Sabtu, 30 Mei 2015

South-South Triangular Cooperation Indonesia-Myanmar

Pemerintah bukan musuh masyarakat sipil. Demikian juga masyarakat sipil bukanlah musuh pemerintah. Perubahan cara pandang tentang kemitraan ini fundamen mengisi proses demokratisasi. Partnership bukan berorientasi pada sejauh mana program diimplementasikan, tetapi seberapa baik sebuah relasi berhasil dibangun melalui kerjasama seperti South South Triangular Cooperation (SSTC). Myanmar memiliki sejarah “distrust” yang panjang dengan pemerintah militer. Tentu tidak mudah menggeser mind set baik masyarakat maupun pemerintah. Hanya dengan dialogue dinding ketidakpercayaan ini bisa diruntuhkan secara perlahan. South South Triangular Cooperation yang digagas oleh UNDP Indonesia dan Myanmar bisa menjadi pintu masuk membuka dialog antara pemerintah Myanmar dengan masyarakat sipilnya. 

Sehari bersama dengan perwakilan pemerintah Myanmar dari Kementerian Kesejahteraan Sosial, relief dan Resetelmen, Kementerian Perencanaan Nasional dan Pembangunan Ekonomi, Kementerian Urusan Perbatasan, Kementeria Luar Negeri, Kementerian Pertanian dan Perikanan. Sementara perwakilan dari masyarakat sipil diantaranya adalah Gender and Development Institution, Karen Women Empowerment Group, Myanmar Women’s Affairs Federation,Mizzima Media Group, dan yang lainnya. Dari Indonesia diwakili oleh Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Perwakilan UNDP Indonesia dan AMAN Indonesia mewakili CSO bekerja pada bidang perempuan dan perdamaian.

Tujuan program SSTC adalah selain memperkuat hubungan kerjasama pemerintah Indonesia dengan Myanmar, juga ditujukan untuk memfasilitasi peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat sipil Myanmar dalam mengisi masa transisi ke demokrasi. Gagasan SSTC ini difasilitasi oleh UNDP Indonesia-Myanmar, dengan melibatkan masyarakat sipil dari kedua negara. 

Berdasarkan uraian dari Bappenas Indonesia, bahwa kerjasama SSTC ini sudah terjadi sejak lama. Indonesia pertama kali menandatangani SSTC pada 23 April 2013, dimana kedua belah pihak sepakat dibidang promosi demokrasi, Pembangunan perdamaian, Tata Kelolah, Pembangunan Ekonomi dan Sosial dan berbagai area yang bisa dikerjasamakan. Scope kerjasama antara pemerintah RI dengan Pemerintah Myanmar adalah (1) pertukaran tenaga ahli seperti teknisi, konsultan dan penasehat; (2) menyelenggarakan seminar, konferensi dan berbagai pertemuan; (3) Pertukaran informasi; (4) berbagai kerjasama untuk peningkatan kapasitas. 

Tema Peran Perempuan dalam Membangun Kohesi Sosial dan Perdamaian dipilih sebagai salah satu tema kerjasama yang dianggap mampu mendorong proses demokratisasi dan upaya memperkuat kohesi sosial di Mnyamar dengan belajar dari Indonesia. Untuk itu presentasi diseputar Rencana Aksi Nasional (RAN) 1325 dari Kementerian Pembangunan Manusia dan Budaya dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.  Yang sangat penting terkait dengan NAP adalah proses perumusan NAP yang melibatkan masyarakat sipil sejak awal. Sehingga ownership dari RAN Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Konflik Sosial (P3AKS) bukan saja pada pemerintah tetapi juga masyarakat sipil. Kedua, tentang Pokja yang beranggotakan gabungan perwakilan pemerintah  dan masyarakat sipil. Tentang substansi dari NAP, Indonesia mengkontektualisasikan isi NAP yang asli, menjadi 3 claster yaitu Perlindungan (penyediaan data, penyadaran masyarakat, peran media, peningkatan unit pelayanan , pelatihan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, penyediaan ruang terbuka hijau untuk perempuan dan anak), Pemberdayaan  (peningkatan ketahanan hidup,  ekonomi, pendidikan damai untuk anak dan partisipasi perempuan sebagai juri damai) dan penanganan konflik (penyediaan layanan pengaduan, rehabilitasi kesehatan, Kesehatan reproduksi, rehabilitasi sosial, renintergrasi sosial dan bantuan hukum dan pendampingan). Secara lengkap bisa dibaca di PerPres No. 18 Tahun 2014 tentang RAN P3AKS. 


Penekanan lain pada upaya kerjasama ini adalah kemitraan strategis antara pemerintah dan masyarakat sipil. Ini yang krusial ingin dipelajar Myanmar dari Indonesia. Presentasi dari perwakilan CSO Indonesia, Ruby Khalifah (AMAN Indonesia) lebih menekankan pada peran CSO dalam upaya memperkuat peran perempuan dalam pembangunan perdamaian dengan memperbanyak pendidikan perdamaian untuk perempuan baik dilakukan secara ekslusif maupun terintegrasi ke dalam pendidikan kritis untuk perempuan. Yang paling penting dalam lawatan ini adalah berbagai bagaimana transforamsi partnership pemerintah dan CSO terjadi, mulai dari partisipasi semu, konsultasi, sampai pada joint decision making, dimana ownership program ada pada pemerintah dan masyarakat sipil. 


Sementara pada sisi Myanmar, yang terlihat jelas adalah perubahan pada pemerintah dengan membuka kerjasama dengan negara lain. Tetapi tentu tidak mudah karena kepercayaan dari masyarakat sipil merupakan hal penting dalam memperkuat kerjabersama mengisi masa transisi. Dari bacaan CSO di Myanmar, upaya untuk menyuarakan perdamaian dan menghentikan konflik telah digaungkan oleh berbagai macam jaringan di Myanmar. Bahkan sebenarnya upaya kerjasama CSO dengan Kementerian Social Welfare, Relief dan Resettlement telah dimulai untuk membahas beberapa program. Ini tidak asing karena memang kementerian inilah yang banyak memiliki tupoksi untuk membangun relasi dengan CSO. Upaya kerjasama dengan pihak Indonesia, diharapkan bisa meningkatkan kerjasama CSO dengan Pemerintah Myanmar dalam hal perencanaan pembangunan dan juga upaya memperkuat kohesi sosial melalui peran perempuan. 

Meskipun pertemuan ini tidak membahas secara langsung Rohingya, tetapi dalam pembicaraan diluar forum bersama dengan Directur General, Kementerian Urusan Perbatasan, saya melihat ada concern pemerintah Myanmar terkait dengan persoalan Arkain. Tentang relasi masyarakat disana, tentang bagaimana kelompok Buddist Extrimist berkontribusi merusak hubungan masyarakat Buddist dan Muslim di Arkain. Sehingga penting mulai dipikirkan untuk memperkuat pemuka agama Buddist dengan perspektif yang lebih baik. Termasuk juga para pemuka agama Islam di Arkain yang banyak menyebarkan paham konservatif tentang peran perempuan. Menurutnya, banyak perempuan muslim di Arkain menikah mudah dan sulit dilibatkan program KB karena alasan agama. Isu kewarganegaraan juga disinggung dalam pembicaraan di forum dimana CSO menyebabkan ketegangan antar etnik. Ini yang menyeret konflik di Myanmar berkepanjangan. Sayangnya terlalu banyak persoalan yang ingin diungkap oleh masyarakat sipil, sehingga menempatkan prioritas menjadi penting. Dan saat ini, memperbaiki hubungan kemitraan antara pemerintah dan CSO adalah hal penting. 

Tindak lanjut dari workshop yang disepakati oleh masyaraakt sipil Myanmar dan pemerintah myanmar adalah: 

  1. Program Peace and Development menjadi alternatif menarik untuk dikembangkan karena mampu memperkuat relasi masyarakat dengan added value peningkatan ekonomi 
  2. Perumusan Rencana Aksi Nasional (RAN) 1325 
  3. Program Peringatan Dini 
  4. Perempuan dan Media 
  5. Penanganan Konflik nasional dengan membuka lesson learn dari indonesia, terutama pada pelibatan CSO dalam proses 
  6. Mempertimbangkan memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan 
  7. Hasil workshop ini akan ditindaklanjuti oleh Kementerian Bappenas, PMK dan Pemberdayaan Perempuan, dengan keterlibatan CSO. *** 

Jika tertarik ingin mendapatkan presentasi dalam acara ini silahkan kontak dwiruby@amanindonesia.org 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar