Minggu, 16 Februari 2014

Conflict Prevention, Post-conflict Peacebuilding and the Promotion of Durable Peace, Rule of Law and Governance (1)

Side event satu-satunya yang masih bisa saya hadiri adalah tentang “conflict prevention,post-conflict peacebuilding and the promotion of durable peace, rule of law and governance” dimana menghadirkan beberapa nara sumber yang dianggap kompeten membunyikan isu konflik dan intervensi pasca konflik. Ahme Al-Thani menekankan pada pentingnya Rule of law sebagai strategi untuk menyelesaikan konflik. Chistine Asare dari Ghana menakankan pada meskipun sudah ada sistem judicial di baik itu di level nasional dan lokal, tetapi tradisi lokal yang memicu konflik masih tetap jalan. Olehkarenanya dia mengusulkan untuk memasukkan elemen perdamaian sebagai cross cutting issue di pembangunan. Kesemuanya harus berlandaskan pada konstitusi negara, direksi rule of law, dan memiliki kesetaraan akses dan kontrol terhadap sumber daya dan promosi kesetaraan yang mengarah pada keadilan. Vesna Kos dari Crowasia menggemakan presentasi sebelumnya terkait dengan rule of law dan mengingatkan pada audien untuk melihat dokumen PBB terkait dengan persoalan konflik. Cross cutting elemen yang ditawarkan oleh Vesna adalah: 
  • Kebutuhan perempuan perlu dipastikan menjadi perhatian, dimana tiga aspek penting seperti memperhatikan konteks specific, perempuan sebagai pencari nafkah dan penjaga keluarga harus dipastikan masuk dalam pertimbangan 
  • Mengekspose lebih jauh isu kekerasan, termasuk mempertanyakan kompensasi bagi korban kekerasan seksual yang sering tidak banyak disebutkan, absennya mekanisme yang menangani isu ini karen stigma dan perhatian yang kurang
  • Maskulinitas di masyarakat, dimana konstruksi gender pada persoalan konflik harus berani didekontruksi karena ini merugikan pemberdayaan perempuan 
  • Pencegahan; realitas menunjukan bhwa 10% dari perempuan yang dipaksa bekerja rata-rata berada di situasi konflik, olehkarenanya menghubungkan dengan agenda pembangunan sangat penting. 

IB_Petersen dari DenMark memberikan penakanan pada pentingnya kerjasama dalam membangun perdamaian. Karena alasannya bahwa persoalan perdamaian itu masalah global, namun Petersen memberikan beberapa catatan penting dalam hal kerjasama seperti: 
  • Jangan mempolitisasi isu, fokus pada fakta; bahwa pada kenyataaannya kemiskinan sangat parah, banyak kejahatan trans-nasional, dan mmebutuhkan keaktifan perempuan dan pemberdayaan mereka dalam merespon isu ini
  • Mendengarkan negara, terutama negara rentan; karena mereka mengetahui prioritas dan memiliki alat untuk penyelesaian masalah. 
  • Penting melibatkan CSO dalam menyusun framework baru. 
  • Harus menjadi stand alone goal agar bisa mendapatkan perhatian dunia
  • Membangun alliance karena peace and development itu tidak bisa dipisah-pisahkan 
Danish dari Liberia membahas tentang konsep durable peace yang menekankan pada pondasi human rights. Menurutnya isu kebebasan, perdamaian, keamanan, menghormati Hak asasi Perempuan dan pemberdayaan perempuan, serta masyaraakt demokratis tidak menjadi agenda top UN. SDGs bukan hanya untuk peace, tapi duable peace. Artinya bahwa ini mengandung 6 faktor kunci yaitu weak justice system, land conflict, employment, political polarization, social conflict between states, substantive institution and building trust. Sementara isu desentralisasi pelayanan public sangat mengindikasikan good governance policy ditambah dengan komitmen tinggi pada rule of law maka akan tercapai perdamaian dalam konteks SDGs. Anthony Harriot dari Universitas Jamaika menekankan presentasi pada pencegahan konflik dalam konteks SDGs. Menurutnya kekerasan harus menjadi ukuran menilai pembangunan, bahkan kekerasan harus dijadikan bagian dari indeks pembangunan dan diperlakuan sebagai nilai yang independent. 

Tanggapan dari perwakilan negara:
  • Timor Leste: mendukung penghentian konflik kekerasan karena menunjang ketidaktercapaian MDGs. Meskipun Timor sudah bisa berhasil dalam memberikan pelaanan public pada masyarakat, tetapi kemiskinan masih double. Yang paling penting adalah bagaimana investasi pada sumber daya manusia, sehingga mereka sanggup memanage sumber daya yang ada. Elaborasi tentang penggunaan violent dalam ukuran pembangunan perlu untuk dijelaskan lagi. 
  • Indonesia: bagaimana kebebasan berekspresi dan membangun perdamaian bisa dimasukkan ke dalam SDGs?
  • Rusia : rule of law di international level tidak begitu diperhatikan, tapi hanya sebatas dimensi nasional aja. Perlu mendetilkan apa definisi dan indikator Rule of Law dan bagaimana membuat linkages dan cross cutting issues. 
  • UNICEF (Chistian Salasa): isu peace and development lebih bisa ditrima secara bahasa, namun juga perlu dipikirkan persiapannya dan dukungan financialnya?
Respon secara umum dari pada nara sumber memberikan penekanan bahwa meskipun SDGs ini merupakan framework global tetapi tentu saja di tingkat nasional harus bisa dijalankan. Misalnya menyelesaikan krisis di Syria. Konteks perubahan di Syria bahwa masyarakat bisa memiliki kebebasan berbicara, harus diakui disamping juga dampak negatifnya (IB Petersen). Rule of law harus dicapai dengan dua level yaitu nasional dan international (Thembile Joyme), namun demikian rule of law merupakan proses penguatan institusi yang menjamin tingkat kesejahteraan masyarakat, termasuk kebebasan berespreksi dan press (Vesna). Bagaimanapun perlu dijadikan refleksi bersama bahwa pemerintah juga kadang banyak memberikan ruang pada pluralism dan demokrasi sehingga UN harus menjalankan mandatnya. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar