Jumat, 19 Juni 2015

AMAN Assembly: Women, Peace and Security


Lima perempuan yang berpengalaman dalam isu perempuan, perdamaain dan keamanan dihadirkan untuk memprovokasi diskusi pada workshop paralel bertajuk Women, Peace and Security: Surviving from their Own, the voice of Muslim women. Mereka adalah Suraiya Kamaruzaman dari Aceh-Indonesia, Asmah dari Patani-Thailand, Wai Wai Nu (Myanmar), Busra dari Pakistan, dan Samira Hamidi dari Afghanistan. Workshop ini merupakan workshop terbesar selama Assembly dengan dihadiri oleh 32 peserta Assembly, disamping workshop Youth.

Pada kesempatan ini, nara sumber memberikan penekanan pada beberapa isu penting seputar perempuan, perdamaian dan keamanan. Diantaranya adalah: 

a. Pendidikan perdamaian; Busra dari Pakistan memberikan gambaran konkrit tentang pentingnya peace education sejak dini sebagai upaya untuk menanamkan pemikiran Islam terbuka pada anak-anak. Di konteks Pakistan, anak-anak banyak direkrut oleh Taliban. Jika sejak kecil mendapatkan pemahaman tentang Islam, akan memperbaiki cara berpikir mereka di masa depan. Pendidikan perdamaian bisa diterapkan secara integratif dalam kurikulum sekolah atau terpisah. “If we are strong internally, external intervention should not be effective”, begitu ungkap Busra.


b. Kepemimpinan dan Keterwakilan Perempuan; Presentasi dari Indonesia, Thailand dan  Afghanistan memberikan penekanan pada pentingnya perempuan terlibat dalam pengambian keputusan pada saat peace talks berlangsung. Pada konteks Aceh, meskipun perempuan telah banyak memberikan kontribusi dengan memunculkan pertama kali gerakan perdamaian sementara masyarakat lainnya lebih memilih referendum. Tetapi tidak satupun perwakilan perempuan dari masyarakat Sipil menjadi bagian dari perundingan antara GAM dengan pemerintah RI. Keberadaan seorang konsultan hukum bernama Shadia Marhaban cukup menolong tetapi dianggap kurang begitu kuat mendorongkan agenda perempuan. Samira dari Afghanistan juga mengeluhkan tidak adanya perempuan secara meaningful dalam perundingan damai yang saat ini sedang digagas oleh pemerintah dan agensi besar. Prosesnya dianggap tertutup. Ini dikhawartirkan perwakilan perempuan dari masyarakat sipil tidak terwakili. Kecenderungan mencari perempuan yang terdekat dengan kelompok yang berkonflik sangat kuat. Ashmah dari Pattani juga mendorongkan isu yang sama, dimana ketegangan antara Pattani dengan Bangkok, telah membuat kondisi tidak aman bertahun-tahun. Perempuan dan anak-anak yang banyak dirugikan. Olehkarenanya, penting ketika perempuan dilibatkan dalam Perundingan Damai.

 c. Accountability; acess to justice sering jauh dengan korban. Padahal konflik kekerasan sering membawa kesengsaraan bagi perempuan dan anak-anak. Terutama pada korban kekerasan berbasis gender, dimana dana kompensasi sering tidak sampai pada mereka. Di Aceh, bisa dibayangkan kalau GAM bisa mendapatkan kompensasi sementara perempuan korban konflik belum mendapatkan dukungan financial untuk kelangsungan hidupnya. Kasus Rohingya di Myanmar juga menjadi contoh yang baik betapa pemerintah tidak memiliki political will untuk melindungi warga negara minoritas. Aturan pelarangan warga Buddhis menikah dengan muslim dan pembatasan jumlah anak adalah kebijakan yang diskriminatif. Tuntutan pemerintah dapat memberikan dukungan jangka panjang bagi korban kekerasan tampaknya sulit dijalankan, apalagi dorongan masyarakat sipil untuk menghentikan impunity. Terutama untuk kasus-kasus kekerasan yang pelakunya adalah orang besar atau personel militer. 

d. Munculnya fundamentalisme agama dan budaya; Di berlakukannya Syariah Islam di Aceh pasca Perjanjian Damai, disahkannya aturan pelarangan perkawainan beda agama di Myanmar, pembatasan pada gerak gerik perempuan di Afghanistan, Rekruitment dan training extrimis disusul dengan suidcide bombing, penculikan anak perempuan oleh BukoHaram dan Taliban, dan usulan implementasi hukum Islam di Tailand adalah bukti nyata bahwa fundamentalisme menyebar kuat di masyarakat. Bibit cara berpikir konservatif ini disebarkan oleh sekolah, madrasah, atau bisa juga forum-forum keagamaan. 

e. Rekomendasi; workshop setengah hari ini merekomendasikan beberapa hal penting diantaranya adalah:


  1. Mempromosikan dan mengatur secara hukum partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan 
  2. Memberikan dukungan konkrit untuk tumbuhnya inisiatif baru untuk promosi pemenuhan HAM perempuan dan anak perempuan
  3. Mengintegrasikan peace education ke dalam kurikulum sekolah dengan memperkuat sesi transformasi konflik 
  4. Menegakkan rule of law dengan memberlakukan justice trial, mengakhiri impunitas, memperkuat reformasi sektor keamanan. 
  5. Mendorong implementasi Rencana Aksi Nasional Resolusi PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan sebagai upaya untuk mendorongkan gender maintreaming 
  6. Menyediakan dukungan jangka panjang pada korban gender based violence berupa dukungan akses ekonomi, pendidikan untuk anak korban 
  7. Sekolah dan madrasah wajib mengajarkan isi dari Al-Quran versi original berikut dengan terjemahan yang inklusif 
  8. AMAN seharusnya mendeseminasi referensi interpretasi Qur’an dan hadist yang berperspektif ke masyarakat yang lebih luas
  9. Mempromosikan ulama dan tokoh agama perempuan yang memiliki perspektif gender dan kemampuan tafsir ajaran Islam untuk melakukan syiar agama damai 
  10. Membuka dan mempromosikan ruang “ijtihad” kepada para ulama muslim sebagai mekanisme demokratis penyelesaian masalah 

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar