Selasa, 25 Agustus 2015

N-Peace Indonesia Annual Meeting

Tujuan dari pertemuan tahunan N-Peace 2015 adalah selain sebagai pertemuan rutin tahunan anggota N_Peace. Pertemuan ini juga dimaksudkan untuk meneguhkan peran jaringan N-Peace dalam mengawal implementasi RAN P3AKS. Pada pertemuan tahunan sebelumnya, N-Peace telah memberikan update rutin terhadap perkembangan RAN 1325 pada anggotanya. Kali ini, N-Peace diharapkan bisa memainkan peran penting untuk mengadvokasi pelaksanaan RAN 1325 di daerah. 

Acara ini diselenggarakan atas kerjasama dengan Kementerian Desa, UNDP dan N-Peace. Dalam pembukaannya Dr. Suprayoga Hadi - Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, memberikan penegasan bahwa RAN P3AKS ini bisa dipakai untuk konsolidasi upaya memperkuat pemberdayaan perempuan di daerah konflik dan penguatan partisipasi perempuan. Pak Yoga berjanji akan berkordinasi dengan kementerian yang menjadi leading sektor, yaitu d kementerian kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Nurina Widagdo, representasi UNDP di Indonesia juga mengekspreskan kesungguhannya dalam mendukung N-Peace sebagai jaringan yang bisa memperkuat peran perempuan di perdamaian. 

Tidak seperti jaringan lainnya, peran UNDP sebagai fasilitator jaringan ini, membuat N-Peace memiliki kekuatan kordinatif yang kuat untuk mendatangkan perwakilan dari tiap daerah, dari Aceh sampai Papua. Kalau pada tahap pertama, N-Pece ditekankan pada penguatan kapasitas perempuan perdamaian, N-Peace Award, dan N-Peace Strategic Guidance Group. Pada tahap kedua, N-Pece lebih ditekankan pada leadership perempuan, advokasi dan coalition building. Ketiganya juga diberlakukan di Indonesia. Salah satunya adalah Training on mobilizer (TOM) yang dilaksanakan back to back dengan pertemuan tahunan N-Peace yaitu pada tanggal 5-7 Agustus 2015. Dan untuk mendukung upaya advokasi pembentukan RAD di 3 daerah, yaitu Sulawesi Tengah, NTT dan Ambon, maka TOM juga akan dijalankan di ketiga daerah tersebut. 

DAlam petemuan tahunan N-Peace, update nasional dan daerah juga difasiltasi dalam bentuk diskusi panel. Update perkembangan perogram dan inovasi baru di tingkat kementerian dishare oleh Kementerian Dalam Negeri (Masykur), Kementerian PMK (Marwan Syaukani) dan Kementeria PPPA (Sri Winarsih). Yang perlu digarisbawahi dalam diskusi panel ini adalah; Pertama, kerentanan damai masih tinggi di Indonesia, kegagalan pemerintah dalam mengelolah perbedaan menjadikan kondisi damai berpotensi kolep kembali; Kedua, UU PKS No. 7 tahun 2012 disandingkan dengna CEDAW, dan Resolusi terkait untuk mendorong penyelesaian konflk dengan cara efektif dan saat ini pemerintah sedang menggagas satu sistem penanganan cepat kekerasan terhadap permepuan melalui sms center; ketiga, RAN P3AKS adalah aturan untuk mendorongkan penguatan peran perempuan dalam penyelesaian konflik dan melindungi korban kekerasan seksual dalam konflik. 

Pemerintah melalui Kementerian Desa dan Bappenas kerjabareng dengan UNDP juga mengembangkan model kerjasama regional bernama South South Triangular Cooperation (SSTC), dimana Myanmar menjadi target utama dalam kerjasama ini. Update dari


Kementerian Desa (dr. Suprayoga), Bappenas (Tb Chosni), Konsultan UNDP (Valentina). Update terkait dengan SSTC sebagai berikut; Pertama, kerjasama SSTC dilakukan sebagai bagian dari amanat konstitusi untuk terlibat dalam perdamaian dunia; kedua, SSTC dengan Myanmar difokuskan pada pembangunan kapasitas kepemimpinan perempuan dalam pembangunan perdamaian, ketiga; Kerjasama juga akan mensharing pembelajaran terbaik di lapangan dimana peran perempuan sangat kuat dalam menjalankan program Peace Through Development (PTD). 


Meskipun RAN P3AKS baru dilauching di daerah, dan saat ini baru 6 propinsi yang telah mendengar informasi terkait dengan RAN P3AKS ini yaitu Aceh, Bengkulu, Gorontalo, Jawa Timur, Ambon dan Maluku Utara dan beberapa daerah telah bersiap-siap untuk membuat RAD. Tetapi penting untuk mendengar berbagai upaya dan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memperkuat program pemberdayaan perempuan. Misalnya di Gorontalo, Perda untuk perlindunga human rigths defender disahkan. Belum jelas apa nama Perdanya. Di Sulteng, Walikota Palu membuat Perda untuk korban 65 dan sekaligus meminta maaf. Di Aceh, perlindungan perempuan dan anak perempuan juga dituangkan dalam beberapa Qanun seperti Qanun No. No.6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan turunannya, dan produk turunannya. Hampir semua program oleh perwakilan pemerintah Bengkulu, NTT, NTB, Maluku, tidak memberikan skup yang spesifik pada konteks konflik sosial atau vertikal. Olehkarenanya penting untuk memastikan bahwa RAN P3AKS akan memberikan kerangka yang lebih jelas dan membedakan mana program-program yang dirancang untuk pemberdayaan perempuan secara umum, dan mana yang secara khusus dirancang sesuai dengan mandat Resolusi 1325. 

Begitu strategisnya N-Peace sebagai jaringan nasional yang bisa mempertemukan antara aktifis,maka penting membuat rencana tindak lanjut untuk N-Peace Indonesia berbedah untuk menjalankannya.

Pertemuan selanjutnya N-Peace untuk workshop Strategic planning untuk merumuskan kerangka kerja N-Peace Indonesia di nasional dan daerah, terkait dengan upaya mengawal pelaksanaan RAN /RAD (memastikan ada alat ukur/indikator keberhasilan)
Annual meeting kedepan sebaiknya dimulai dengan pengantar dan barinstorming untuk perkembangan situasi nasional dan daerah, yang dilanjutkan dengan evaluasi perkembangan program dan perencanaan turunan agenda tahun berikutnya.

  1. Jaringan N – Peace melanjutkan peningkatan kapasitas dan peran strategis perempuan-perempuan perdamaian dalam semua lini
  2. Jaringan N - Peace Indonesia, sebagai salah satu jaringan perempuan perdamaian di Indonesia diharapkan menjadi lebih mandiri dengan pengelolaan jaringan di lead oleh CSO, dimana memfasilitasi.
  3. Jaringan N _ Peace juga perlu mengkoleksi dokumen dari negara-negara lain, juga konvensi internasional terkain UNSCR 1325
  4. Perlu melihat isu-isu persoalan baru (general 30 dan 32) , seperti stateless people yg mengalami kekerasan berbasis gender


Training Advokasi dan Mobilisasi 
Perempuan, Perdamaian dan Keamanan atau biasa disingkat WPS berbeda dengan Resolusi 1325.  Begitu ekspert dari Inclusive Security, Emmiki Ross memastikan kita semua paham. Bahwa memang benar apa adanya kalau Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 berisi tentang perempuan, perdamaian dan keamanan dimana secara historis dilatarbelakangi oleh kondisi peperangan dan konflik kekerasan yang mengorbankan banyak orang sipil, terutama perempuan. Sayangnya, perempuan yang terdampak langsung oleh konflik dan perang, justru absen dalam meja perundingan formal. Perdamaian dibincangkan dengan perspektif laki-laki. Sementara WPS sendiri beyond Resolusi 1325. Artinya bahwa ada instrumen internasional lain yang juga membahas tentang WPS seperti Beijing Platform for Action (BPFA) membahasnya dalam isu kritis Perempuan dan Konflik Bersenjata, Rekomendasi Umum CEDAW No. 30 tentang perempuan dan konflik, lalu yang terbaru framework global sustainable development (SDGs) membahasnya dalam gol 16 tentang Masyarakat Damai dan Institusi yang Efektif. Kesemuanya itu membahas tentang konsep besar WPS. 

Kembali pada Resolusi 1325, dimana ada 3P yang menjadi pilar pentingnya yaitu Perlindungan (Protection), Pencegahan (Prevention) dan Partisipasi (Participation). Perlindungan adalah segala bentuk perlindungan korban konflik termasuk di dalamnya adalah penegakan hukum untuk korban kekerasan seksual dan pelanggaran HAM lainnya, kontrol peredaran senjata, Indeks keamanan perempuan, data base kasus kekerasan seksual termasuk jumlah penyelesaian kasusnya. Pencegahan meliputi penguatan deteksi dini konflik dengan memperkuat data base dan laporan periodik tentang kekerasan seksual, pelanggaran HAM dan SOP sektor keamanan yang responsif gender. Pilar partisipasi menekankan pada keterlibatan perempuan dalam pembangunan. Dan ada 1 elemen lagi yang recovery dan rehabilitation. Tabel berikut memberikan isu-isu kunci dalam setiap pilar dalam 1325. Dalam analisis yang pernah saya buat, hampir semua elemen dalam 1325 diadopsi ke dalam RAN P3AKS, meskipun ada beberapa yang tidak dicantumkan karena dianggap tidak relevan dengan konteks Indonesia. Komponen Security Sector Reform (SSR) tidak ada dalam RAN P3AKS, tetapi baru dikuatkan dalam rencana strategis kementerian pertanahan, kepolisian. 

Tabel Indikator resolusi 1325 yang diadopsi ke dalam RAN P3AKS, yaitu:

Perlindungan;
i.14 Indeks Keamanan fisik perempuan dan anak perempuan 
i.15 Hukum nasional yang melindungi HAM Perempuan dan anak sesuai standard Internasional 
i.16 tingkat partisipasi perempuan dalam sektor peradilan dan Keamanan 
i.17 adanya mekanisme kontrol pada small arms dan light weapon 
i.18 jumlah perempuan bekerja pada tahap awal pemulihan ekonomi
i.19 jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, diinvestigasi dan dihukum 
i.20 jumlah pengadilan yang melindungi korban kekerasan seksual 

Pencegahan;
i.1 dampak dari kejadian kekerasan seksual pada perempuan dan anak 
i.2 laporan periodik penjaga perdamaian dan misi politik khusus menyangkut kejadian kekerasan seksual
i.3 laporan pelanggaran HAM perempuan dan anak oleh institusi HAM dan keterwakilan perempuan dalam institusi HAM
i.4 adanya data terpilah pelaku kekerasan 
i.5 Respon pihak Keamanan terhadap kebutuhan khusus perempuan (himbauan, SOP, kode etik )
i.6 tingkat keaktifan Council Resolution dalam merespon kasus
i.7 jumlah perempuan dalam pengambilan keputusan pada organisasi yang terlibat dalam pencegahan konflik

Partisipasi;
i.8 jumlah perjanjian perdamaian memberikan penekanan pada keamanan perempuan dan anak
i.9 jumlah perempuan dalam struktur badan keamanan PBB
i.10 jumlah gender expert di kantor nasional PBB
i.11 partisipasi perempuan dalam negosiasi formal dan jumlah observer perempuan 
i.12  tingkat partisipasi politik perempuan di wilayah konflik 
i.13 jumlah misi keamanan PBB, yg khusus bicara tentang dampak konflik pada perempuan dan anak 

Recovery dan Rehabilitasi
i.21 Kematian Ibu dan tingkat partisipasi pendidikan dalam data terpilah berbasis gender 
i.22 sejauh mana perencanan nasional sensitif gender 
i.23 alokasi budget ke CSO yang bekerja untuk isu gender di daerah konflik 
i.24 alokasi real dan dana yg teralokasi untuk program sensitif gender, keamanan perempuan dan perdamaian di daerah konflik 
i.25 jumlah mekanisme transitional justice  dan jumlah perempuan dan anak perempuan yg menerima dana reparasi 
i.26  jumlah perempuan ex-kombatan yang menerima dana untuk disamarment, demobilisasi dan program reintegrasi 

Karena konteks konflik di Indonesia berbeda dengan konflik di negara-negara lain, maka penting bagi kita selalu mengingat bahwa dampak konflik tidak hanya kekerasan seksual, tetapi juga trafficking atau domestik violence, atau berbagai kekerasan terhadap perempuan lainnya. Tidak semua trafficking dan domestic violence menjadi bagian dari konflik. Olehkarenanya memberikan konteks yang lebih detil yaitu pada situasi konflik atau situasi normal menjadi kunci dari identifikasi Resolusi 1325. 

Pada kesempatan yang baik ini pula, peserta diminta membuat identifikasi kebijakan atau peraturan di daerah yang memang ditujukan untuk perlindungan perempuan, perdamaian dan keamanan. Pada kenyataannya hampir semua kebijakan dan peraturan yang ada tidak memberikan konteks spesifik pada konflik. Olehkarenanya keberadaan RAN P3AKS menjadi semakin relevan di daerah, agar program-program untuk perlindungan, pecegahan dan partisipasi perempuan di wilayah konflik menjadi lebih eksplisit. 

Karena banyak orang baru, maka training lebih memperkuat pemahaman konsep dasar Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, dan RAN P3AKS. Sehingga skill untuk advokasi dan mobilisasi hanya menyentuh pada pengenalan saja. Dimana peserta dikenalkan dengan Advocacy Wheel (Roda Advokasi ) yaitu; 1) Mengidentifikasi Isu Utama; 2) Penelitian, Analisis, & Perencanaan; 3) Menetapkan Tujuan & Menentukan Solusi; 4) Mengidentifikasi target &institusi yang memiliki kekuatan untuk beraksi; 5) Siapa (yang dapat beraksi)?; 6) Memetakan Titik Masuk; 7) Mendefinisikan “bagaimana”; 8) Penilaian terhadap Sumber Daya; 9) Memilih pendekatan dan aktivitas; 10) Mengidentifikasi Sekutu & Membangun Koalisi; 11) Mengadvokasi pembuat kebijakan dan membingkai pesan Anda; 

Tindak lanjut dari pertemuan ini adalah training on mobilizer di Sulawesi Tengah, Ambon dan NTT. Tujuan dari training ini adalah memperkuat kapasitas perempuan aktifis perdamaian dengan skill advokasi dan mobilisasi. Skill ini nanti akan dipakai untuk mendorong proses pelaksanaan RAN P3AKS di tingkat propinsi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar