Jumat, 31 Januari 2014

Sudahkah kita Ber-Dialog ?


“Yang terpenting dalam dialog itu adalah munculnya pertanyaan kritis dari kedua belah pihak sebagai refleksi dari realitas…” Kata Dr. Suwanna Santha Anand melihat tajam ke dalam bola mata saya kemarin siang. Perjumpaan saya dengan beliau untuk pertama kali sejak tamat dari Universitas Mahidol Thailand memberikan kesan mendalam dengan paparan tajam pendekatan filsafat tentang dialog. Jadi, saya wajib berterima kasih pada CENAS yang mengundang saya untuk memoderatori salah satu sesi di Seminar Nasional yang bertajuk Love and Forgiveness pada tanggal 17-18 Juli 2012.

Mengapa dialog penting? Setidaknya ada tiga alasan yang belia tawarkan mengapa dialog perlu untuk dilakukan yaitu membongkar identitas diri (who you are?), melihat moralitas dalam diri sendiri, dan berbagi ambisi tentang hidup. Untuk menjelaskan ketiga hal tersebut, saya juga ingin memaparkan dengan beberapa percakapan yang saya rekonstruksi secara imaginer berbasis pada presentasi Dr. Suwanna dan juga laporan projek AMAN di Poso. Percakapan dari ketiga kisah dibawah ini hanya sebagai media membantu analsis saya, jadi pembaca bisa berfokus pada text yang ada dan analisisnya.

Kisah Pertama:
Dibawah ini adalah dialog antara Budha dengan seorang Biksu muda tentang Kasta.

Buddha        : Menurut anda Biksu itu masuk kasta apa?
Biksu Muda: Saya rasa masuk kasta Brahma.
Buddha        : bagaimana anda menyimpulkan hal itu?
Biksu Muda; ilustrasi saya, setiap manusia diciptakan dari bagian tubuh Dewa Rama yang berbeda. Biksu terlahir dari kepala, karena kedudukannya yang tinggi di masyarakat sebagai orang suci. Maka kastanya Brahmin. Orang-orang prajurit dan pemimpin Negara dilahirkan dari bagian tubuh Rama yaitu lengan dan tangan, ini disebut Kasta Kshatriya. Lalu ada kasta  vaisya yang dilahirkan dari perut Rama. Dan Kasta Sudra dari kaki Rama. Semua sudah ditentukan dari sang penciptanya. Jadi Biksu itu Kasta paling tinggi.
Buddha      : Kasta itu hanya ditentukan oleh perbuatan seseorang.

Dari cerita diatas, kita bisa melihat sangat jelas cara pandang “siapa saya” sangat dipengaruhi oleh kedudukan seseorang. Bagaimana cara kita memandang diri kita akan berpengaruh sekali pada cara kita memandang orang lain. Ketika Budha memberikan argumentasi yang berbeda dengan cara pandang Biksu Muda, maka disitulah turning point sebuah transformasi terjadi. Mengapa? Pernyataan Budha bahwa kasta seseorang hanya diukur dari perbuatan baik seseorang meruntuhkan bangunan pemahaman tentang sistem kasta yang dipahami banyak orang. Sistem kasta seringkali mewujud dalam prilaku yang diskriminatif berdasarkan pada darimana kasta seseorang dilihat. Implikasi yang jauh pada akses dan kontrol seseorang yang dibatasi oleh asal kasta mereka. Kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi karena sistem kasta. Percakapan di atas bukan hanya sekedar percakapan, karena ada proses transformasi cara berpikir yang mendalam yang terjadi pada Biksu Muda. Pernyataan Budha juga memberikan harapan pada setiap orang bahwa siapa saja bisa dan berhak berada di kasta tertinggi secara setara dan terbuka karena kompetisi pada berbuat kebaikan.

Kisah kedua:
Di dalam Al-Kitab Yohanes diceritakan tentang seorang perempuan yang melakukan perzinahan yang nyaris dihakimi oleh orang-orang dengan hukuman rajam, tapi kemudian Jesus bisa menyelamatkan dengan meminta orang yang tidak berdosa yang berhak untuk merajamnya. Berikut kisah lengkapnya.

8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.

8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: /"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."*

8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.

8:9  Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.

8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: /"Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"*

8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: /"Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."*

Moralitas diri. Ini yang disentuh oleh Jesus ketika menghadapi kerumuman orang yang marah dan bernafsu merajam si perempuan. Dialog antara Jesus dengan kerumunan orang-orang yang menginginkan hukuman rajam memaksa orang-orang untuk melihat keterbatasan sebagai manusia yang sangat mungkin melakukan kesalahan. Dengan bahasa lain, tidak satupun orang yang luput dari dosa, maka ketika pintu taubat dibuka, maka harus diberikan ampunan. Perkataan Jesus "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu adalah momen krusial dialog yang memberikan kesempatan pada setiap orang yang hadir pada kerumunan tersebut untuk berani bertanya pada diri sendiri “ apakah diri saya suci dari dosa?”. Ketika orang-orang tersebut “bertanya”, maka mereka akan mulai menyadari bahwa setiap orang memiliki keterbatasan. Keterbatasan menjaga moralitas diri. Jesus ingin memberikan kesempatan pada setiap orang untuk menyadari ini. Dialog hendaknya mengedepankan pada refleksi pada moralitas diri, sehingga menuntut kita untuk selalu berhati-hati dalam melihat keterbatasan moralitas orang lain secara lebih arif.

Kisah ketiga:
Ini percakapan imaginer dari kisah yang saya tangkap selama menjalankan projek di Poso. Percakapan initerjadi pada dua orang ibu (Muslim dan Kristian) yang sudah saling kenal

Si A: Mengapa setiap giliran saya menyuguhkan kue-kue, selalu masih tersisa banyak, berbeda dengan ketika kue disiapkan oleh ibu-ibu Muslim?
Si B: Mengapa tidak anda ceritakan terlebih dahulu bagaimana perasaan anda ketika dalam kedurian, makanan anda tidak disentuh sama sekali oleh rombongan muslim?
Si A: Baik…..Saya merasa tertolak. Saya merasa sudah mempersiapkan hidangan dengan mengundang para juru masak dari muslim agar semua orang bisa makan. Saya merasa tidak dihargai dan saya jadi malas terlibat di dalam proses belajar…

Sekilas percakapan diatas terlihat biasa saja. Tetapi coba kita perhatikan ketika si B meminta si A untuk berbagi terlebih dahulu tentang perasaannya ketika hidangan kue yang disiapkannya tidak dimakan oleh rombongan muslim, disitulah sebuah pertarungan trust (kepercayaan) terjadi. Ini momen kritis baik bagi keduanya. Bagi si A, ini adalah momen mendalam untuk mengungkapkan perasaan dia yang sesungguhnya, dan mungkin saja mencederai hubungannya dengan si B. Sebaliknya bagi Si B, pengakuan si A terhadap sikap dan prilaku kelompoknya yang mungkin “tidak hormat” menimbulkan salah paham dan bisa berakibat pada ketegangan. Namun, trust dan ambition for life yang menuntun keduanya untuk memulai bicara. Jika di keduanya tidak ada kepercayaan, maka sharing tidak akan terjadi. Jika dikeduanya tidak ada ambisi memperbaiki kehidupan masyarakat agar hidup harmonis, maka niscaya tidak ada dialog. Dua syarat ini yang membaca dialog pada perwujudan kondisi harmoni di masyarakat.

Akhirnya, saya ingin katakan bahwa dialog bukanlah sebuah momen formal. Tapi dialog adalah sebuah percakapan yang membuka momen kritis seseorang untuk melahirkan pertanyaan kritis dalam dirinya yang menantang “apa yang dipercaya” dan “apa yang dilakukan”. Tentu saja dialog yang efektif harus termanifestasikan ke dalam sebuah aksi sosial. Tujuannya tentu saja TIDAK  hanya menolong si Miskin, tapi membuka diri kita sendiri untuk berdialog dengan si Miskin sehingga sensitifitas kita terbangun. ***  
---------------  

Tulisan ini pernah juga saya publish di wall facebook saya pada tahun 2012. Mohon maaf jika mengulang. Tetapi saya rasa ini masih relevan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar