhan. Rupanya ini yang membuat Aminah begitu terkesan dan mau sedikit melemah dan akhirnya membatalkan rencana jihadnya ke Syria. 
Tingginya immigran dari Afrika, Middle East dan Asia membuat negara ini harus merespon secara serius isu Female Genital Mutilation (FGM), Vagina Cutting, dan tentu saja isu ekstremisme yang juga melibatkan perempuan dan anak. MWN sendiri tetap memasang hotline mereka sebagai pelacak keterlibatan perempuan dan remaja muslim dalam jihad, baik secara mandiri maupun secara bersama dengan keluarga mereka. 
The Feast (thefeast.org.uk), sebuah lembaga nir laba di Birmingham, memiliki strategi unik untuk mencegah extremisme pada anak-anak muda. Mereka membuat sebuah program dialog antar agama yang dipercaya mampu memtransformasi cara pandang anak-anak muda terhadap agama. Ada tiga hal yang disasar oleh the Feast yaitu memfasilitasi pencarian anak-anak muda tentang agama, membangun pertemanan dan mengubah hidup. Berbeda dengan model dialog antar agama yang lainnya, The Feast tidak menggunakan media perantara bicara tentang agama. Tetapi lebih secara terbuka  mengajak anak-anak muda untuk secara terbuka berdialog tentang agama mereka. Pertanyaan-pertanyaan diajukan oleh fasilitator dikemas bertingkat untuk memancing anak-anak muda berbicara tentang ajaran agama yang mereka pahami. Ini mirip sekali dengan pendekatan Structure Reflective Dialogue dimana sebuah dilaog dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan reflektive tentang sebuah pemahaman. 
aya sangat tertarik dengan prinsip-prinsip dialog yang  mereka kembangkan diantaranya adalah: 1) Mendengarkan apa yang disampaikan orang lain, 2) Jujur dengan apa yang kita sampaikan,3) Menghormati cara pandang orang lain, meski kita tidak setuju, 4) tidak memperlalukan orang sebagai nara sumber, 5) tidak mengatakan apa yang kita yakini, tetapi lebih membiarkan apa yang mereka yakini, 6) mengenali  perbedaan dan persamaan dari agama-agama, 7) tidak menghakimi apa yang orang lain yakini, 8) tidak memaksa orang lain untuk bersetuju dengan pandangan kita, 9) berusaha untuk bergaul dengan siapapun. Dengan 9 prinsip yang ada, tantangannya adalah pada isu konversi agama, dimana seseorang tertarik dengan agama orang lain dan ketakutan orang tua akan pemaksaan teradap satu agama. Kehawatiran ini dijawab dengan antusiasme anak-anak muda yang mereka paska gathering justru mendorong mereka untuk belajar lebih mendalam tentang agama mereka masing-masing. 
Upaya untuk membangun understanding terhadap agama-agama orang lain juga giat dilakukan oleh sebuah Rumah Kolaborasi (Collaboration House),  dimana beberapa organisasi yang berbasis pada keimanan menyatukan diri dalam sebuah kerja-kerja kolektif.  Kunjungan singkat di rumah kolabrasi pada tanggal 14 Maret 2016, memberikan gambaran singkat tentang bagaimana kelompok-kelompok keagamaan di London merespon isu extremisme. Rumah Kolaborasi ini selain dipakai sebagai rumah perjumpaan lembaga-lembaga yang concern pada agama, juga dipakai sebagai strategi untuk melakukan fundrising dana publik untuk mendukung aktifitas dialog dan sosial di kelompok-kelompok agama. Keberadaan rumah kolaborasi semakin krusial karena sejumlah peristiwa seperti bom di Paris, 911 di TwinTower USA, dan sejumlah tragedi lain yang berdampak pada merebaknya Islamofobia  dan juga membuat tensi hubungan muslim dan non muslim. 
Extremisme memang bukan isu satu-satunya, tetapi bahwa isu ini mengemuka paska berbagai peristiwa teror yang dilakukan oleh kelompok yang secara terang-terangan menggunakan agama sebagai tameng. Pendekatan pencegahan lebih banyak diambil oleh Rumah Kolaborasi karena dianggap lebih sustain dan realistis. Berbagai jenis gathering yang mempertemukan orang-orang berbeda iman bukanlah hal yang mudah. Pendekatan dari pintu ke pintu sering dilakukan untuk mengundang orang untuk berdialog baik itu yang bersifat sosial mapun teologi. Bukan hanya kelompok muslim yang mengalami tantangan distrust pada model dialog antar agama, tetapi kelompk kristiani juga mengalami kendala yang sama. Ini situasi kebanyakan masyarakat antar agama dimana mereka hidup bersama dan berdampingan tapi tidak berbicara satu dengan yang lain. Untuk menarik perhatian masa, pendekatan dengan layanan kesehatan termasuk kesehatan mental, dan pendidikan.
Elemen lain yang juga menjadi perhatian dalam kunjungan adalah media sosial. Meskipun tidak seperti Indonesia, dimana pengguna media sosial begitu besar, di UK medsos juga cukup strategis dipakai untuk membangun counter narasi. Sebut saja Mediastage, sebuah program training untuk komunitas dan masyarakat sipil untuk memperkuat kapasitas kampanye melawan extremisme. MediaStage meletakkan riset dan asesmen sangat penting dalam proses asistensi CSO untuk memproduksi model kampanye yang menarik publik. Riset ini dipakai untuk mengidentifikasi kebutuhan kelompok atau individu yang akan menerima training dari mereka. Riset juga dipakai untuk memperdalam profile beneficiaries. Intinya, MediaStage hadir untuk memberikan asistensi pada strategi media social, melakkan analisis konten pada medsos, melakukan komunikasi efektif antara pembaca dengan nara sumber, indetifikasi audiensi, managemen kampanye dan sebagainya. 
Extremism; Strategy to Challenge
Tujuan utama dari kunjungan exchange ini selain untuk mengenali pekerjaan masyarakat sipil terkait dengan counter terrorisme dan ekstremisme, juga memberikan kesempatan pada peserta program yang bernama Islamic Voice Exchange Program (IVEP) untuk mendalami strategi counter extremeisme pemerintah UK. Dihadiri 10 delegasi dari Malaysia  (Global Moderate Muslim, ABIM, Lecutre University Malaysia, dan Muslim Progressive Values), dan Indonesia (WAhid Institute, Maarif Institute, Prasasti Perdamaian, Kantor Presiden dan AMAN Indonesia)Pada pembukaan program yang dilakukan pagi 14 Maret 2016, beberapa staf yang bekerja di bidang counter terrorisme dan extremisme memberikan gambaran komprehensif terkait dengan concern pemerintah. Ada empat strategi yang dipakai oleh pemerintah UK diantaranya adalah:
Countering extremist idelogy, yaitu sebuah intervensi yang menggunakan counter tafsir  yang dianggap lebih terbuka, untuk melawan tafsir konservatif yang dipakai oleh para jihadist. Tentu saja tafsir baru ini tidak hanya ditujukan pada muslim,tetapi penting juga bagi publik untuk mengetahui tentang diversitas pemikiran dalam Islam. Space online, sekolah, universitas adalah ruang-ruang penting untuk diintervensi. 
Building a parnerhsip with all those opposed to extremism, strategi ini ditujukan untuk memperkuat kemitraan baik di nasional dan internasional untuk melakukan counter extremeism dengan cara-cara yang inovatif. Pemerintah UK sendiri menyediakan dukungan bagi masyarakat sipil yang membutuhkan peningkatan kapasitas terutama di bidang media dan kampanye.
Disrupting extremists, bersinggungan dengan kontestasi term extremisme yang dipakai bersandingan dengan kata radikalisme, teorisme dan juga fundamentalisme. Jika dilihat dari cara orang mengaddress masalah ekstrimisme dengan cara mempromosikan toleransi, sebenarnya memang karena root causes nya hampir sama. Beberapa pendekatan yang dipakai diantaranya adalah perbaikan pada legislasi misalnya terkait dengan kejahatan kebencian, perlindungan warga negara, dan melindungi kelompok vulnerable. 
Building more cohesive communities, terkait dengan upaya pemerintah UK untuk menjaga keutuhan dalam diversitas dimana kedatangan pada imigran di negara ini, sedikit banyak melahirkan banyak pengangguran dan berpotensi kerawanan. Salah satu pendekatan yang dipakai adalah memastikan bahwa penguasaan bahasa Inggris pada semua warga negara diharapkan bisa mengurangi kesalahpahaman dalam  komunikasi. Pemerintah UK juga serius dalam memerangi praktek FGM dan pemaksaan dalam pernikahan. Kerja-kerja untuk  melibatkan masyarakat umum dalam proses perencanaan intervensi program. 
Untuk menjalankan semua strategi ini, sebuah divisi analisis extermisme yang berbasis pada riset dan kajian sangat krusial menompang kebijakan-kebijakan pemberantasan extremisme pemerintah. Divisi ini melakukan identifikasi mendalam tentang individu, organisasi dan jaringan atau sektor yang dianggap berpotensi menyebarkan paham extremisme. Mereka juga menggunakan jairngan luas tokoh agama, aktifis, otoritas lokal,akademisi untuk terlibat dalam proses identifikasi dan analisis yang lebih maksimal. Merespon tentang Hisbuth Tahrir, ini menjadi bagian yang saat ini dilakukan riset untuk mempejelas posisi HTI dan bagaimana pengaruhnya mendorong extremisme. 
Tantangan terbesar dalam menjalankan program counter extremisme adalah; Pertama,Kuatnya faktor-faktor yang bersifat melindungi, dimana bukan saja pada law enforcement tetapi juga pemenuhan kebutuhan basic hidup warga negara dan jaminan perlindungan sosial menjadi hal penting untuk dilakukan karena ini bagian dari akar masalah munculnya ekstremisme. Kedua, non violent extremisme perlu diletakkan dalam kerangka yang tidak merusak freedom of expression, tetapi juga dalam hal kewaspadaan. Misalnya keberadaan Hisbuth Tahrir yang meresahkan banyak orang karena menyebarkan paham konservatisme, belum bisa mendorong pemeirntah UK untuk melakukan tindakan tertentu. Ini karena tidak ada konsep dan strategi yang jelas dalam merespon non violent extremism. Tidak juga di Indonesia. Malaysia memiliki definisi yang cukup luas tentang extermisme yang juga mencakup tindakaan ideologisasi yang mengarah pada extremisme. 
Ketiga, kerangka kerja counter extremisme juga harus melihat dari perspektif gender. Contoh yang kita temukan dari pendampigan MWN di Birmingham jelas menunjukkan bahwa gerakan extremisme menggunakan perempuan untuk melakukan proses rekrutment dan juga kampanye. Mimpi menjadi perempuan muslim yang sesungguhnya diprotret dengan image yang dekat sekali dengan tafsir agama. Olehkarenanya maintreaming gender dalam proses penanganan extremisme menjadi hal penting sekali, karena extremisme berdampak berbeda pada perempuan.
Perjalanan exchange program ini membuka refleksi mendalam pada cara pemerintah menjalankan strategi counter extremisme yang berbeda dengan cara penanganan praktek kekerasan terhadap perempuan. Kita semua tahu bahwa data PBB menunjukkan bahwa setiap 1 detik, ada 5 perempuan yang menjadi korban kekerasan, adalah sebuah realitas yang ditanggapi “biasa” oleh banyak pemerintah. Padahal bagi perempuan ini merupakan teror karena secara mental dan psikis menyebabkan akses perempuan pada publik terhambat dan rasa aman yang terpasung. Namun, mengapa strategi penanganan kekerasan terhadap perempuan tidak seheboh penagnanan terorisme atau counter extremisme? ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar